CANTIK DIBALIK KERUDUNG

“Wanita sejati bukanlah dilihat dari bentuk tubuhnya yang mempesona, tetapi dilihat dari sejauhmana ia menutupi bentuk tubhnya. Wanita sejati bukanlah dilihat dari Kecantikan paras wajahnya, tetapi dari kecantikan hati yang ada dibalikmya. Wanita sejati bukanlah dilihat dari begitu banyak kebaikan yang diberikan, tetapi dari keihklasan ia memberikan kebaikan itu. Wanita sejati bukanlah dilihat dari seberapa indah lantunan suaranya, tetapi dari apa yang sering mulutnya bicarakan. Wanita sejati bukanlah dilihat dari keahlihannya berbahasa, tetapi dilihat dari bagaimana caranya berbicara. Wanita sejati bukanlah dilihat dari keberaniannya berpakaian, tetapi dilihat dari sejauhmana ia berani mempertaruhkan kehormatannya. Wanita sejati bukanlah dilihat dari kekawatirannya digoda orang lain dijalan, tetapi dilihat dari kekawatirannya yang mengundang orang lain jadi tergoda. Wanita sejati bukanlah dilihat dari seberapa banyak dan besarnya ujian yang ia jalani, tetapi dilihat dari sejauhmana ia menghadapi ujian itu dengan syukur. Dan ingatlah..........!!!!!!!! Wanita sejati bukanlah dilihat dari sifat supelnya dalam bergaul, tetapi dilihat dari sejauh mana ia bisa menjaga kehormatanya dalam bergaul....... Wassalam........... “semoga bisa menjadikan kita bertafakkur ya ikhwati”

Jumat, 01 April 2011

MENELADANI POLITIK KH. ABDUL WAHID HASYIM


vol : 2


BAB III


PENGABDIAN KEMASYARAKATAN DAN KENEGARAAN

Meskipun KH A. Wahid Hasyim sudah menjadi menteri sejak dalam kabinet pertama dan menjadi menteri pula di kabinet-kabinet sesudahnya, namun Beliau tidak melepaskan kedudukannya sebagai pemimpin masyarakat. Adalah menjadi pendiriannya yang tak tergoyahkan: tanpa seorang masyarakat seorang menteri tidak ada artinya dalam arti perjuangan dan pengabdian masyarakat.

A.   Pergulatan Pemikiran Masuk Organisasi

ketika orang yang memasuki suatu organisasi atau perhimpunan atas dasar kesadaran kritisnya. Pada umumnya orang yang aktif dalam sebuah organisasi atas dasar tradisi mengikuti jejak kakek, ayah, atau keluarga lain, karena ikut-ikutan atau karena semangat primordial. Tidak terkecuali bagi kebanyakan warga NU. Sudah lazim orang masuk NU karena keturunan; ayahnya aktif di NU, maka secara otomatis pula anaknya masuk dan menjadi aktivis NU. Kelaziman seperti itu agaknya tidak berlaku bagi Wahid Hasyim. Proses ke-NU-an Abdul Wahid Hasyim berlangsung dalam waktu yang cukup lama, setelah melakukan perenungan mendalam. Ia menggunakan kesadaran kritis untuk menentukan pilihan organisasi mana yang akan dimasuki.
Waktu itu April 1934, sepulang dari Mekkah, banyak permintaan dari kawan-kawannya agar Abdul Wahid Hasyim aktif dihimpunan atau organisasi yang dipimpinnya. Tawaran juga datang dari Nahdlatul Ulama (NU). Pada tahun-tahun itu di tanah air banyak berkembang perkumpulan atau organisasi pergerakan. Baik yang bercorak keagamaan Tradisionalis, modernis maupun nasionalis. Setiap perkumpulan berusaha memperkuat basis organisasinya dengan merekrut sebanyak mungkin anggota dari tokoh-tokoh berpengaruh. Wajar saja jika kedatangan Wahid Hasyim ke tanah air disambut penuh antusias para pemimpin perhimpunan dan diajak bergabung dalam perhimpunannya. Ternyata tidak satupun tawaran itu yang diterima, termasuk tawaran dari NU.
Apa yang terjadi dalam pergulatan pemikiran Abdul Wahid Hasyim, sehingga ia tidak kenal secara cepat menentukan pilihan untuk bergabung di dalam satu perkumpulan itu? Waktu itu memang ada dua alternatif di benak Abdul Wahid Hasyim. Kemungkinan pertama, ia menerima tawaran dan masuk dalam salah satu perkumpulan atau partai yang ada. Dan kemungkinan kedua, mendirikan perhimpunan atau partai sendiri.
Di mata Abdul Wahid Hasyim perhimpunan atau partai yang berkembang waktu itu tidak ada yang memuaskan. Itulah yang menyebabkan ia ragu kalau harus masuk dan aktif di partai. Ada saja kekurangan yang melekat pada setiap perhimpunan. Menurut penilaian Abdul Wahid Hasyim, partai A kurang radikal, partai B kurang berpengaruh, partai C kurang memiliki kaum terpelajar, dan partai D pimpinannya dinilai tidak jujur. ”di mata saya, ada seribu satu macam kekurangan yang ada pada setiap partai,” tegas Abdul Wahid Hasyim ketika berceramah di depan pemuda yang bergabung dalam organisasi Gerakan Pendidikan Politik Muslim Indonesia.
Setelah beberapa lama kurang lebih 4 tahun Beliau melakukan pergulatan pemikiran dan mengamati segala bentuk pergerakan baik pergerakan yang dipimpin oleh kelompok nasionalis, modernis, dan Tradisionalis. Tidak sampai tahun 1938 A Wahid Hasyim akhirnya menjatuhkan pilihannya ke NU . Meskipun belum sesuai dengan keinginannya, tapi dianggap NU memiliki kelebihan dibanding yang lain. Selama ini organisasi-organisasi dalam waktu yang pendek tidak mampu untuk menyebar keseluruh daerah. Berbeda dengan NU dalam waktu yang cukup singkat sudah menyebar hingga 60% di seluruh wilayah di Indonesia. Inilah yang dianggap oleh A Wahid Hasyim kelebihan yang dimiliki oleh NU.
Pada tahun 1938 A Wahid Hasyim banyak mencurahkan waktunya untuk kegiatan-kegiatan NU. Pada tahun ini A Wahid Hasyim ditunjuk sebagai sekretaris pengurus Ranting Tebuireng, lalu menjadi anggota pengurus Cabang Jombang. Kemudian untuk selanjutnya A Wahid Hasyim dipilih sebagai anggota Pengurus Besar NU di wilayah Surabaya. Dari sini karirnya terus meningkat sampai Ma’arif NU pada tahun 1938. Setelah NU berubah menjadi partai politik, ia pun dipilih sebagai ketua Biro Politik NU tahun 1950.
Sejak aktif di NU Cukir Jombang, pada tahun 1938 hingga saat wafat pada 19 April 1953, KH. Abdul Wahid Hasyim terlibat aktif dalam kehidupan politik. Walaupun NU adalah organisasi dakwah dan pendidikan Islam, namun situasi saat itu yang dipenuhi pergerakan nasional menjadikan seluruh organisasi kemasyarakatan turut aktif di dalamnya. Apalagi NU adalah organisasi Islam terbesar di tanah air.
Kiprah ini semakin menonjol saat Pak Wahid Hasyim pada tahun 1940 mewakili NU di MIAI (Majelis Islam A’laa Indonesia, federasi organisasi Islam yang didirikan pada tahun 1937). Bahkan Beliau terpilih menjadi ketua. MIAI ini melakukan sejumlah tuntutan kepada pemerintah Hindia Belanda, diantaranya adalah agar Pemerintah kolonial  mencabut Guru Ordonantie 1925 yang sangat membatasi guru-guru agama Islam dalam beraktifitas. Peran Pak Wahid Hasyim sangat menonjol dalam kasus ini karena konsep utama beliau adalah pendidikan. Puncak dari aktifitas MIAI adalah bersama-sama dengan GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) dan PVPN (Asosiasi Pegawai Pemerintah) mendirikan Kongres Rak yat Indonesia sebagai komite nasional yang menuntut Indonesia berparlemen.
Di kalangan pesantren, Nahdlatul Ulama mencoba ikut memasuki trace baru bersama-sama organisasi sosial modern lainnya, sepeti Muhammadiyah, NU juga membentuk sebuah federasi politik bernama Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI 1937) lebih banyak di dorong oleh rasa bersalah umat Islam setelah melihat konsolidasi politik kaum nasionalis begitu kuat. Pada tahun 1939, ketika MIAI mengadakan konferensi, Kyai Wahid Hasyim terpilih sebagai ketua. Setahun kemudian ia mengundurkan diri.



B.   NU dan Partai Politik
Pak Wahid Hasyim juga mengalami saat-saat yang memilukan ketika NU menyatakan diri keluar dari Partai Masyumi pada tahun 1952. Beliau adalah tokoh kunci yang berperan dalam pelahiran Partai Masyumi melalui Kongres Umat Islam bulan Nopember 1945 di Jogjakarta. Namun hingga awal 50-an perkembangan partai tersebut semakin jauh dari harapan NU karena berbagai soal, diantaranya adalah masalah perimbangan komposisi kader Islam modernis dan tradisionalis, dan persoalan penciutan peran Majelis Syuro partai.
 Sekalipun banyak tudingan bahwa dalam soal tersebut, NU dianggap terlalu banyak tuntutan politik (hal yang wajar karena proporsi pengikut NU lebih besar), persoalan ini sesungguhnya bukan melulu masalah pragmatisme politik. Masalah penciutan peran Majelis Syuro dari lembaga legislatif menjadi sekedar konsultatif, bagi NU dalam memandang kepemimpinan ulama senior adalah sesuatu yang utama. Ini adalah prinsip yang tidak bisa ditawar dan tetap dipertahankan kalangan Nahdliyyin hingga kini, dan hal ini ternyata tidak dimengerti oleh kolega-kolega mereka dari kalangan modernis yang memang tidak memiliki tradisi penghormatan terhadap ulama’.
NU berusaha memperbaiki ketimpangan yang terjadi di dalam Partai Masyumi, terutama ketika partai tersebut berada di bawah pimpinan Muhammad Natsir dengan grup elit politisi golongannya. Selama 4-5 tahun usaha NU mengadakan usaha-usaha dari dalam, tetapi tidak berhasil. Karena tidak ada jalan lain maka koreksi NU ditingkatkan.
Atas prakarsa KH A.Wahid Hasyim, Nahdlatul Ulama mendirikan Biro Politik yang bertugas melakukan perundingan dengan pihak Partai Masyumi untuk mencari jalan islah menuju mekanisme demokrasi secara sehat. Usaha ini pun mengalami kegagalan. Maka pada tahun 1950 dalan Kongres NU di Jakarta, Kongres memutuskan NU keluar dari Partai Masyumi. Namun pelaksanaannya ditangguhkan untuk sementara waktu agar memberi kesempatan kepada Partai Masyumi meninjau pendiriannya atas koreksi NU.
Bagi NU, Partai Masyumi terlalu mengandalkan kekuatan grup elita politisinya, mengira bahwa Masyumi telah begitu kuat hingga memandang kecil terhadap kekuatan dan pengaruh NU. Tahun 1952 NU melangsungkan Kongres di Palembang, dr. Sukiman selaku ketua Partai Masyumi hadir dalam kongres itu atas undangan NU. Acara terpenting dalam kongres ialah: apakah NU tetap di dalam Masyumi atau keluar. Akhirnya kongres memutuskan NU menjelma menjadi partai politik sendiri lepas dari Partai Masyumi. Kongres juga memilih KH A.Wahid Hasyim menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Partai NU.
Menurut A. Wahid Hasyim, keluarnya NU dari Masyumi disebabkan Masuymi tidak pernah menghargai strukturnya, sebagaimana yang di minta oleh NU. Ada empat Hal yang menjadi penyebabnya: 1) adanya dualisme keanggotaan di Masyumi, yakni individual dan organisasi. 2) Tidak adanya kesetaraan hak yang  diberikan kepada anggota. 3) didirikannya sebuah pimpinan pusat umat islam Indonesia yang baru. 4)tidak adanya perjuangan yang sungguh-sunguh dalam parlemen sehingga sangat tidak sejalan dengan prinsip-prinsip islam sebagaimana yang dianut oleh masyumi.
Sebagai partai politik baru, NU muncul sebagai partai yang cukup terdepan dalam konstelasi perpolitikan di Indonesia. Dengan basis massa di daerah pedesaan, NU pada pemilihan Umum pertama pada tahun 1955 memperoleh suara yang cukup signifikan dan menjadi partai politik terbesar ketiga di Indonesia. Tentu saja, keberhasilan NU dalam pemilihan umum tersebut tidak lepas dari peran dan usaha yang di lakukan oleh A.Wahid Hasyim.
            Kejadian ini hanya berselang 1 (satu) tahun sebelum KH. Abdul Wahid Hasyim wafat pada usia relatif muda, 39 tahun akibat kecelakaan mobil sewaktu hendak menghadiri acara NU di Bandung. Peristiwa ini merupakan kehilangan terbesar kedua bagi kalangan Nahdliyyin setelah wafatnya Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asyári. Bahkan Greg Barton sempat menulis “perharps if Wahid Hasyim had not been killed ia a an automobile accident in 1953 the situation might have developed differently”. Situasi yang dimaksud Barton tentu saja adalah kondisi politik nasional, hubungan antara kalangan Islam dan Nasionalis maupun antara Islam modernis dengan tradisionalis dimana Pak Wahid Hasyim banyak berkiprah di dalamnya.

