(HR. Ahmad dan Abu Daud dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dan juga mirip dengannya dari hadits Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu)
“Dari sahabat ‘Irbadh bin As Sariyyah rodhiallahu’anhu ia berkata: Pada suatu hari Rasulullah صلى الله عليه وسلم shalat berjamaah bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu beliau memberi kami nasehat dengan nasehat yang sangat mengesan, sehingga air mata berlinang, dan hati tergetar. Kemudian ada seorang sahabat yang berkata: Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat seorang yang hendak berpisah, maka apakah yang akan engkau wasiatkan (pesankan) kepada kami? Beliau menjawab: Aku berpesan kepada kalian agar senantiasa bertaqwa kepada Allah, dan senantiasa setia mendengar dan taat ( pada pemimpin/penguasa , walaupun ia adalah seorang budak ethiopia, karena barang siapa yang berumur panjang setelah aku wafat, niscaya ia akan menemui banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar rasyidin yang telah mendapat petunjuk lagi bijak. Berpegang eratlah kalian dengannya, dan gigitlah dengan geraham kalian. Jauhilah oleh kalian urusan-urusan yang diada-adakan, karena setiap urusan yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah ialah sesat“. (Riwayat Ahmad 4/126, Abu Dawud, 4/200, hadits no: 4607, At Tirmizy 5/44, hadits no: 2676, Ibnu Majah 1/15, hadits no:42, Al Hakim 1/37, hadits no: 4, dll)
Akal adalah syahid (saksi dan bukti) akan kebenaran syara’. Inilah
sebenarnya yang dilakukan oleh ulama tauhid atau ulama al-kalam (teologi). Yang
mereka lakukan adalah taufiq (pemaduan) antara kebenaran syara’ dengan
kebenaran akal, mengikuti jejak nabi Ibrahim -seperti dikisahkan al-Quran-
ketika membantah raja Namrud dan kaumnya, di mana beliau menundukkan mereka
dengan dalil akal. Fungsi akal dalam agama adalah sebagai saksi bagi kebenaran
syara’ bukan sebagai peletak dasar bagi agama itu sendiri. Berbeza dengan
golongan falsafah yang berbicara tentang Allah, malaikat dan banyak hal lainnya
yang hanya berdasarkan penilaian akal semata-mata. Mereka menjadikan akal
sebagai dasar agama tanpa memandang ajaran yang dibawa para nabi dan rasul.
Tuduhan kaum Musyabbihah dan Mujassimah iaitu kaum yang sama sekali tidak
memfungsikan akal dalam agama, terhadap Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai
’Aqlaniyyun (kaum yang hanya mengutamakan akal) atau sebagai kaum Mu’tazilah
atau Afrakh al-Mu’tazilah (anak bibitan kaum Mu’tazilah) dengan alasan kerana
menggunakan akal sebagai salah satu sumber utama, adalah tuduhan yang amat
salah. Ini tidak ubah seperti kata pepatah arab “Qabihul Kalam Silahulliam”
(kata-kata yang jelek adalah senjata para pengecut). Secara ringkas tetapi
namun padat, kita ketengahkan pembahasan tentang Ahlussunnah sebagai al-Firqah
an-Najiyah (golongan yang selamat), asal-usulnya, dasar-dasar ajaran dan
sistemnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar