Amanat Mbah Hadi, Petuah Sunan Drajat
Elinga Ngger, yen ana ula
aja kokpenthung
ana wong ala aja koktundhung
ana wong apik aja kokgunggung
PETUAH Sunan Drajat itu senantiasa mengiang di telinga KHM Munif Zuhri
(Gus Munif), pengasuh Pesantren Girikusumo, Mranggen, Demak. Bahwa kualitas manusia tidak bisa diukur hanya dari tampilan luarnya. Mengamini pesan itu, Gus Munif senantiasa menjaga kehati-hatian dalam menerima para tamu, yang nyaris setiap hari membanjiri rumahnya.
(Gus Munif), pengasuh Pesantren Girikusumo, Mranggen, Demak. Bahwa kualitas manusia tidak bisa diukur hanya dari tampilan luarnya. Mengamini pesan itu, Gus Munif senantiasa menjaga kehati-hatian dalam menerima para tamu, yang nyaris setiap hari membanjiri rumahnya.
''Intinya, janma tan kinira. Manusia itu makhluk yang tidak bisa diduga. Ada orang yang kita duga jelek, padahal sebetulnya baik. Sebaliknya, ada orang yang dalam anggapan kita baik, sesungguhnya amat jahat. Urip iku ora mesthi, dadine kudu ngati-ati,'' papar Gus Munif, saat Suara Merdeka bertandang ke kediamannya, Senin (11/4) siang.
Falsafah janma tan kinira agaknya tepat dialamatkan ke pesantren warisan Ki Ageng Giri atau dikenal dengan sebutan Mbah Hadi itu. Pesantren yang terletak amat jauh dari pusat kota itu merupakan salah satu noktah penting dalam percaturan politik Indonesia.
Betapa tidak, pesantren itu acap menjadi rujukan para politikus. Semasa menjadi presiden, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur tak sungkan blusukan ke pesantren yang terletak di Desa Banyumeneng, Kecamatan Mranggen, Demak itu. Begitu pula sehari sebelum pemilihan presiden putaran kedua, Jusuf Kalla pun menyempatkan diri menyambangi Gus Munif.
''Tapi setelah terpilih jadi wakil presiden ya sudah, lupa,'' seloroh kiai karismatik itu.
Ya, dari jantung Kota Semarang, Pesantren Girikusumo berjarak sekitar 20 km ke arah timur, atau hampir sejam jika ditempuh dengan kendaraan. Itu pun belum cukup. Dari Pasar Mranggen, masih ada jalan berkelok-kelok sepanjang 10 km ke arah selatan. Pada sepanjang jalan, yang terlihat di kanan kiri hanyalah gerumbul tanaman pisang dan jahe yang dibudidayakan penduduk setempat. Biasanya jalan kecil itu tak terlampau bagus. Tapi menjelang pembukaan Muktamar tampaknya pemkab setempat melakukan sejumlah perbaikan.
Begitu juga kalau hanya dilihat secara fisik, tak terlampau kentara keistimewaan Girikusumo. Sepintas, kesan arsitektur pada bangunan Pesantren Girikusumo mengingatkan orang pada salah satu sudut keraton di Jawa atau Masjid Agung Demak. Pada beberapa sisinya terlihat kuna, dan lazim ditemui di bangunan keraton. Baik tempat tinggal maupun masjid di pesantren itu dilengkapi mustaka, seperti yang terdapat pada masjid tradisional Jawa.
Sederhana
Kesan tradisional itu lebih kentara lantaran dinding bangunan masih terbuat dari papan. Tetapi bahan bakunya bukan berasal dari kayu jati, melainkan sengon laut. Pesantren amanat Mbah Hadi itu memang begitu sederhana. Kesan itu juga terlihat pada puluhan santri bersarung dan berkopiah yang sore itu menunaikan shalat asar. Sama sederhananya dengan penampilan ibu-ibu yang mondok selama 10 hari, untuk mengikuti pengajian Thariqah Naqsabandiyah Khalidiyah asuhan Gus Munif. Atau, coba alihkan pandangan ke sekeliling pemondokan santri, yang dipenuhi baju-baju bergegantungan. Khas sebuah pesantren tradisional.
Tapi, janma tan kinira, di pesantren itulah setiap Kamis berkumpul 10.000-an jamaah untuk mengikuti pengajian thariqah yang diasuh Gus Munif. Pengajian Kamis Kliwon ditujukan untuk jamaah laki-laki, dan Kamis Legi untuk perempuan. Menariknya, setiap peserta pengajian itu diberi makan dalam bentuk ambengan. Selain itu, nama Gus Munif teramat populer, tidak cuma di Demak dan sekitarnya, tapi juga ke sejumlah daerah di luar Jawa. Pada saat yang sama, pesantren itu juga menjadi salah satu pusat denyut kehidupan NU. Sebagai organisasi yang berakar di pesantren, sudah pada galibnya Muktamar dibuka di pesantren. Tapi, mengapa Girikusumo? Tak ada jawaban pasti soal itu. Kiai Munif tak mau menunjukkan alasan di balik pilihan Gus Dur untuk membuka Muktamar di pesantrennya.
''Saya gumun, kenapa di sini yang ditunjuk. Wong saya juga bukan orang yang aktif di partai. Ya sudah, anggap saja saya ketamon Gus Dur dan rombongannya, ya disambut apa adanya saja,'' ujarnya merendah. (33t)
pesan yg sangat indah sekali dr sang sufi...
BalasHapus