C.    Catatan Gemilang  A W H
Di dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Sukarno (September 1945), Kiai Wahid ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika KNIP dibentuk, Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP tahun 1946. Setelah terjadi penyerahan kedaulatan RI dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950 dia diangkat menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan kepadanya selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman.
Selama menjabat sebagai Menteri Agama RI, Kyai A.Wahid Hasyim mengeluarkan tiga keputusan yang sangat mempengaruhi sistem pendidikan Indonesia di masa kini, yaitu :
1. Mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta.
2. Mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung, Bukittinggi, dan Yogyakarta.
3. Mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Tanjungpinang, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, dan Salatiga.
Kyai A Wahid Hasyim juga memberikan ide kepada Presiden Soekarno untuk mendirikan masjid Istiqlal sebagai masjid negara.
Jasa lainnya ialah:
[1] pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta (tahun 1944), yang pengasuhannya ditangani oleh KH. Kahar Muzakkir.
 [2] Mendirikan Jam’iyah al-Qurra’ wa al-Huffazh (Organisasi Qari dan Penghafal al-Qur’an) di Jakarta; 
[3] Menetapkan tugas kewajiban Kementerian Agama melalui Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1950; 
[4]  Merumuskan dasar-dasar peraturan Perjalanan Haji Indonesia(PHI).  
[5] Memutuskan pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN/UIN/STAIN. pada tahun 1950 dalam kementerian agama.
Pada tahun 1952 KH. Abdul Wahid Hasyim memprakarsai berdirinya Liga Muslimin Indonesia, suatu badan federasi yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Darul Dakwah wa al-Irsyad. Susunan pengurusnya adalah KH. A Wahid Hasyim sebagai ketua, Abikusno Cokrosuyoso sebagai wakil ketua I, dan H. Sirajuddin Abbas sebagai wakil ketua II.

KH. Abdul Wahid Hasyim, Berprestasi Besar pada Usia Muda sampai akhir hayatnya, Sewaktu terjadi perombakan kabinet dan nama Wahid Hasyim tidak tercantum lagi dalam daftar nama anggota kabinet baru, beberapa orang tampak kecewa. Padahal yang bersangkutan cuek saja. Ketika mereka bertemu dengan KH. Abdul Wahid Hasyim, kekecewaan itu langsung ditumpahkan kepadanya.
"Kami merasa kecewa karena Gus Wahid tidak duduk lagi di kabinet," kata H. Azhari.
"Tak usah kecewa. Saya toh masih bisa duduk di rumah. Saya mempunyai banyak kursi dan bangku panjang.Tinggal pilih saja," jawab KH. Abdul Wahid Hasyim sekenanya sehingga mengundang tawa yang hadir.
"Tapi kami tetap menyesal karena pemimpin kita tidak dipakai oleh pemerintah...," ujar H. Ichwan. [tentang H. Ichwan, baca pula "Santri yang Enggan Menjadi Kyai " Kalau tidak dipakai oleh negara, biarlah saya pakai sendiri...," sekali lagi KH. Abdul Wahid Hasyim menjawab dengan santai dan penuh humor. Suara tawa kembali meledak.
"Kenapa ya, menjadi menteri kok cuma sebentar?" tanya H. Azhari masih penasaran.
"Lho, kalau kita mengantarkan jenazah ke kuburan, pembaca talqin itu kan selalu mengingatkan kita, *"Wa mal hayatud-dunya illa mata'ul ghurur"* Memangnya orang menjadi menteri untuk selamanya?" jawab KH. Abdul Wahid Hasyim. Kali ini dengan nada sedikit serius, menggunakan *i'tibar*
Masa hidup yang sangat singkat, memberi isyarat kita bahwa tugas-tugas mediasi, membangun jembatan kultural dan memberi bentuk yang utuh dan padu pada pembangunan nasional adalah tugas seluruh generasi. KH. Abdul Wahid Hasyim boleh dikata merupakan penggagas awal, peletak landasan, sedang bangunan itu sendiri masih belum tuntas hingga saat ini. Apa yang hari ini kita saksikan di negeri ini ternyata masih belum berubah banyak sejak zaman para ‘founding fathers” kita, pertikaian, egoisme, dan kesenjangan kultural. Inilah yang mesti menjadi perhatian kita saat ini.

D.   Mengenal Lebih Dekat
          (sang tokoh di mata KH.Syaifuddin Zuhri)

KH. Abdul Wahid Hasyim salah satu tokoh yang mempelopori atau membidani terbitnya majalah bulanan bernama “Suluh Nahdlatul Ulama” yang diasuh dan dikemudikan dari tengah-tengah Pesantren Tebuireng. Majalah ini menjadi mimbar dan sekaligus menara Nahdlatul Ulama (NU). Melalui penerbitan majalah inilah, KH. Abdul Wahid Hasyim mengakui rasa simpatinya pada karya-karya KH Saifuddin Zuhri yang tersebar di berbagai media NU seperti “Berita NU” di Surabaya, Majalah bulanan “Suara Ansor NU” di Surabaya, Majalah bulanan “Trompet Pemuda” terbitan Ansor NU Cabang Kudus, Majalah bulanan berbahasa Jawa “Panggugah” diterbitkan Konsulat NU Banyumas dan Mingguan “Pesat” yang berisi berita-berita politik populer di Semarang.
Dari sinilah KH A. Wahid Hasyim kemudian meminta KH Syaifuddin Zuhri untuk menulis dalam “Suluh NU” yang diasuhnya. Selama hampir 3 dekade kemudian KH Syaifuddin Zuhri secara tetap membantu menulis dalam “Suluh NU”, hingga akhirnya “suluh NU dilarang terbit oleh pemerintahan militer Jepang pada tahun 1942 M.
Semenjak berkenalan, KH Syaifuddin Zuhri sering sekali menyertai KH. A Wahid Hasyim dalam perjalanan perjuangan, menghadiri pertemuan politik, mengunjungi tokoh-tokoh ulama dan pemimpin pemimpin ormas dan lain sebagainya sehingga KH Syaifuddin Zuhri  diangkat menjadi staf beliau.
Semenjak tahun 1939 KH. A Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi NU, Muhammadiyah, PSII, PII, Al-Irsyad, Persis. Sehubungan dengan jabatannya di MIAI, KH A. Wahid Hasyim juga kemudain duduk pula dalam kepemimpinan Presidium Korindo (Kongres rakyat Indonesia), sebuah proyek perjuangan bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia). Hampir seluruh kota-kota di pulau Jawa mereka singgahi salama zaman pendudukan militer Jepang dan zaman Revolusi fisik (1945-1949), baik untuk urusan politik maupun pertahanan Tanah Air selama perang kemerdekaan.
Selama kurang lebih 14 tahun KH Syaifuddin Zuhri memperoleh kesempatan untuk mengenal lebih dekat KH A. Wahid Hasyim. Sehingga KH A. Wahid Hasyim telah memberi bekas mendalam bagi pertumbuhan karakternya sebagai seorang pemuda yang berusia sekitar 25 tahun. Perkenalan ini terus berjalan hingga 5 hari sebelum KH A. Wahid Hasyim wafat pada tanggal 19 April 1953 dalam usia 39 tahun. Wafat ketika sedang malakukan tugas selaku Ketua Umum Pengurus Besar NU (partai politik yang berusia 2 tahun setelah memisahkan diri dari partai Masyumi).
Musibah itu terjadi tatkala KH A. Wahid Hasyim mengalami kecelakan mobil di desa Cimindi dekat Cimahi Bandung dalam perjalanan menuju ke Sumedang. Pada hari wafatnya KH A. Wahid Hasyim telah lebih dari 7 tahun menjalani puasa sepanjang tahun, kecuali pada hari-hari yang dilarang oleh Islam untuk menjalani puasa (Idul Fitri, Idul Adha, dan hari Tasriq).

D.I. EtikaDalam Hal Makanan dan Berpakaian
Sebagai staf / ajudan, KH syaifuddin Zuhri tidak pernah melupakan apa yang pernah ia jalani bersama Beliau walaupun pada masalah hal yang kecil, maka itu sepatutnya dibuat tauladan untuk semua umat. Di ceritakan oleh KH.Saifuddin Zuhri bahwa KH A. Wahid Hasyim termasuk orang besar yang tidak pernah menyusahkan diri maupun orang lain dalam masalah makanan. Tentang makanan Nabi Besar Muhammad SAW bersabda, ”Kami adalah golongan orang-orang yang makan bila merasa lapar dan jika makan pun tidak sampai kenyang.”
Jika kebetulan dalam perjalanan KH A. Wahid Hasyim harus makan dalam sebuah restoran dan memesan berbagai jenis makanan ”kelas berat” aneka ragam, maka tujuannya hanyalah untuk menyenangkan teman dalam perjalanan. Termasuk bila di rumah, hanyalah untuk menghormati tamu saja.
Pada suatu hari KH Syaifuddin Zuhri menyertai KH A. Wahid Hasyim dalam suatu perjalanan perjuangan ke daerah Jawa Barat. Seharian penuh keduanya disibukkan dengan acara-acara yang sangat padat, sekalipun demikian, KH A. Wahid Hasyim tetap berpuasa (sunnat). Ketika tiba di hotel, waktu sahur telah datang, sementara KH Syaifuddin Zuhri baru menyadari kelengahannya. KH Syaifuddin Zuhri lupa menyediakan santapan sahur bagi KH Abdul Wahid Hasyim. Di atas meja ada sebutir telur rebus dari sisa santapan sahur kemarin dan segelas teh bagian KH Syaifuddin Zuhri ketika sore. Dengan sebutir telur dan segelas teh itulah KH A Wahid Hasyim bersahur. Padahal bila KH A. Wahid Hasyim mau lebih dari itu, KH Syaifuddin Zuhri masih bisa membelikannya di sebuah warung dekat hotel yang masih melayani para pembeli. Di sana masih bisa dipesan nasi goreng, sate ayam, gado-gado dan sebagainya. Namun KH A. Wahid Hasyim tidak memperdulikan tawaran KH Syaifuddin Zuhri. Jawaban KH. A Wahid Hasyim hanya, ”Ah besok toh lapar juga sepanjang hari.” Sebutir telur itu bahkan hendak dibagi dengan KH Syaifuddin Zuhri, demi ”keadilan Sosial” katanya. Tetapi tentu saja KH Syaifuddin Zuhri tolak, toh KH Syaifuddin Zuhri tidak selalu puasa sunnat serutin KH. A Wahid Hasyim. Sambil menyelesaikan sebutir telur yang satu-satunya untuk sahur itu KH. A Wahid Hasyim berucap, ”Kita berlapar-lapar supaya tidak melupakan nasib kaum lapar,” yang dimaksud adalah pada hari kiamat kelak.
Sementara dalam hal berpakaian, KH .A Wahid Hasyim berpendirian, tidak asal berpakaian! Itu sebabnya KH. A Wahid Hasyim selalu berpenampilan necis dan harmonis. Di kalangan yang mengerti seni berpakaian ,KH.A Wahid Hasyim termasuk bergolongan well dressed selalu rapih dalam berpakaian. Kualitas maupun warna baju, kemeja, dasi, celana, hingga sepatu dan kaos kaki selalu serasi, sedap dipandang. Begitu pula jika mengenakan kain sarung, kombinasi antara baju kemeja dan sarungnya mempunyai daya pikat dan mendatangkan rasa hormat. Warna-warna pakaian yang menjadi kegemarannya selamanya kalem, meskipun sesekali ada variast, namun tidak menimbulkan ‘kejutan’.
Pernah KH Syaifuddin Zuhri menanyakan tentang ”falsafat” berpakaiannya, maka jawabannya adalah, ”Tugas kita menjalankan misi perjuangan ini adalah untuk menarik simpati orang banyak. Jika mereka belum tertarik pada ide atau gagasan kita, biarlah sekurang-kurangnya mereka tertarik pada kepribadian kita. Nah, berpakaian yang menyenangkan dalam pandangan orang, akan menimbulkan kesan mengenai kepribadian kita,” terang KH A. Wahid Hasyim.
KH A. Wahid Hasyim berpakaian dengan disertai cita rasa dan daya insting yang begitu kuat. KH A. Wahid Hasyim tahu benar mengenai kecocokan antara situasi dan keserasian pakaiannya. Mengerti tentang menggunakan setelan celana, dan setelan sarung dalam waktu yang tepat.
Pada suatu hari KH. A Wahid Hayim diundang Bung Karno ke Istana Presiden di Yogyakarta. Di sana telah berkumpul Dr. Muhammad Hatta, Haji Agus salim, Mr. Muhammad Yamin, dan tokoh nasional lainnya. Perundingan politik sedang berlangsung berhubung atau situasi tanah air. Tiba di Istana Presiden, KH.A Wahid Hasyim langsung bercengkrama dengan yang tengah menantikan kedatangannya. Sedangkan KH Syaifuddin Zuhri yang mendampinginya duduk bersama para ajudan dan pengawal dalam jarak 20 meter.
Tiap kali KH. A Wahid Hasyim mengemukakan pendapatnya dalam diskusi, maka para pejabat tinggi negara itu tergelak tertawa sebagai tanda persetujuan dalam suasana gembira.
Setelah kira-kira satu jam, pertemuan para pemimpin itu pun usai. KH A. Wahid Hasyim cepat-cepat meninggalkan mereka, meskipun tampaknya para koleganya ini masih hendak menahan agar bisa bercengkerama lebih lama lagi. Terasa adanya suasana kangen antara satu dengan lainnya. Tetapi KH A.Wahid Hasyim cepat-cepat menuju mobilnya. Dalam mobil KH Syaifuddin Zuhri menanyakan, mengapa menghadiri pertemuan tingkat tinggi itu, KH A.Wahid Hasyim cuma mengenakan sarung saja? Maka KH A.Wahid Hasyim menjawab, ”Kedatangan saya bukan karena atas keinginan saya, melainkan atas permintaan mereka. Buat mereka tidak menjadi persoalan pakaian yang saya kenakan. Kecuali itu saya sengaja memakai sarung untuk mengangkat harkat kaum bersarung!” Kemudian KH. A Wahid Hasyim menyambung pernyataannya, ”Para kyai kadang-kadang tidak dihargai oleh mereka yang sok intilektual hanya karena sarungnya. Padahal lihatlah, Ki Sarmidi Mangunsarkoro selalu mengenakan sarung, padahal beliau menteri P dan K!” tandas KH. A Wahid Hasyim.

D.II. Sebagai Kutu Buku

Sebagaimana anjuran dalam Alquran ”iqro’ bacalah, maka dengan membaca kita akan mendapatkan apa yang mau kita ketahui. Begitupun juga seorang KH.A Wahid Hasyim adalah pribadi yang cerdas dan lihai dalam berpidato. Terutama sekali karena pidatonya selalu didukung dan dilengkapi dengan tema-tema yang disitir dari salah berbagai buku. Tentu tiada kesulitan bagi KH. A Wahid Hasyim untuk mencari referensi, karena KH. A Wahid Hasyim menguasai bahasa Arab, Belanda dan Inggris sebagai kunci utama dalam penguasaan buku-buku ilmiah saat itu.
Meskipun tidak pernah sekolah formal di bangku sekolah pemerintah Belanda, sejak dari tingkat dasar sekalipun, namun KH. A Wahid Hasyim telah mulai belajar menulis dan membaca huruf latin sejak dini secara self studie. Dari cara belajar non formal inilah KH. A Wahid Hasyim mampu mempelajari berbagai buku dalam bahasa Belanda dan Inggris.
Menurut cerita yang dituturkan kepada KH Syaifuddin Zuhri, KH A. Wahid Hasyim merupakan pelanggan tetap sebuah perpustakaan di kota Surabaya. Tidak seperti orang kebanyakan yang datang keperpustakaan dengan memilih judul yang telah disiapkan dari rumahnya, KH A. Wahid Hasyim membaca buku apa saja tanpa memilih judul. Mengambil secara berurutan, buku-buku yang tersusun di rak hingga seluruh buku habis dibacanya. Karenanya, tidaklah mengherankan jika KH A. Wahid Hasyim mengetahui pengetahuan umum di bidang sejarah, pengetahuan alam, filsafat, politik, ekonomi, seni budaya, dan lain-lainnya.
KH A. Wahid Hasyim mengkritik orang-orang terpelajar yang tidak peka terhadap masalah-masalah kemasyarakatan. Menurut KH A. Wahid Hasyim, mereka hanya bisa membaca buku-buku kecil dalam huruf-huruf kecil a-b-c-d atau alif-ba-ta-tsa, tetapi tidak bisa membaca buku-buku besar dengan huruf-huruf besar. Yang dimaksudkan di sini adalah kebanyakan orang pandai tidak mampu membaca tanda-tanda (fenomena) yang sedang bergejolak dalam masyarakat.
Dalam memori KH Syaifuddin Zuhri, KH A. Wahid Hasyim menganggap bahwa membaca sejarah amatlah penting, tetapi jauh lebih penting lagi adalah membuat sejarah itu sendiri, atau setidak-tidaknya ikut membuat sejarah. (Bagi KH Syaifuddin Zuhri), KH .A Wahid Hasyim telah membuktikan anggapannya ini. KH A. Wahid Hasyim telah terlibat dalam serangkaian tokoh-tokoh yang menjadi ujung sejarah kelahiran Indonesia bersama-sama dengan Ir. Soekarno, Dr. Muhammad Hatta, Haji Agus Salim, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. AA Maramis, Mr. Muhammad Yamin, Abikousno Cokrosuyoso dan KH. Abdulkahar Muzakkir dalam menyusun Jakarta Charter tertanggal 22 juni 1945 yang akhirnya manjelma menjadi pembukaan UUD 1945.

D.III. Sifat Kesederhanaan
KH .A Wahid Hasyim telah memiliki sifat mulia sejak kecilnya. Sikap mulia dan sederhana ini tetap disandangnya hingga dirinya telah menjadi menteri negara. KH.A Wahid Hasyim tetap menulis surat-surat yang diketik sendiri kepada teman-temannya, baik yang masih sering berjumpa, apalagi yang sudah jarang bersua. Surat-suratnya biasanya berisi anjuran mempererat tali persaudaraan, paparan perkembangan masyarakat dan menasehatkan cara-cara menghadapi situasi terkini.
Surat-surat yang datang dari teman-teman maupun orang yang tak dikenalnya, selalu diperhatikan dan dijawab seperlunya. Diceritakan dalam suatu surat, si pengirim menyatakan dirinya adalah seorang petani miskin yang diperlakukan tidak adil oleh pamong desanya. KH Abdul Wahid Hasyim sangat antusias menerima surat dari orang yang tak dikenal itu, diambilnya mesin ketik dan seketika itu pula ditulis jawabannya dengan pendek. ”Surat Saudara sangat mengharukan saya. Harap dimaafkan, bahwa pada saat ini saya belum sempat membalas surat Saudara. Insya Allah saya akan perhatikan benar-benar. Bahkan saya berpikir akan datang kepada Saudara untuk turut memecahkan persoalan Saudara. Wassalam” Benar juga, di hari lain KH .A Wahid Hasyim datang ke daerah Kediri untuk menjumpai si pengirim surat dan lalu datang kepada camat di daerahnya untuk mencari jalan penyelesaiannnya. Akhirnya masalah si pengirim surat dapat dipecahkan.
Sudah menjadi kebiasaan KH A. Wahid Hasyim, bila berkunjung kepada seorang teman, selalu membawa oleh-oleh, baik berupa buah-buahan maupun sebungkus kue dan rokok bila seorang yang dikunjungi adalah seorang perokok, meskipun KH A. Wahid Hasyim sendiri tidak merokok. Di dalam sakunya selau ada korek api untuk memberi api teman bicaranya yang hendak merokok.
Pada suatu hari, KH. A Wahid Hasyim bertandang ke rumah KH Syaifuddin Zuhri. Seperti biasa jika KH.A Wahid Hasyim datang, maka kawan-kawan dan keluarga KH Syaifuddin Zuhri pun ikut mengerumuninya. Setelah orang-orang bubar untuk memberi kesempatan KH .A Wahid Hasyim beristirahat. Sementara KH Syaifuddin Zuhri dan istrinya menyiapkan kamar tidur untuk tamunya ini, rupanya KH A. Wahid Hasyim justru asyik membersihkan meja yang terserak-serak gelas-gelas bekas minuman dan puntung-puntung rokok yang ditinggalkan oleh para pengerumun sebentar tadi. KH. A Wahid Hasyim merapikan meja dan kursi dari asbak tempat menaruh bekas punting rokok, Sudah tentu KH Syaifuddin Zuhri amat terperanjat dan mencoba mencegah agar KH.A Wahid Hasyim tidak usah mengerjakan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh tuan rumah. Namun pada saat itu justru KH.A Wahid Hasyim menjawab dalam bahasa Arab, ”Khalash,” (sudah selesai).
Menurut KH. A Wahid Hasyim, ”Orang-orang tua tidak usah dilihat dari ilmu maupun kedudukannya, dari segi usia saja, orang yang lebih muda wajib memuliakannya. Cara menghadapi kesombongan bukanlah dengan bersikap rendah hati. Menurut KH. A Wahid Hasyim orang-orang sombong dan angkuh hanya mengenal satu bahasa, yakni kesombongan. Mereka tidak mengenal rendah hati dan mengalah. ”Kita tidak usah menyombong, karena terkena najis tidak boleh dibersihkan air najis! kepada mereka harus kita perlihatkan bahwa diri kita adalah kuat dan sanggup mengalahkannya. Orang sombong maupun zalim harus ditolong.” Cara menolong orang sombong yang biasa dipilih oleh KH. A Wahid Hasyim adalah dengan menyetop atau mencegah agar seseorang tidak sombong atau dzalim lagi.




E.   Mengalami Musibah
Tanggal 19 April 1953 merupakan hari berkabung. Waktu itu hari Sabtu tanggal 18 April, KH. Abdul Wahid Hasyim bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Berkendaraan mobil Chevrolet miliknya, Abdul Wahid Hasyim ditemani seorang sopir dari harian Pemandangan, Argo Sutjipto, tata usaha majalah Gema Muslimin dan putera sulungnya, Abdurrahman Ad-Dakhil. Abdul Wahid Hasyim duduk di jok belakang bersama Argo Sutjipto.
Daerah di sekitar Cimahi dan Bandung waktu itu diguyur hujan dan jalan menjadi licin. Pada waktu itu lalu lintas di jalan Cimindi, sebuah daerah antara Cimahi-Bandung, cukup ramai. Sekitar pukul 13.00 ketika memasuki Cimindi, mobil yang ditumpangi Abdul Wahid Hasyim selip dan sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan. Di belakang Chevrolet nahas itu banyak iringan-iringan mobil. Sedangkan dari arah depan sebuah truk yang melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil zig-zag karena selip dari arah berlawanan. Karena mobil Chevrolet itu melaju cukup kencang, bagian belakangnya membentur badan truk dengan kerasnya. Ketika terjadi benturan, Abdul Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti itu. Keduanya luka parah. KH. Abdul Wahid Hasyim terluka bagian kening dan mata, serta pipi dan bagian lehernya. Sedangkan sang sopir dan Abdurrahman tidak cedera sedikit pun. Mobilnya hanya rusak bagian belakang dan masih berjalan seperti semula.
Lokasi terjadinya kecelakaan ini memang agak jauh dari kota. Karena itu usaha pertolongan datang sangat terlambat. Baru pada pukul 16.00 datang mobil ambulans untuk mengangkut korban ke Rumah Sakit Boromeus di Bandung. Sejak mengalami kecelakaan, kedua korban terus tidak sadarkan diri. Pada pukul 10.30 hari Ahad, 19 April 1953, KH. Abdul Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah SWT. dalam usia 39 tahun. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18.00 Argo Sutjipto menyusul menghadap Sang Khalik.
Musibah ini tentu mengejutkan masyarakat. Jenazahnya dibawa ke Jakarta dan setelah disemayamkan sejenak, lalu diterbangkan ke Surabaya. Selanjutnya dibawa ke Jombang untuk dimakamkan di Pesantren Tebuireng. Banyak yang menyesalkan kyai berusia muda dan merupakan tokoh nasional itu begitu cepat dipanggil menghadap Sang Khalik. Tetapi, itulah kehendak Tuhan.
Jika pada umumnya kematangan prestasi dan karier seseorang baru dimulai pada usia 40, KH. Wahid Hasyim justru telah merengkuhnya pada usia di bawah itu. Orang menilai kematian itu teramat cepat datangnya, secepat Wahid Hasyim meraih prestasi. Karena itu, melihat kepemimpinan dan prestasi yang diraih Wahid Hasyim dalam usia mudanya, sering muncul pengandaian dari masyarakat, "…seandainya KH. Wahid Hasyim dikaruniai usia yang lebih panjang, tidak mustahil…"













BAB IV





KESIMPULAN

A.   Tokoh Agama dan Pilihan Politik
Saat tokoh agama berpolitik, maka akan muncul permasalahan. Namun masalahnya lebih terletak pada penggunaan otoritas dan penggunaan legitimasi, bukan pada substansi keterlibatan tokoh agama dalam politik praktis. Jadi masalahnya, apakah terjadi ‘authority abuse’ saat tokoh-tokoh agama berpolitik atau tidak. Selama tidak ada penyalahgunaan otoritas, maka politik tokoh agama tidak menjadi masalah, bahkan sangat dibutuhkan.
Menjelang pemilihan umum (pemilu) digelar, banyak sekali tulisan yang bernada gugatan terhadap keabsahan para ulama atau Kyai yang terjun di dunia politik praktis dengan aktif di salah satu partai politik (parpol). Bagi sebagian kalangan, Kyai seharusnya tidak masuk ke kancah politik praktis, dan tetap berkonsentrasi di bidang keagamaan dan kemasyarakatan.
Alasannya, wilayah Kyai adalah sakral, berdimensi gerakan moral yang penuh dengan nilai-nilai keikhlasan, tanpa tendensi dan ambisi, menjadi milik semua golongan. Sedang dunia politik adalah profan yang meniscayakan adanya kepamrihan, penuh muatan politis, tendensius, dan akibatnya para Kyai hanya menjadi alat politik kelompok tertentu. Jika berpolitik praktis dan menjadi juru kampanye parpol, para Kyai akan terjebak pada logika politik (the logic of politics) yang sering memanipulasi umat atau masyarakat basisnya demi kepentingan politik, yang pada gilirannya menggiring ke arah logika kekuasaan (the logic of power) yang cenderung kooptatif, hegemonik, dan korup. Akibatnya, kekuatan logika (the power of logic) yang dimiliki Kyai, seperti logika moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian terhadap masyarakat basisnya akan menjadi hilang, terkalahkan oleh logika kekuasaan tadi.
Sepintas, argumen yang diajukan beberapa kalangan agar Kyai tidak berpolitik sangat luhur dan mulia. Sebagian kalangan itu sepertinya menghendaki agar kesucian, keluhuran moral, dan tugas mulia para Kyai yang ada di dunia ‘lain’ harus tetap terjaga dari ‘comberan’ politik yang penuh dengan kenistaan. Bahkan, boleh dibilang mereka berusaha menyelamatkan para Kyai dari godaan politik yang kotor.
Sebelum lebih jauh, perlu diketahui bila penggunaan istilah Kyai, merupakan sebutan lazim untuk istilah ulama di negeri ini. Dalam tata bahasa Arab (nahwu-sharaf), ‘ulama merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim, yang berarti orang yang berilmu, terutama ilmu keagamaan. Penggunaan istilah ulama, kemudian jarang digunakan, saat Islam dikembangkan di Indonesia, yang mana unsur lokalitas budaya masih dipertahankan.
Untuk menghindari kerancuan pemaknaan, terlebih saat istilah kiai menjadi sangat bias, sehingga orang yang bisanya cuma membuat orang lain menangis mendengar kemerduan suaranya juga dianggap Kyai, maka dalam kesimpulan, penulis tidak memakai istilah ulama atau kiai. Sebagai gantinya, penulis menggunakan istilah tokoh agama, sehingga pembahasannya juga lebih luas.

B.   Politik Tokoh Agama
Menurut studi Nasir Tamara (1982), sebelum dan sesudah berhasil menumbangkan rezim Shah Iran di tahun 1979, mendiang Imam Khameini adalah seorang tokoh agama (ulama), mujtahid (pembaharu pemikiran), marja’ al-taqlid (seorang yang patut diikuti), sekaligus seorang politisi yang dikagumi dan dihormati masyarakat Iran. Khameini menuliskan gagasan dan doktrin politik sejak tahun 1941 dalam bukunya berjudul ‘Kasyf al-Asrar’.
Di berbagai pidato politiknya, Imam Khameini dengan tegas meminta agar Shah Iran mengundurkan diri dari jabatannya. Saat Shah Iran membuat kebijakan land-reform di tahun 1963, dengan tegas Imam Khameini melakukan gerakan perlawanan, meski akhirnya ia harus meninggalkan Iran menuju Turki (1964), Irak (1964-1978), dan Prancis sejak tahun 1978. Di ketiga negara itu, Imam Khameini meneruskan perjuangannya melawan rezim Shah Iran.
Begitu juga yang dilakukan teolog besar Gustavo Gutierrez dari Peru, atau uskup agung Oscar A Romero dari El Savador. Mereka adalah para tokoh agama yang juga berpolitik praktis, berperang melawan penindasan terstruktur di wilayahnya. Para tokoh agama itu semua memiliki kesadaran dan semangat keagamaan untuk melakukan perubahan, melawan struktur dan kultur yang hanya menguntungkan sekelompok kecil manusia, tapi merugikan dan menindas mayoritas.
Kesadaran dan semangat keagamaan ini pula yang mendasari pilihan seorang pastor dari Bolivia, Camilo Torres untuk bergabung dengan Ernesto Che Guevara bergerilya melawan pemerintahan komprador, meski akhirnya ia harus tewas dalam sebuah pertempuran gerilya yang tidak seimbang. Bagi kelompok gereja, tindakan Torres tidak mendapat restu, tapi bagi kalangan tertindas dan anak muda di Amerika Latin, tindakan Torres patut ditiru. (Mangunwijaya: 1982)
Begitu pula dalam kaitannya dengan peran politik tokoh agama yang ada di dalam negeri. Ini bisa dilihat dari peran sosial politik Nahdlatul Ulama (NU), organisasi sosial yang pernah berpolitik praktis. Di masa revolusi kemerdekaan, para tokoh agama dari NU membuat langkah political power dengan membentuk tiga kelompok barisan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Barisan Hizbullah dipimpin K.H. Zainul Arifin, Barisan Sabilillah dipimpin K.H. Masykur, dan Barisan Mujahidin dipimpin K.H. Wahab Hasbullah. (Choirul Anam: 1985)
Saat memilih aktif di jalur parpol, tokoh agama dari NU juga membuat beberapa catatan gemilang. Menteri Dalam Negeri dari NU, Mr. Soenarjo membuat kebijakan pembentukan panitia Pemilu pertama yang terdiri dari perwakilan parpol. Menteri Ekonomi dari NU, Rahmat Mulyoamiseno membatasi aktivitas ekonomi pengusaha asing, serta memproteksi dan mengembangkan pengusaha pribumi.
Di bidang keagamaan dan pendidikan, tokoh NU juga sangat berperan, seperti pembangunan Masjid Istiqlal di masa Menteri Agama (Menag) K.H. Abdul Wahid Hasyim, pendirian IAIN oleh Menag K.H. Wahib Wahab, realisasi penerjemahan Alqur’an edisi bahasa Indonesia oleh Menag Prof. K.H. Syaifuddin Zuhri, dan penyelenggaraan kegiatan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) oleh Menag K.H. Muhammad Dahlan.
Begitu pula penerimaan tokoh-tokoh agama atas bentuk final negara kesatuan berasaskan Pancasila, tentunya juga tidak bisa dianggap sebagai peristiwa politik yang sepele. Semua itu adalah bentuk pengabdian para tokoh agama yang tulus, tanpa pamrih, tanpa tendensi, kecuali untuk menegakkan kebenaran, dan menghilangkan penindasan. Padahal, semua itu bermula dari keterlibatan di dunia politik praktis.

C.   Persoalan Otoritas
Lantas pertanyaannya, manakah yang harus dipilih oleh para tokoh agama, antara berdakwah dengan berpolitik? Bagi penulis, antara dakwah dan politik tidak dapat dipisahkan begitu saja. Keduanya saling terkait, saling melengkapi dan saling membutuhkan. Jika tokoh-tokoh agama menyerukan pemberantasan korupsi, misalnya, sementara di semua level struktural sedemikian korup, bahkan di lingkungan departemen keagamaan juga korup, apakah seruan moral itu bisa berhasil?
Dengan berpolitik, masuk ke salah satu parpol, tokoh agama bisa menyuarakan kebenaran, meski ia harus kena pecat dari jabatannya, tidak punya teman di pemerintahan, dan seterusnya. Ini yang dikatakan Rasulullah Saw. dengan “qul al-haqqa walaw kaana murran” (konsisten terhadap kebenaran meski dengan resiko yang sangat berat) dan menjadi semangat berpolitik para tokoh agama.
Memang saat tokoh agama berpolitik, maka akan muncul permasalahan. Namun masalahnya lebih terletak pada penggunaan otoritas dan penggunaan legitimasi, bukan pada substansi keterlibatan tokoh agama dalam politik praktis. Jadi masalahnya, apakah terjadi ‘authority abuse’ saat tokoh-tokoh agama berpolitik atau tidak. Selama tidak ada penyalahgunaan otoritas, maka politik tokoh agama tidak menjadi masalah, bahkan sangat dibutuhkan.
Penilaian terjadi ‘authority abuse’ ini tidak boleh hanya sepihak, atau berasal dari lawan-lawan politik tokoh agama saja. Sebab penilaian dari lawan politik hanya memunculkan bias saja. Karena itu, penilaian ‘authority abuse’ harus berasal dari basis konstituen para tokoh agama. Jika basis konstituen merasa terjadi penyalahgunaan kewenangan, maka kontrak politik dengan para tokoh agama itu harus segera diputus, tidak diperpanjang.
Apalagi dalam sejarahnya, jika terjadi penyalahgunaan otoritas tokoh agama, maka akan muncul kesadaran pengikutnya untuk melakukan gerakan ‘perlawanan’. Gerakan reformasi gereja yang dipandegani Martin Luther menjadi salah satu contohnya. Jika para tokoh agama tega melakukan penyelewengan otoritas, bisa jadi peristiwa tragis Revolusi Prancis akan terulang kembali.
Sebagai gambaran akhir, penulis teringat ujaran Imam Ghazali dalam bukunya Ihya’ Ulum al-Din. “Jika ada orang berzina, apakah alat vitalnya yang harus dipotong,” tanya Ghazali. Dikaitkan dengan pembahasan tulisan ini, jika ada penyelewengan kewenangan yang dilakukan tokoh agama saat berpolitik, apa harus keterlibatannya dalam politik yang dihilangkan?
Sekali lagi, keterlibatan para tokoh agama dalam politik, bukan berarti berupaya menggabungkan konsep ‘din wa daulah’ (agama dan negara) yang dipegang erat kelompok skripturalis-fundamentalis, tapi untuk memberikan kesempatan para tokoh agama untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa, Negara dan masyarakat basisnya.
                       

REFRENSI:
BUKU
1.      Coirul Anam, pertumbuhan dan perkembangan Nahdatul Ulama, 115-116.
2.      Syaifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang pesantren (Bandung Al-Maarif,1977)169.
3.      K.H.Wahid Hasyim, “in MPN. Manus, tokoh-tokoh BPUPKI,95.
4.      Ahmad zaini, “K.H.Abdul Wahid Hasyim Pembaru Pendidikan Islam dan pejuang kemerdekaan”, forum indonesia satu (fis)2003.
5.      M. Masyhur Amin, “NU dan ijtihad politik keagamaannya”,55.
6.      Aboebakar Atjeh,”sedjarah hidup K.H.A. wahid hasyim dan karangan tersiar” ,153.
7.      Abdurrahman Wahid, Nahdlatul Ulama dan khittah 1926,”(yogyakarta:LKPSM, 1993),151.
8.      K.H.M. Hasyim latief, laskar Hisbullah Berjuang Menegakkan Negara RI (surabaya: lajnah Ta’lif wanNasyr, 1995),11.
WEBSITE:
9.      http://www.mail-archive.com/sarikata@yahoogroups.com Mon, 22 May 2006 18:31:29 -0700 by Gus Welirang
11.  http://www.tebuireng.net/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=110. Selasa, 15 Juni 2010 11:13:14 - oleh : uneiz

12.  http://jamaluddinab.blogspot.com/2011/02/kh-abdul-wahid-hasyim.html. 28 February 2011

13.  http://alhabaib.blogspot.com/2010/05/kh-abdul-wahid-hasyim.html. Minggu, 02 Mei 2010



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Imansipasi wanita

Imansipasi wanita
imansipasi wanita sering diterjemahkan atau diartikan dengan salah kaprah, bahwasanya kedudukan seoarang wanita harus sama dengan laki-laki dari sisi apapun. padahal dalam islam masalah imansipasi wanita sudah diatur begitu rapi oleh Alquran, tapi seseorang yang belum begitu faham dengan ajaran Islam pastilah mereka menafsirkan sebatas dengan pengetahuan akalnya, contoh imansipasi wanita dalam islam yaitu: Allah mewajibkan laki-laki dan perempuan sholat, islam tidak melarang seorang wanita mengerjakan pekerjaan seorang pria dengan tidak melanggar aturan-aturan syariat islam, wanita juga dibolehkan untuk mengangkat senjata (menjadi tentara) selama itu dibutuhkan, atau mempertahankan agama dan negara. wanita menjadi tentera tidak harus sama pakaiannya sebagaimana tentara laki-laki, wanita tetap diwajibkan untuk menutup auratnya, sehingga mereka tidak perlu membuka auratnya,

MENURUT anda bagaimanakah tentang blog ini...?

SETITIK MUTIARA WALISONGO

Para Walisongo adalah penerus dakwah Nabi Muhammad SAW, sebagai penerus atau penyambung perjuangan, mereka rela meninggalkan keluarga, kampung halaman dan apa-apa yang menjadi bagian dari hidupnya. Para Walisongo rela bersusah payah seperti itu karena menginginkan ridho Allah SWT. Diturunkannya agama adalah agar manusia mendapat kejayaan didunia dan akherat. Segala kebahagiaan, kejayaan, ketenangan, keamanan, kedamainan dan lain-lainnya akan terwujud apabila manusia taat pada Allah SWT dan mengikuti sunnah baginda Nabi Muhammad SAW secara keseluruhan atau secara seratus persen. Sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an bahwa ummat Nabi Muhammad SAW diutus kepermukaan bumi adalah khusus mempunyai tanggung jawab penting. Misi pentingnya adalah untuk mengajak manusia dipermukaan bumi ini ke jalan Allah SWT. Kurang lebih lima ratus tahun yang lalu walisongo berdakwah dan berkeliling kehampir seluruh pulau jawa, maka dalam masa yang relatif singkat, yang hampir penduduknya beragama Hindu dan Budha, maka berubah menjadi kerajaan Islam Demak. Para Walisoongo mempunyai semboyan yang terekam hingga saat ini adalah 1. Ngluruk Tanpo Wadyo Bolo / Tanpo pasukan Berdakwah dan berkeliling kedaerah lain tanpa membawa pasukan. 2. Mabur Tanpo Lar/Terbang tanpa Sayap Pergi kedaerah nan jauh walaupun tanpa sebab yang nampak. 3. Mletik Tanpo Sutang/Meloncat Tanpa Kaki Pergi kedaerah yang sulit dijangkau seperti gunung-gunung juga tanpa sebab yang kelihatan. 4. Senjoto Kalimosodo Kemana-mana hanya membawa kebesaran Allah SWT. (Kalimosodo : Kalimat Shahadat) 5. Digdoyo Tanpo Aji Walaupun dimarahi, diusir, dicaci maki bahkan dilukai fisik dan mentalnya namun mereka seakan-akan orang yang tidak mempan diterjang bermacam-macam senjata. 6. Perang Tanpo tanding Dalam memerangi nafsunya sendiri dan mengajak orang lain supaya memerangi nafsunya. Tidak pernah berdebat, bertengkar atau tidak ada yang menandingi cara kerja dan hasil kerja daripada mereka ini. 7. Menang Tanpo Ngesorake/Merendahkan Mereka ini walaupun dengan orang yang senang, membenci, mencibir, dan lain-lain akan tetap mengajak dan akhirnya yang diajak bisa mengikuti usaha agama dan tidak merendahkan, mengkritik dan membanding-bandingkan, mencela orang lain bahkan tetap melihat kebaikannya. 8. Mulyo Tanpo Punggowo Dimulyakan, disambut, dihargai, diberi hadiah, diperhatikan, walaupun mereka sebelumnya bukan orang alim ulama, bukan pejabat, bukan sarjana ahli tetapi da’I yang menjadikan dakwah maksud dan tujuan. 9. Sugih Tanpo Bondo Mereka akan merasa kaya dalam hatinya. Keinginan bisa kesampaian terutama keinginan menghidupkan sunnah Nabi, bisa terbang kesana kemari dan keliling dunia melebihi orang terkaya didunia. Semboyan seperti diatas sudah banyak dilupakan umat islam masa kini. Pesan Walisongo diantaranya pesan Sunan kalijogo diantaranya adalah : 1. Yen kali ilang kedunge 2. Yen pasar ilang kumandange 3. Yen wong wadon ilang wirange 4. Enggal-enggal topo lelono njajah deso milangkori ojo bali sakdurunge patang sasi, enthuk wisik soko Hyang Widi, maksudnya adalah : Apabila sungai sudah kering, pasar hilang gaungnya, wanita hilang rasa malunya, maka cepatlah berkelana dari desa ke desa jangan kembali sebelum empat bulan untuk mendapatkan ilham (ilmu hikmah) dari Allah SWT. Para Walisongo berdakwah dengan mempunyai sifat-sifat diantaranya : 1. Mempunyai sifat Mahabbah atau kasih sayang 2. Menghindari pujian karena segala pujian hanya milik Allah SWT 3. Selalu risau dan sedih apabila melihat kemaksiatan 4. Semangat berkorban harta dan jiwa 5. Selau memperbaiki diri 6. Mencari ridho Allah SWT 7. Selalu istighfar setelah melakukan kebaikan 8. Sabar menjalani kesulitan 9. Memupukkan semua kejagaan hanya kepada Allah SWT 10. Tidak putus asa dalam menghadapi ketidak berhasilan usaha 11. Istiqomah seperti unta 12. Tawadhu seperti bumi 13. Tegar seperti gunung 14. Pandangan luas dan tinggi menyeluruh seperti langit. 15. berputar terus seperti matahari sehingga memberi kepada semua makhluk tanpa minta bayaran.

SELAMAT MEMBACA

KEPUASAN ANDA ADALAH PENGHARGAAN BAGI KAMI.
APATIS ANDA ADALAH BLUM MEMPELAJARI KAMI.
KRITIK ANDA ADALAH INTROPEKSI DIRI KAMI.