KH. M.Munif zuhri pengajihan umum di masjid kauman 2009 bersama ustad yusuf mansyur dari jakarta dalam rangka 10 syuro hari penyantunan anak yatim sekota semarang |
Malaikat juru pati nglirak-nglirik maring siro.
olehe nglirik malaikat arep jabut nyowo siro.
olehe jabut angenteni dawuhe kang moho mulyo.
sak whuse di dawuhi banjur tandang karo kondo.
aku iki mung sak dermo, kwe ora keno sumoyo...
yaa Allah panjenengan , dandosi kulo niki.
lahir batin sarono, manah sahe kang suci.
yaa.. Allah jamaah nyuwun gesang berkah istiqomah.
panjang umur sregep ngibadah pinaringan kusnul khotimah
Dalam perspektif ilmu tasyawuf, dunia mimpi dikenal
dengan beberapa istilah. Istilah itu disesuaikan dengan sifat dan tingkat
kuwalitas mimpi itu. Isyilah-istilah tersebut, antara lain, hilm, ru’yah,
manam, busyra, waqi’ah, dan mukasyafah dalam alqur’an dan hadits pun sering
digunakan istilah-istilah tersebut secara bergantian. Kalangan ulama’ tasyawuf
membedakannya tiga kategori. Pertama hilm, ru’yah, dan manam. Kedua, waqi’ah.
Ketiga, mukasyafah.
Hilm, ru’yah,
dan manam, ketiganya berarti
mimpi dan sering digunakan secara bergantian dalam alqur’an. Hilm lebih sering
digunakan dalam konteks mimpi yang dihubungkan dengan persoalan biologis. Kata
hilm secara literal berarti mengisi, bermimpi, mencapai usia dewasa. Kata hilm
ini lebih populer di kitab-kitab fiqh.
Ini karena di sana hilm diartikan sebagai anak
laki-laki yang sudah mencapai usia aqil balig yang ditandai dengan pengalaman
“mimpi basah”, yakni bermimpi dengan sesuatu yang menyebabkan keluarnya sperma.
Mimpi seperti ini menjadi kriteria seorang anak laki-laki disebut mukalaf, orang yang sudah memenuhi syarat dan dipandang cakap dan cerdas menjalankan perbuatan hukum. Baik hukum ibadah mahdhah maupun hukum-hukum keperdataan (mu’amalat), seperti bertransaksi dan menjadi saksi. Bagi anak perempuan, indikasinya ialah menstruasi (haid).
Mimpi seperti ini menjadi kriteria seorang anak laki-laki disebut mukalaf, orang yang sudah memenuhi syarat dan dipandang cakap dan cerdas menjalankan perbuatan hukum. Baik hukum ibadah mahdhah maupun hukum-hukum keperdataan (mu’amalat), seperti bertransaksi dan menjadi saksi. Bagi anak perempuan, indikasinya ialah menstruasi (haid).
Contoh penggunaan kata hilm dalam arti ini, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah
budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum sampai
usia balig diantara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari),
yaitu sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu ditengah
hari, dan sesudah shalat isha’, (itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa
atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka
melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain).
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan , Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.(QS an-Nuur[4]:58).
Ru’yah berasal dari kata ra’a berarti melihat, bermimpi,
mengerti. Dari akar kata ini lahir kata ru’yah atau ru’yayah berarti mimpi.
Mimpi yang diungkapkan dengan kata ru’yah umumnya mempunyai makna yang
berdampak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Berbeda dengan kata hilm tadi
yang lebih berdampak pada pribadi.
Kata ara atau ru’yah dalam arti mimpi diungkapkan
alquran beberapa kali. Seperti dalam ayat, “Maka tatkala anak itu sampai (pada
umur sanggup) berusaha bersama-sama ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam
mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ ia menjawab,
‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyallah kamu akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’”(QS as-Shaffaa[37]:102).
Dalam ayat lain juga disebutkan, “(ingatlah), ketika
yusuf berkata kepada ayahnya. ‘wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi emlihat
sebelah binatang. Matahari dan bulan, kulihat semuanya sujud kepadaku.’ Ayahnya
berkata, “hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada
saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)-mu.
Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”(QS yusuf
[12]:4-5).
Kata inni ara fi al-manam (aku melihat dalam mimpi)
dalam kedua ayat tersebut di atas ialah mimpi yang sering dialami oleh para
nabi atau pembesar yang memiliki dampak lebih luas di dalam masyarakat.
Bandingkan juga dengan pengalaman mimpi Nabi yusuf berikut ini.
“Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari
kaumnya), “sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang
gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh
bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering. Hai orang orang
yang terkemuka, terangkanlah kepadaku tentang takbir mimpiku itu jika kamu
dapat mentakbirkan mimpi.’”
Mereka menjawab, “(itu) adalah mimpi-mimpi yang
kosong dan kami sekali-kali tidak tahu mentakbirkan mimpi itu. Dan berkatalah orang yang selamat diantara
mereka berdua dan teringat (kepada yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya, ‘aku
akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai)mentakbirkan mimpi itu,
maka utuslah aku (kepadanya)’. (setela pelayan itu berjumpa dengan Nabi yusuf
dia berseru), “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami
tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor
sapi betina yang kurus-kurus dan tujuhbulir (gandum) yang hijau dan (tujuh)
lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka
mengetahuinya.”
Yusuf berkata,”supaya kamu bertanam tujuh tahun
(lamanya) sebagaimana biasa, maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan
dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian akan datang tujuh tahun
yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya
(tahun sulit), kecuali sedikit dar (bibit gandum) yang kamu simpan.”(QS
yusuf/12:43-48).
Kisah Nabi Yusuf diatas mengisyaratkan kepada kita
bawa ada kualitas mimpi yang mampu memberikan solusi terhadap problem sosial
kemasyarakatan. Seorang yang dekat dengan Tuhan akan mendapatkan petunjuk tidak
tidak hanya ketika ia sedang terjaga, tetapi juga ketika sedang tidur. Termasuk
juga ia mampu menafsirkan mimpi orang lain yang berdampak pada kemaslahtan umat
manusia.
Kata ara fi al-manam (aku melihat dalam mimpi) boleh
jadi saling memperkuat satu sama lain (muqayyyad) untuk meyakinkan bahwa apa
yang dilihat dalam mimpi itu benar-benar adanya. Hak ini wajar digunakan Tuhan
karena terkait dengan nyawa seseorang, yaitu nyawa bagi anak semata wayang
(ismail) yang sudah lama didambakan nabi Ibrahim. Ayat ini kemudian menjadi
dasar disyari’atkannya ibadah kurban setiap tahun bagi mereka yang memiliki
kemampuan.
Sedangkan, busyra berasal dari akar kata
basyara-yabsyuru berarti mengupas, memotong, memperhatikan. Dari akar kata ini
lahir kata busyra yang dijelaskan Rasulullah SAW sebagai mimpi. Sebagaimana
dalam suatu riwayat yang berkenaan dengan ayat, “bagi mereka berita gembira di
dalam kehidupan di dunia dan(dalam kehiduan) di akhirat. Tidak ada perubahan
bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan
yang besar. “(QS Yunus [10]:4.
Selain itu, Abu darda’ bertanya kepada Nabi tentang
arti ayat ini. Lalu, dijawab oleh Nabi, “belum pernah ada yang menanyakan
kepadaku tentang ayat itu sebelum dirimu. Yang dimaksud ayat ini ialah mimpi
baik yang dilihat oleh orang yang diperhatikan kepadanya.”
Mimpi yang terungkap dalam diri seseorang Nabi
diyakini mutlaq kebenarannya dan mimpi itu dapat disebut bentuk lain dari
wahyu. Mimpi yang muncul dari orang yang bukan Nabi atau Rasul, sungguhpun itu
dari seorang wali, tidak bisa dijadikan sebagai hujjah atau dasar hukum yang
dapat dipedomi secara kolektif. Namun, mimpi yang lahir dari para wali atau
salik, inilah nanti yang kita sebut sebagai waqi’ah dan atau mukasyafah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar