TASYAWUF
Habib Alwi bin Muhammad al- Hadad
Ibarat selembar kertas yang memilik dua sisi. Salah satu sisinya kosong dan sisi lainnya berisi tulisan. Sisi yang kosong tidak bisa di jelaskan sedangkan sisi yang sebelahnya dapat si jelaskan karena ada kalimat-kalimat penjelasnya. Jika ini di analogikan dengan wacana maqam Ahadiyyah dan maqam Wahidiyyah, halaman yang kosong ibarat Ahadiyyah (the Divine Nothingness).Dalam kitab-kitab tasyawuf, maqam ini sering di sebut sebagai Sir al-asraf/sacred of the sacred. Maqam Ahadiyyah juga sering di sebut “Gudang yang tersembunyi” atau Gayb al-Guyub, Haqiqat al-haqaiq. Sedangkan maqam Wahidiyyah dapat dikatakan sebagai manifestasi sempurna (kamal al-istijla’) dari maqam Ahadiyyah.
Maqam Wahidiyyah ini banyak di bicarakan ketika kita membahas konsep al-A’yan al-Tsabitah pada artikel minggu lalu. Al-a’yan al-Tsabitah, suatu maqam yang di atas alam jabarrut, tetapi masih berada wilayah di maqamWahidiyyah. Itu sebabnya, maqam Wahidiyyah disebut Ta’ayyun kedua dan Ta’ayyun pertama ialah Maqam Ahadiyyah.
Dalam Ta’ayun pertama (Ahadiyyah) nama-nama dan sifat (al-asma’ wa al aushaf) masih belum teridentifikasi dengan jelas dan semuanya masih tenggelam dalam keesaan diri-Nya. Oleh karena itu, maqam Ahadiyyah disebut juga dengan jam al- jam’ atau Ahadiyyah al-Ahad menurut istilah Ibnu ‘Arabi.
Sedangkan Maqam Wahidiyyah sudah ada unsur distingsi dan identifikasi nama-nama dan sifat-sifat. Nama-nama dan sifat-sifat Tuhan berada di dalam Maqam Wahidiyyah karena merupakan hakikat yang menyingkapkan diri-Nya. Dalam ilmu tasyawuf di sebut madhahir al-asma’ atau al ’ayan.
Kita tidak mungkin bisa mengenal diri-Nya melalui martabat Ahadiyyah maka ia memperkenalkan diri-Nya sendiri, yang tentu saja sejauh Tuhan mengugkapkan diri-Nya. Dari sini bisa di pahami bahwa 99 nama Indah Tuhan yang dikenal dengan al-Asma’ al-Husna, bisa merupakan jendela untuk mengintip, mengenal, dan mendekati Tuhan.
Seperti disebutkan dalam al-quran, “dan Allah memiliki al-Asmaul Husna maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut al-Asma’ al-Husna itu.”(QS al-araf [7]:180). Nama-nama inilah yang pertama kali di ajarkan oleh Allah SWT kepada Adam, yang membuat malaikat takjub kepadanya.
Dalam Alqur’an di sebutkan,”dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman:” sebutkanlah kepada-KU nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!’ Mereka menjawab: ‘Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana’.” (QS Al-Baqarah [2]:31-32).
Tentang rahasia nama-nama indah Allah akan di bahas dalam suatu artikel tersendiri yang akan datang. Manifestasi maqam Ahadiyyah ke maqam Wahidiyyah di terangkan dalam hadits qudsi bahwa: “Aku pada mulanya harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin di kenal maka kuciptakan makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku.”
Dalam beberapa kitab tasyawuf di jelaskan ketika Allah sedang menyadari diri-Nya (subject conciusness) maka saat itu muncul subjek dan objek dan muncul determinasi (mu’ayyan), manifestasi, spesifikasi. Ketika itu Al-Haq tanazul (descended) dari kemutlakan-Nya menjadi partikulasi.
Ada yang sadar, ada yang di sadari meskipun subjek dan objek itu masih tetap satu atau tunggal. Namun, ketunggalan di sini oleh Ibnu ‘Arabi di sebut Ahadiyyah al Wahid, yaitu ketunggalan relatif atau ketunggalan dari yang banyak. Berbeda di level Ahadiyyah, Allah betul-betul berada dalam ketunggalan atau keesaan mutlak sehingga di sebut Ahadiyyah al-Ahad.
Meskipun di bedakan anatara maqam Ahadiyyah dan Maqam Wahidiyyah, kedudukannya tidak bisa di pisahkan. Satu wujud eksistensi dan yang lainnya haqiqah (reality), ‘ain (entity), sya’i (thing), dan ma’lum (pengetahuan illahi). Wujud dalam diri-Nya sendiri dalam level Ahadiyyah tidak dapat di definisikan dan di ketahui (unknowable).
Sedangkan di level Wahidiyyah ialah wujud yang dapat di ketahui melalui realitas yang termanifestasikan oleh atau sejauh yang di tentukan dan di definisikan oleh diriNya sendiri. Wujud yang Maha tinggi memang tidak tampak pada diri-Nya sendiri, tetapi menyebabkan segala sesuatu selain diriNya menjadi tampak.
Ilustrasi sederhananya, seperti ombak dengan laut, matahari dengan cahanya, api dan panasnya. Tidak mungkin ada ombak tanpa laut, tidak mungkin ada cahaya tanpa ada sumber cahaya, dan tidak mungkin ada panas tanpa ada sumber panasnya. Ombak adalah akibat atau reaksi adanya laut yang menjadi sebab.
Para teolog dan kalangan Arifin beranggapan bahwa manisfestasi dan tajalli dari Ahadiyyah ke Wahidiyyah dan seterusnya ke wujud aktual menjadi pangkal permulaan makhluk. Berawal dari potensi wujud (wjud al-ilmi) atau yang biasa di sebut dengan al-A’ayan sl-Tsabitah, kemudian menjelma menjadi wujud aktual (wujud al-khariji).
Lalu, dari al-khoriji dan seterusnya sampai pada alam syahadah mutlak di sebut makhluk atau maj’ul. Di dalam bahasa Alquran sesuatu yang bersifat ciptaan awal (the firs t creation) biasanya di ungkapkan dengan menggunakan khalaqa, sedangkan untuk ciptaan kedua (the scond creations) atau kejadian yang berkelanjutan (cintinum creations) di ungkapkan dalam kata ja’ala. Jadi, ada makhluk ada maj’ul.
Sang kholiq atau ja’il sering disebut dengan al-haq, sementara makhluk dan maj’ul, yaitu alam semesta termasuk manusia disebut al-khalq. Antara al-haq dan al-Khalq sesuatu yang berbeda, tetapi tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Inilah yang di ungkapkan dalam syair Jalaluddin Rumi, “jika engkau bicara soal ketakterbandingan, engkau telah membatasi. Jika engkau bicara soal keserupaan engkau juga membatasi, jika engkau membicarakan keduanya itu yang tepat dan engkau mencapai makrifat.”
Maqam Wahidiyyah sering di sebut maqam antara (barzahk) karena posisinya berada diantara al-haq dan khalq. Akan tetapi, barzakh disini tidak sama dengan Alam barzakh atau alam mitsal sebagai mana disebutkan dalam artikel terdahulu, karena Alam barzakh masih makhluk sedangkan Maqam barzakh Wahidiyyah belum termasuk makhluk.
Penjelasan lebih lengkap tentang maqam Ahadiyyah dan Maqam Wahdiyyah akan lebih lengkap setelah nanti kita membahas nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Mungkin kita bisa terbantuuntuk memahami dua maqam ini melalui pembahasan spiritual puncak beberapa agama lain. Wallahu a’lam. Dialog jumat 15 april 2011 republika, tasyawuf, prof Dr Nazaruddin umar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar