Dalam artikel terdahulu telah di bahas alam jabarut, suatu alam tertinggi di antara seluruh alam yang ada. Ia sudah masuk kedalam tingkatan alam ghaib mutlak. Di atas alam ini sudah tidak ada lagi alam, adanya hanya martabat atau maqam yang tidak bisa lagi disebut dengan alam dalam arti apapun selain Allah (ma siwa Allah).
Martabat di atas alam jabarut biasanya di sebut dengan entitas yang tidak berubah (al-A’ayan al- tsabitah/ immutable entities). Al-A’yan al-Tsabitah sudah masuk dalam level pembahasan yang tinggi dan tidak banyak di temukan di dalam buku-buku tasyawuf populer.
Konsep terperinci tentang Al-A’ayan al-Tsabitah hany bisa di temukan di dalam karya-karya Ibnu Arabi, seperti di dalam Fushush al-Hikam dan futuhat al-makkiyyah (4jilid). Selain pembahasannya amat rumit boleh jadi juga tidak menarik karena sepintas tidak memberikan manfaat secara instan kepada pencari Tuhan di level pragmatis.
Namun, justru materi-materi seperti itu amat di butuhkan bagi mereka yang menginginkan kedalaman hakikat dan makrifat. Untuk mengenal Tuhan lebih mendalam memang tidak mudah. Menurut jalaluddin Rumi, bukan Tuhan pelit untuk memperkenalkan dirinya, melainkan “apa arti sebuah gelas untuk menampung samudra”.
Kapasitas memori akal kita terbatas di umpamakan seperti gelas untuk memuat ilmu Tuhan yang di umpamakan samudra. Dalam Alquran di katakan,”Katakanlah (Muhammad), seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, pasti habislah lautan itu sebelum selesai (Penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun di datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”(QS al-kahfi/18:109).
Al-A’yan al-Tsabitah secara harfiah berarti entitas-entitas yang tetap (immutable entiotas). Al-A’yan bentuk jamak dari ain berarti entitas dan Al-Tsabitah berarti tetap, tidak berubah-ubah. Disebut entitas-entitas tetap karena keberadaannya masih bersifat potensial dan tersembunyi dalam pengetahuan Tuhan.
Berbeda dengan level alam yang sudah merupakan keberadaan konkret atau aktual. Keberadaan yang terahir ini tidak lagi disebut entitas tetap karena sudah bersifat aktual dan menerima perubahan. Keberadaan potensi dan keberadaan aktual di sini tidak bisa di samakan dengan konsep platonisme yang juga mengenal dunia ide dan dunia nyata.
Dalam dunia ide plato hanya merupakan dunia abstrak yang berada di dalam wilayah ontologis dan asih bersifat potensial. Sedangkan wujud merupakan manifestasi dari dunia ide, yang sesungguhnya tidak berbeda dengan dunia ontologi ide, setidaknya antara keduanya memiliki hubungan simetri.
Wujud potensial dan wujud aktual dalam konsep Al-A’yan al-Tsabitah tidak mesti harus sama bahkan mungkin tidak ada hubungannya sama sekali. Meskipun Al-A’yan al-Tsabitah tidak lagi masuk kategori alam, tetapi belum masuk ke dalam pembahasan puncak.
Masih ada pembahasan lebih tinggi lagi yang disebut level Ahadiyyah dan wahidiyyah, yang akan di bahas dalam artikel mendatang. Bahkan, ada segi dari level Al-A’yan ini masih dalam kategori maqam al-Khalq atau level alam, yang disebut al-A’ayan al-Kharijiyyah, yakni sesuatu yang berwujud di level konkret melalui proses emanasi agung. Di sebut al-A’yan al-Kharijiyyah karena berada dilingkaran luar dari Al-A’yan al-Tsabitah.
Al-A’yan al-Tsabitah sudah masuk di level Wahidiyyah atau apa yang di sebut dengan pengetahuan Tuhan. Al-A’yan AL-Tsabitah masuk dalam level pertama utama (the principle level)dan tidak akan pernah berbeda di dalam level kedua (the relative level). Keberadaan Al- Ayan ini merupakan hasil dari proses tajjalli pertama(al- tajjalli al-awal) yg disebut juga dengan emanasi awal (al-faidh al-aqdas).
Proses emanasi berikutnya, yaitu al-faidh al-muqoddas, melahirkan Al-A’yan al-khorijiyyah, yaitu keberadaan yang sudah aktual, bukan lagi keberadaan potensial. Al-A’yan al-Khorijiyyah inilah yang masuk kedalam the relative level. Dengan kata lain, yang masuk di level aktual atau relatif hanya manifestasi (madhahir)-nya saja, bukan hakikatnya karena hakikat Al-A’yan al-kharijiyyah tidak lain adalah al-A’yan al-Tsabitah, yang tetap berada di level utama.
Dari sinilah nanti muncul konsep al-mumtai’at dan konsep al-mumkinat. Potensi wujud (al-=A’yan al-Tsabitah) yang tidak mungkin termanifestasi menjadi wijid aktual (Al-a’yan al-Khorijiyyah) disenut al-mumkinat.
Dalam level atau konsep al-mumtani’at tidka mungkin di jumpai adanya pertentangan dan paradoks antara satu sifat dan sifat lainnya, misalnya antara al-Dhohir dan al-Bathin; al-Awal dan Al Akhir; serta al-Jalal dan al-Jamal, karena semua itu adalah sifat dari hakikat ketuhanan yang tidak mungkin berada di dalam level aktual.
Sebagai entitas yag berada di level Wahidiyyat, al-A’yan al-Tsabitah merupakan sesuatu yang tidka terciptakan (uncreatable). Semua ciptaan (maj’hul) seperti semua jenis alam, termasuk para malaikat, adalah wujud yang sudah aktual (khorijiyyah), karena itu segala yang diciptakan (maj’ul) tidak bisa di sebut al-A’yan al-Tsabitah.
Konsep al-A’yan al-Tsabitah mempunyai beberapa tingkatan. Bermula dari ta’ayun pertama (al-Ta’ayun al-awal) ialah level wahidiyyah yang merupakan manifestasi dari Ahadiyyah. Dari kesadaran diri al-Haq di level Ahadiyyah kemudian melahirkan level Wahidiyyah.
Di level inilah di kenal konsep al-A’yan al-Tsabitah yang sebenarnya berbicara banyak tentang form ilmu Tuhan (Ilmiyyah al-Haq) yang biasa juga di sebut denganal-Shuwwar al-Aqliyah dan form tentang nama-nama Tyhan (al-Asma’ al-Haq). Dengan menguasai konsep al-Ayan al-Tsabitah di harapkan memudahkankita memahami alam dan diri kemanusiaan kita yang dikenal sebagai makluk termulia (ahsan taqwim).
Penghenalan diri seca komprehensif dengan sendirinya memungkinkan kita memahami Tuhan secara komprehensif pula. Rasulullah pernah memberikan sugesti kepada kita dengan mengatakan,”Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” (barang siapa yang sudah memahami dirinya maka ia sudah memahami Tuhannya).
Dalam hadits ini, Rasulullah menggunakan fi’il madhi, yang mengisyaratkan pada saat manusia sedang memahami dirinya pada saat itu juga memahai Tuhannya. Jadi, buklan bersifat sequent, memahami diri dulu baru memahami Tuhan. Semoga Allah SWT memudahkan kita memahami diri untuk memahami diri-Nya. (prof.nazaruddin umar dialog jumat,8 april 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar