vol :1
BAB I
MENYINGKAP TABIR SANG TAULADANA. PROLOG
Dalam Bab ini akan saya uraikan dari masa pendidikan sampai mengakhiri masa lajangnya(menikah), dan pengabdiannya beliau pada umat. KH. Abdul Wahid Hasyim adalah pahlawan nasional, salah seorang anggota BPUPKI dan perumus Pancasila dan merupakan Menteri Agama tiga kabinet (Kabinet Hatta, Kabinet Natsir, dan Kabinet Sukiman). Mantan Ketua Tanfidiyyah PBNU (1948) dan Pemimpin dan pengasuh kedua Pesantren Tebuireng (1947 – 1950) ini, merupakan reformis dunia pendidikan pesantren dan pendidikan Islam Indonesia. Ia dikenal juga sebagai pendiri IAIN (sekarang UIN).
B. Sekilas Profil AWH
Menurut pendapat ahlul bhait (habaib ahlul talqhis) bahwa beliau mempunyai urutan Nasab seperti berikut: KH. Abdul Wahid Hasyim bin KH. Hasyim Asy’ari bin KH. As’ari bin Abu Sarwan bin Abdul Wahid bin Abdul Halim bin Abdurrohman (P. Sambud Bagda) bin Abdul Halim (P. Benawa) bin Abdurrohman (Jaka Tingkir) bin Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin Ishak bin Ibrohim Asmuro bin Jamaludin Khusen bin Ahmad Syah Jalal bin Abdulloh Khon bin Amir Abdul Malik bin Alawi bin Muhammad Shohibul Mirbat bin Ali Choli’ Qosam bin Alawi Muhammad bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir Ilallah bin Isa Arrumi bin Muhammad Annaqib bin Ali Al-’Uroidi bin Ja’far Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zaenal Abidin bin Husein putra Siti Fathimah Az-Zahro
KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra dari pasangan KH. M. Hasyim Asy’ari-Nyai Nafiqah binti Kyai Ilyas (Madiun) yang di lahirkan pada Jum’at legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 H./1 Juni 1914 M. Ayahandanya semula memberinya nama Muhammad Asy’ari, diambil dari nama kakeknya. Namun, namanya kemudian diganti menjadi Abdul Wahid, diambil dari nama datuknya. Dia anak kelima dan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara.
saya menemukan dari berbagai artikel dan buku-buku yang ada, terdapat beberapa versi.
Ada yang menyebutkan bahwa nasab Beliu sampai ke putri Rasulullah yaitu Sayyidina Fatimatuzzahro. Ada juga yang berpendapat bahwa nasab Sayidnya terputus. Karena nasab sayid dari jalur ayah. Bahkan ada yang berpendapat lebih ektrim lagi Nasab beliau tidak termasuk dari keturunan dari jaka tingkir(Abdurrohman).
Manakah yang benar,? “wa allahu a’lam” terlepas dari itu semua, apakah beliau termasuk keturunan Rasulullah atau bukan, bukan hak saya atau diluar kemampuan saya, yang jelas KH.Abdul Wahid Hasyim adalah seorang pejuang sejati untuk kemerdekaan Indonesia dan wajib di tauladani risalah Hidupnya bagi generasi penerus kita.
C. Masa Jenjang Pendidikan
Sejak kecil Abdul Wahid Hasyim sudah masuk Madrasah Tebu ireng dan sudah lulus pada usia yang sangat belia, 12 tahun. Selama bersekolah, ia giat mempelajari ilmu-ilmu kesusastraan dan budaya Arab secara outodidak. Dia juga mempunyai hobi membaca yang sangat kuat. Dalam sehari, dia membaca minimal lima jam. Dia juga hafal banyak syair Arab yang kemudian disusun menjadi sebuah buku.
Pendidikan agama A.Wahid Hasyim diperoleh secara langsung dari asuhan ayahandanya, KH Hasyim Asy’ari, ulama terbesar Jawa pada zamannya. Lingkungan Pesantren Tebu ireng dengan sendirinya merupakan faktor yang sangat penting di dalam menempa jiwa dan semangat A.Wahid Hasyim. Kecerdasan otaknya sangat menolongnya dalam mengembangkan jiwa kritis yang mendambakan kemajuan.
Sekedar contoh, konon sewaktu masih kanak-kanak, A.Wahid Hasyim gemar bermain main di halaman Masjid, dekat serambi tempat ayahandanya mengajar para santri. Meskipun tampaknya perhatian A.Wahid Hasyim kala itu hanya terpusat pada permainannya bersama teman-temannya, namun uraian kata sang ayah yang tengah mengajar itu dapat ditirukan serta merta sambil asik bermain-main.
A Wahid Hasyim kecil mulai belajar bahasa Belanda sambil asyik bermain main dengan teman-temannya. Daya tangkap serta kecerdasan menjadikannya mudah mempelajari bahasa Belanda. Bukan saja”berguru” kepada Imam Sukarlan (guru prifatnya), namun A. Wahid Hasyim juga berguru kepada santri-santri lain yang mahir berbahasa Belanda, seperti Abdul Aziz Diyar yang merangkap guru juga sebagai santri di Pesantren Tebu ireng.
Ketika berusia 13 tahun, Abdul Wahid Hasyim mulai melakukan pengembaraan mencari ilmu. Awalnya ia belajar di Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo. Di sana ia mondok mulai awal Ramadhan hingga tanggal 25 Ramadhan (hanya 25 hari). Setelah itu pindah ke Pesantren Lirboyo, Kediri, sebuah pesantren yang didirikan oleh KH. Abdul Karim, teman dan sekaligus murid ayahnya. Antara umur 13 dan 15 tahun, pemuda A.Wahid Hasyim menjadi Santri Kelana, pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Tahun 1929 dia kembali ke pesantren Tebu ireng.
Ketika kembali ke Tebu ireng, umurnya baru mencapai 15 tahun dan baru mengenal huruf latin. Dengan mengenal huruf latin, semangat belajarnya semakin bertambah. Ia belajar ilmu bumi, bahasa asing, matematika, dll. Dia juga berlangganan koran dan majalah, baik yang berbahasa Indonesia maupun Arab.
Pemuda Abdul Wahid Hasyim mulai belajar Bahasa Belanda ketika berlangganan jurnal dan majalah dalam negeri dan luar negeri, sperti Penjebar Semangat, Daulat Rakyat, pandji postaka, Umm al-Qura’, Shaut al-Hijaz, al-Latha’if al- Musawarah, khullusha’in wa al- Dunya dan De locomotif. Tetapi dia hanya mengambil dua bahasa saja, yaitu Bahasa Arab bukan hanya membantu ayahnya mengajar di pesantren, tapi juga terjun ke tengah-tengah masyarakat.
Sebagaimana santri lainnya yang merasa cukup dalam belajar diberbagai pesantren, yang kemudian punya keinginan meneruskan jenjang pendidikan tingginya di timur tengah khususnya di mekkah dan madinah, Wahid Hasyim juga mempunyai cita-cita tersebut. Ketika melaksankan ibadah haji pada tahun 1932, di dampingi oleh Moh.Ilyas, Kyai A.Wahid Hasyim menetap di sana kurang lebih satu tahun. Dia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu keagamaan, seperti tafsir, hadits, fiqh, dan tasyawuf dari beberapa syekh yang menagajar di masjid al-Haram, misalnya Umar Hamdan dan Abdul Wahhab al-khuqir.
Sepulangnya dari mekkah, ketika usianya itu menginjak 20-an tahun, A Wahid Hasyim mulai meniti karir sebagai seorang ulama, yakni menjadi staf pengajar di tebu ireng, Beliau mulai membantu ayahnya menyusun kurikulum pesantren, menulis surat balasan dari para ulama atas nama ayahnya dalam Bahasa Arab, mewakili sang ayah dalam berbagai pertemuan dengan para tokoh. Bahkan ketika ayahnya sakit, ia menggantikan membaca kitab Shahih Bukhari, yakni pengajian tahunan yang diikuti oleh para ulama dari berbagai penjuru tanah Jawa dan Madura.
Dengan bekal keilmuan yang cukup, pengalaman yang luas serta wawasan global yang dimilikinya, AWahid Hasyim mulai melakukan terobosan-terobosan besar di Tebu ireng. Awalnya dia mengusulkan untuk merubah sistem klasikal dengan sistem tutorial, serta memasukkan materi pelajaran umum ke pesantren. Usul ini ditolak oleh ayahnya, karena khawatir akan menimbulkan masalah antar sesama pimpinan pesantren. Namun pada tahun 1935, usulan A.Wahid Hasyim tentang pendirian Madrasah Nidzamiyah, dimana 70% kurikulumnya berisi materi pelajaran umum, diterima oleh sang ayah.
Madrasah Nidzamiyah bertempat di serambi masjid Tebu ireng. Siswa pertamanya berjumlah 29 orang, termasuk adiknya sendiri, Abdul Karim Hasyim. Dalam bidang bahasa, selain materi pelajaran Bahasa Arab, di Madrasah Nidzamiyah juga diberi pelajaran Bahasa Inggris dan Belanda.
Selain melakukan perubahan-perubahan tersebut, Untuk melengkapi khazanah keilmuan santrinya A.Wahid Hasyim juga menganjurkan kepada para santri untuk belajar dan aktif dalam berorganisasi. Pada 1936 ia mendirikan IKPI (Ikatan Pelajar Islam). Pendirian organisasi ini bertujuan untuk mengorganisasi para pemuda yang secara langsung ia sendiri menjadi pemimpinnya. Usaha ikatan ini antara lain mendirikan taman baca (perpustakaan) yang menyediakan lebih dari seribu judul buku. Perpustakaan Tebu ireng juga berlangganan majalah seperti Panji Islam, Dewan Islam, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Iman, Penyebar Semangat, Panji Pustaka, Pujangga Baru, dan lain sebagainya. Langkah ini merupakan terobosan besar yang -saat itu- belum pernah dilakukan pesantren manapun di Indonesia.
D. Meninggalkan Masa Lajang
pada hari Jumat, 10 Syawal 1356 H./1936 M., Kiai Wahid Hasyim menikah dengan Munawaroh (lebih dikenal dengan nama Sholichah), putri KH. Bisyri Sansuri (Denanyar Jombang). Ada peristiwa menarik dalam prosesi pernikahan ini. Mempelai lelaki hanya berangkat seorang diri ke Denanyar. Kiai Wahid datang hanya memakai baju lengan pendek dan bersarung. Tidak ada yang mengiringinya. Bukan tidak ada yang mau mengantar, akan tetapi Kyai A.Wahid hasyim sendiri yang meninggalkan para pengiringnya di belakang.
Dari pernikahan itu, pasangan Wahid-Sholichah dikaruniai enam orang putra-putri, yaitu Abdurrahman, Aisyah, Salahuddin, Umar, Lily Khodijah, dan Muhammad Hasyim.
Pada tahun 1947, ketika sang ayah meningal dunia, A.Wahid Hasyim terpilih secara aklamasi sebagai pengasuh Tebu ireng. Pilihan ini berdasarkan kesepakatan musyawarah keluarga Bani Hasyim dan Ulama NU Kabupaten Jombang. Terpilihnya Kyai A.Wahid Hasyim sebenarnya sekadar ”formalisasi”, karena kenyataannya beliau sudah lama ikut membantu sang ayah mengelola Tebu ireng.
Pada tahun 1950, A.Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama dan pindah ke Jakarta. Keluarga K.H.A.Wahid Hasyim tinggal di Jl. Jawa (kini Jl. HOS Cokroaminoto) No. 112, dan selanjutnya pada tahun 1952 pindah ke Taman Matraman Barat no. 8, di dekat Masjid Jami’ Matraman.
“KIPRAH DI BIDANG POLITIK DAN HUKUM”
Karir KH. Abdul Wahid Hasyim dalam pentas politik nasional terus melejit. Dalam usianya yang masih muda, beberapa jabatan tinggi pernah ia sandang. Diantaranya ketika Jepang membentuk badan yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan atau dikenal dengan BPUPKI. A.Wahid Hasyim merupakan salah satu anggota termuda setelah BPH. Bintoro dari 62 orang yang ada. Waktu itu Kyai A.Wahid Hasyim berusia 33 tahun, sementara Bintoro 27 tahun.
Sebagai anggota BPUKI yang berpengaruh, ia terpilih sebagai seorang dari sembilan anggota sub-komite BPKI yang bertugas merumuskan rancangan preambule UUD negara Republik Indonesia yang akan segera diproklamasikan.
A. Jembatan Kebijakan
Ketika BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Pesiapan Kemerdekaan Indonesia) didirikan, Wahid Hasyim terpilih sebagai salah satu anggota. Didirikan pada tanggal 29 mei 1945, badan ini terdiri dari 62 anggota dan mengadakan dua kali pertemuan. Dalam dua pertemuan tersebut, ada dua pendapat yang berkembang dalam badan tersebut, yaitu bentuk islam nasional di satu sisi dan sekuler nasional di sisi yang lain. Sebagaimana supomo menandai pada waktu itu “di satu sisi ada pendapat ahli agama yang mengajukan usulan berdirinya negara islam indonesia, sedangkan satunya mengajukan usulan lainnya, yang disampaikan oleh Mr.Moh Hatta, yaitu negara kesatuan yang akan memisahkan urusan agama dengan urusan negara.
Segera setelah sesi berakhir, anggota BPUPKI melanjutkan dengan diskusi. Mereka membentuk panitia kecil yang terdiri 9 anggota, yaitu : Soekarno, Moh.Hatta, A.A.Maramis, Abikoersno Tjokro Soejoso, Abdul kahar Muzakkir, H.Agus Salim, Ahmad soebardja, Moh.Yamin, dan Abdul Wahid Hasyim.
Terpilihnya A.Wahid Hasyim sebagai anggota panitia kecil tersebut, (menurut zamakhsyari Dhofier), merupakan bentuk penghargaan terhadap ketokohannya di antara puluhan anggota lainnya, yaitu sebagai anggota yang sangat potensial dalam menjembatani dunia pesantren dengan masyarakat indonesia modern yang diharapkan akan segera terbentuk. A Wahid Hasyim sangat terbuka untuk mengadakan kompromi sehingga konsep kebangsaan yang sedang di perdebatkan akan mencapai titik temu. Terbukti, panitia ini, setelah banyak melakukan diskusi, mencapai modus vivendi di antara muslim nasionalis dengan sekuler nasionalis. Mereka setuju dengan draft pembukaan yang ditanda tangani oleh 9 anggota panitia kecil tersebut pada tanggal 22 juni 1945 di jakarta. Persetujuan ini dikenal dengan jakarta charter (piagam jakarta).
Isu yang berkembang dan menjadi fokus diskusi pada pertemuan kedua adalah penghapusan tujuh kata :”dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya”.Latuharhary, seorang protestan, pada tanggal 11 juli 1945, mengatakan keberatannya atas draf tersebut, seraya berkata: “konsekwensinya bisa jadi sangat besar, khususnya penghargaan terhadap agama lainnya. Kalimat tersebut dapat pula menyebabkan kesulitan bila dikaitkan dengan adat istiadat, sperti di minang kabau dan maluku. Haji Agus Salim, seorang pemimpin Islam yang terkenal dari minangkabau memberikan respon: perbedaan pendapat terhadap masalah hukum agama dan adat istiadat minangkabau bukanlah hal yang baru, dan secara umum, persoalan itu telah dipecahkan. Bahkan, pemeluk agama lainnya tidak perlu takut tentang hal tersebut, keselamatan mereka tidak tergantung kepada kekuasaan Negara, akan tetapi tergantung kepada adat dari masyarakat islam, yang berjumlah kurang lebih 90% dari populasi.
Soekarno, yang memimpin jalannya pertemuan kedua ini, mengingatkan bahywa preamble merupakan kompromi diantara dua kubu: islam dan sekuler nasionalis. “apabila kalimat tersebut tidak dimasukkan, hal tersebut tidak akan di terima oleh kubu islam, dan perselisihan akan terus berjalan, dia memperingatkan. Wongsonegoro mengajukan adanya tambahan dalam kalimat tersebut dalam phrase “bagi pemeluk agama selain (islam), mereka berkewajiban melaksanakan kewajibannya sesuai dengan agama mereka”. Hoesein Djajadiningrat juga tidak setuju dengan tujuh kata yang termuat dalam pembukaan tersebut dengan argumen :
”jika kalimat tersebut di masukkan, dimungkinkan akan terjadi sikap fanatik, misalnya adanya paksaan bagi pemeluk agama islam untuk melaksanakan syariah.”
Menghadapi perdebatan yang semakin meluas antara kubu sekuler dan islam, A Wahid Hasyim mencoba menjembatani perbedaan pendapat yang muncul dalam sidang tersebut. Dia merespon dengan mengingatkan bahwa prinsip permusyawaratan lebih di dahulukan untuk di gunakan dibanding dengan jalan memaksa. Beliau mengatakan:
”semuanya tergantung pada proses sejauh mana penerapan preamble tesebut. Semenjak awal kami menekankan beberapa kali bahwa pemerintahan seharusnya berdasar ada perwakilan dan permusyawaratan. Oleh karena itu, jika ada pemaksaan, kasus ini dapat diajukan dan di carikan penyelesaiannya. Sebagaimana Sanoesi mengatakn kemaren bahwa kalimat tersebut tidak terlalu keras, saya mengumumkan bahwa kalimat tersebut merupakan hasil kompromi, dan apabila kami membuatnya lebih keras lagi, maka kalimat tersebut akan membuat persoalan.”
Kita tidak perlu takut sejak kita berfikir bahwa kita masih dapat berbuat sesuatu yang dapat mencegah terjadinya sesuatu yang kita takuti, dan bahkan saya percaya tidak akan terjadi hal-hal yang jelek. Sebagai seorang yang sdikit banyak berhubungan dengan masyarakat islam, saya dapat mengatakan bahwa hal tesebut tidak akan pernah terjadi selama adanya badan perwakilan. Saya sengaja mengungkapkan hal ini dengan maksud agar kita tidak terlalu lama berdiskusi tentang masalah ini yang dapat menimbulkan ketakutan yang sesungguhnya tidak perlu terjadi.
Berkaitan dengan masalah batang tubuh dari undang undang, khususnya yang berkaitan dengan status presiden dan agama resmi negara, Wahid Hasyim mengajukan dua usulan bahwa presiden haruslah seorang muslim, dan bahwa agama resmi negara adalah islam. Menurutnya, pasal 4 dari draf undang-undang harus berbunyi: “presiden harus orang indonesia asli yang beragama islam. Dia mengajukan argumentasi bahwa “bagi komunitas islam di mana saja, hubungan antara pemerintah dan masyarakat sangat penting. Apabila presidennya seorang muslim, maka peraturan yang dihasilkan mempunyai ciri-ciri islam dan hal tersebut akan mempunyai pengaruh yang besar.
Menurut Wahid Hasyim, pasal 28 seharusnya berbunyi,”agama negara adalah islam, yang memberikan perlindungan kemerdekaan bagi pemeluk agama lainnya untuk melaksanakan ajaran dan keyakinan mereka. Wahid Hasyim berargumentasi bahwa “masalah ini sangat penting artinya bila di kaitkan dengan urusan pembelaan negara. Secara umum, mempertahankan negara dengan berdasarkan pada keyakinan (keinginan) merupakan suatu hal yang besar, yang menurut ajaran islam bahwa nyawa hanya boleh dikorbankan demi perjuangan ideologi keagamaan. “Sesudah diskusi yang cukup lama, komite memutuskan menerima pasal 28 yang berbunyi:
1. Negara berdasarkan ketuhanan dengan berkewajiban untuk melaksanakan syariah islam bagi pemeluknya.
2. Negara akan menjamin kemerdekaan bagi setiap penduduk untuk mengikuti agama dan menjalankan kewajiban sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
Perdebatan tentang apakah presiden harus orang islam atau tidak berlanjut sampai Soekarno meminta kepada seluruh anggota komite khusus mereka yang berasal dari nasionalis, untuk berkorban yaitu, menerima usulan yang di tawarkan oleh kelompok muslim nasionalis.
Bagi saat itu yaitu masa perjuangan dan revolusi, ide tersebut mencerminkan alasan yang dapat diterima akal, sebab di pandang dari sudut menumbuhkan dan membangkitkan semangat berjuang merebut kemerdekaan, maka pemimpin (presiden) harus orang islam, karena dia akan bisa memobilisasi massa (komunitas muslim) untuk berjuang.
Setelah jelas dan tidak ada lagi keberatan atas kesepakatan tersebut, maka pertemuan tersebut diakhiri oleh Radjiman selaku pimpinan umum sambil meminta kepada seluruh anggota untuk berdiri dan akhirnya dia menyatakan secara resmi bahwa “undang-undang telah diterima dengan persetujuan bersama”. Kata penutup dari pimpinan sidang tersebut di sambut dengan tepuk tangan.
Sehari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, ada seorang Nasrani dari Indonesia timur yag membawa berita “mereka akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, jikalau pasal 6 dan pasal 29 ayat 1 tidak di rubah, sebab pasal-pasal itu mengesampingkan keyakinan mereka”. Sehingga Soekarno dan M.Hatta mengelar rapat darurat dan membentuk PPKI (panitia persiapan kemerdekaan Indonesia) sesudah mengadakan rapat kurang lebih 2 jam 15 menit, PPKI mendiskusikan persoalan tersebut ,”Agar kita sebagai bangsa tidak terpecah belah, kami setujuh untuk membuang kata-kata tersebut yang menyakitkan perasaan kelompok kristen” komite tersebut memutuskan tidak hanya membuang 7 kata yang termaktub dalam draf pembukaan, mereka juga mengganti kata “Mukaddimah” dalam preamble dengan kata “pembukaan”. Meskipun kata-kata tesebut mempunyai arti yang sama, nampaknya muslim nasionalis lebih cendrung menggunakan kata Mukaddimah yang berasal dari kata arab dan mungkin dapat dijadikan sebagai simbol dari islam” dalam negara, sedangkan pembukaan berasal dari kata Indonesia asli. Selanjutnya, kata-kata “dan pemeluk agama isllam” dalam pasal 6 dari batang tubuh dihilangkan. Maka ayat 6 berbunyi “Presiden Republik Indonesia adalah orang Indonesia asli”. Sejalan dengan perubahan tesebut, komite juga memutuskan bahwa pasal 29 ayat 1 berbunyi “Negara berdasar pada ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai ganti “berdasrkan Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya.
Ketika terjadi proses amandemen terhadap tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut, peran Pak Wahid Hasyim juga banyak diperbincangkan. Bung Hatta menyebut dengan tegas bahwa beliau telah mendapat persetujuan dari seluruh wakil Islam di PPKI terutama KH. Abdul Wahid Hasyim. Sementara Prawoto, tokoh Masyumi, bersaksi pada hari itu (18 Agustus 1945), Wahid Hasyim tidak berada di Jakarta karena sedang ke Jawa Timur. Hingga saat ini persoalan kehadiran KH. Abdul Wahid Hasyim ini masih menjadi bahan polemik, pihak-pihak yang meniginginkan pemgembalian Piagam Jakarta tetap berpendapat bahwa penghilangan tujuh kata tersebut tidak sah karena tidak dihadiri oleh Wahid Hasyim.
Terlepas dari polimik itu ada dua hal yang sangat jelas tentang kontroversi tersebut diatas: pertama, baik prawoto maupun Hatta menghargai KH.A Wahid Hasyim sebagai seorang yang sangat berperan dalam perubahan kata-kata dari piagam jakarta. Bagi Hatta, keberhasilan yang di capai pada pertemuan pada tanggal 18 agustus 1945 karena, setidaknya, atas persetujuan KH.A Wahid Hasyim. Bagi Prawoto, akan tetapi, persetujuan tersebut dapat dicapai karena Wahid Hasyim berada di jawa timur dan tidak bisa mengahadiri pertemuan tersebut. Kedua, KH.A Wahid Hasyim tidak pernah memberikan reaksi dalam bentuk apapun terhadap perubahan piagam jakarta. Memang hingga akhir hayatnya pada tanggal 15 April 1953, Pak A Wahid Hasyim tidak pernah memberikan penjelasan tuntas mengenai soal tersebut.
Ini bisa menjadi bahan kajian yang sangat menarik, dan dengan mengkaji masalah ini secara tuntas bukan tidak mungkin kebenaran akan dapat ditemukan dan dapat mengakhiri polemik tentang Piagam Jakarta.
B. Kiprah Politik dan Pertahanan AWH
Kesadaran berbangsa A.Wahid Hasyim sudah tumbuh dalam dirinya sebelum melaksanakan haji atau belajar di Arabia, dan semakin kuat sepulangnya kembali ke Indonesia pada tahun 1934. Meskipun, informasi tentang tumbuhnya jiwa kebangsaan A. Wahid Hasyim sangat sedikit, akan tetapi masih dapat di telusuri. Sejak dia dapat membaca dan menulis huruf latin, dia banyak membaca ide-ide kebangsaan dan perjuangan merebut kemerdekaan dari berbagai buku, surat kabar dan majalah yang di pinjam atau di belinya. Awal tahun 1929 dalam sebuah artikel yang di tulisnya, dia menyatakan:”Negara-Negara Barat yang sudah tercerai berai semenjak perang dunia I tidak dapat lagi menjadi penjamin atas kemerdekaan bangsa-bangsa Asia jika bangsa Asia tidak menyiapkan sendiri untuk merebut kemerdekaannya sendiri.
Awal tumbuhnya jiwa kebangsaannya dapat pula dilihat dari berbagai aktivitas selama tinggal di mekkah. Meskipun Wahid Hasyim pergi ke Arabia untuk tujuan Haji dan melanjutkan belajar, akan tetapi dia juga mencurahkan sebagian waktunya, bersama M.Ilyas menghadapi segala bentuk penghinaaan terhadap komunitas orang jawi. Dari berbagai aktivitasnya, dapat disimpulkan bahwa kesadaran berbangsa Wahid Hasyim di pengaruhi oleh ide-ide anti kolonial yang menyebar diseluruh bangsa Arab dan oleh pernyataan pemimpin pergerakan kemerdekaan yang juga mengadopsi sikap anti penjajahan.
C. Jiwa Kebangsaan Dan Patriotik
Ulama tradisional yang bergabung dengan NU menunjukkan sikap yang signifikan dalam melawan kekuasaan kaum penjajah belanda. Mereka mengadakan gerakan bertahan yang dinamakan “gerakan pertahanan mental dan kebudayan”, melalui perintah (fatwa) yang menyatakan bahwa: “mereka melarang orang muslim Indonesia khususnya mereka yang tinggal di pedesaan, memakai pakaian ala belanda, meniru prilaku, belajar atau,bicara bahasa belanda”. Akhirnya pada kongres yang di adakan di banjarmasin pada tahun 1936, NU mendeklarasikan bahwa semua bangsa Indonesia wajib berjuang dalam rangka memerdekakan tanah air mereka (indonesia) dari segala bentuk ancaman kaum penjajah.
Tidak seperti ulama-ulama NU yang lain, Wahid Hasyim mempunyai pendirian atas segala bentuk tingkah lakunya. Dipandang cukup unik dikalangan kaum tradisional karena dia memaki baju ala Belanda (baju jaz dan berdasi), dan belajar bahasa Belanda sebagaimana juga dia mengajarkannya disamping bahasa Inggris kepada santri-santrinya, agar mereka mempunyai keahlian dalam bidang administratif. Keinginan A Wahid Hasyim untuk memahami beberapa aspek kebudayaan Belanda menunjukkan bahwa dia menerapkan pendekatan terbuka. Pendekatan ini tentunya tidak sama ketika dibandingkan dengan Muslim tradisional lainnya yang kebanyakan mengisolasi diri mereka dari pengaruh pemerintah kolonial.
Sikap mandiri yang ditunjukkan Wahid Hasyim, suatu sikap yang tidak pernah di tentang oleh ayahnya, dapat di pahami dalam konteks adanya keinginan untuk meningkatkan kualitas intelektual umat islam, khususnya kaum santri, dengan mengadopsi apa saja yang bermanfaat dari sistem yang di berlakukan oleh pemerintah kolonial, termasuk bahasa dan pendidikannya. Pengadopsian sistem barat, termasuk pendidikannya dilakukan oleh Wahid Hasyim tetap dalam koridor tidak bertentangan dengan ajaran agama islam. Oleh karena itu apa yang dilakukan oleh A Wahid Hasyim merupakan suatu usaha dalam rangka menyiapakan santri muslim untuk hidup dalam lingkungan yang di jiwai semangat kebangsaan dan jiwa patriotik. Hal itu merupakan suatu yang esential dalam perjuangan merebut dan mengisi kemerdekaan. Dengan kata lain, pendidikan yang punya cakupan cukup luas, dalam pandangan A Wahid Hasyim, melebihi batas-batas yang ada dalam sebuah sistem di pesantren merupakan kunci dalam menumbuhkan dan mengefektifkan jiwa kebangsaan.
D. Bersatunya Ormas Islam
Sebagai seorang tokoh Nahdlatul Ulama maka KH A. Wahid Hasyim bersikap anti-kolonialisme dan anti-kapitalisme. Karenanya, tidak mengherankan, KH A. Wahid Hasyim bersama tokoh-tokoh lain dalam NU, memperjuangkan hapusnya subsidi pemerintah kolonial kepada sekolah-sekolah Islam, memperjuangkaan keringanan beban-beban pembiayayan bagi para jamaah calon Haji di pulau Onrust dan sebagainya. Penghapusan biaya korban penyembelihan korban pada Hari Raya Idul Adha, menuntut kepada pemerintah kolonial agar para pejabat yang diangkat dalam kedudukan-kedudukan pada kantor-kantor Kepenghuluan/Qadhi dipilih dari orang-orang yang memiliki standar pengetahuan hukum Islam dan akhlak Islam dan lain-lain.
Tuntutan tesebut sebagai upaya menghentikan segala bentuk kesewenangan belanda dengan harapan mereka bebas sebagai penduduk manyoritas dalam melaksanakan pendidikan agamanya, bahkan mereka, khususnya kaum tradisionalis memandang bahwa peraturan tersebut sebagai ganjalan dalam melaksankan ajaran agama mereka.
Ada beberapa interpretasi atas penolakan NU terhadap hal tersebut di atas. NU mungkin tidak suka dengan segala bantuan dari belanda disebabkan kemandiriannya tidak ingin dirusak. Dengan kata lain, NU tidak ingin dipengaruhi atau bahkan dikuasai oleh pihak luar apalagi pemerintah kolonial. Selanjutnya, bantuan yang di berikan kepada organisasi Umat Islam, ternyata, jauh lebih sedikit di bandingkan dengan bantuan yang diberikan kepada organisasi Kristen. Dan NU mungkin mengharapkan adanya prinsip kesamaan dalam menerima bantuan. Pada akhirnya, Segala bentuk protes ini ditanggapi dengan adanya pernyataan dari belanda bahwa segala bentuk kebijakan pemerintah kolonial akan netral terhadap semua agama.
Dalam menghadapi segala bentuk ancaman dari luar komunitas muslim, mereka saling bahu membahu dalam mengatasi masalah tersebut yang sudah ada sejak awal abad ke-20 sampai pada tahun 1937. Kedua belah pihak menyadari bahwa di saat mereka saling “bertengkar berbeda pandangan” berbagai masalah agama, khususnya masalah furu’iyah (cabang), dan bukan terhadap masalah yang ushul (pokok), status mereka sebagai kekuatan politik dan reputasi mereka sebagai agama mayoritas telah diinjak-injak oleh orang luar (kelompok kolonial)
Kesadaran inilah yang mengiring kepada perundingan-perundingan di antara para pemimpin Islam, dan akhirnya, atas inisiatif K.H.Abdul Wahab Hasbullah, KH.Ahmad Dahlan, KH.Mas Mansyur dan W.Wondoamiseno, yang mengadakan pertemuan di surabaya pada tanggal 18-21 september 1937, maka di putuskan untuk membentuk MIAI.
Pada awalnya pembentukan MIAI tidak banyak mendapatkan respon dari organisasi keagamaan. Hanya tujuh organisasi yang mencatatkan diri sebagai anggota, tetapi dalam kurun tiga tahun kemudian, jumlah anggota MIAI berlipat ganda menjadi dua puluh organisasi keagamaan. Bukanlah keinginan pada awalnya bahwa MIAI harus menjadi organisasi politik. Namun kenyataannya, para pemimpinnya tidak bisa lepas dari persoalan politik yang memang pada periode tersebut menuntut keterlibatannya.
Atas dorongan K.H. Mahfudz Shiddiq Ketua Umum PBNU yang dipilih selama 4 kali kongres (Orang kuat dalam NU), maka pada tahun 1939 KH A.Wahid Hasyim dipilih menjadi Ketua Dewan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Para anggota MIAI adalah tokoh-tokoh top Indonesia seperti Abikusno Cokrosuyoso, Dr. Sukiman, Wondoamiseno, KH Mas Mansur, KH Abdul Kahar Muzakkir, Umar Habaisy, Muhammad Natsir, dan lain-lain. Kedudukan Ketua MIAI ini dengan sendirinya menempatkan KH A.Wahid Hasyim sebagai pejuang politik menghadapi penjajahan.
Pada tahun 1940 ketika MIAI direorganisasi dan A.Wahid Hasyim terpilih sebagai ketua, MIAI mengambil sikap menentang keberadaan pemerintah kolonial.
Berkaitan dengan perjuangan merebut kemerdekaan, MIAI, di bawah kepemimpinan A.Wahid Hasyim, bersama – sama dengan GAPI (gabungan partai politik indonesia) dan PVN (asosiasi pegawai pemerintahan) mendirikan kongres rakyat indonesia sebagai komite nasional yang menuntut kepada pemerintah kolonial belanda untuk mendirikan Indonesia berparlemen. Sebagai perwakilan organisasi keagamaan, MIAI meminta kepada kongres untuk memberikan perhatian kepada kepentingan umat islam. MIAI juga merekomendasikan agar komposisi anggota parlemen terdiri dari mayoritas umat islam. Usulan ini di ajukan dengan pertimbangan bahwa umat islam merupakan umat mayoritas di Indonesia. Juga menuntut agar kepala negara haruslah orang islam dan kementrian agama harus dibentuk.
Ketika tuntutan itu sampai ke pemerintahan kolonial belanda, dari pihak kolonial memberikan respon,”pembentukan konstitusi di Indonesia baru dapat terjadi setelah kemerdekaan belanda dari jerman; dan ketika seluruh hubungan antara belanda dan Indonesia diperbaharu dengan ide berdirinya negara federasi di bawah pemerintah belanda. Sangat mengejutkan bahwa pejuang pergerakan kemerdekaan indonesia, nampaknya, menerima jawaban pemerintah Belanda tersebut dan mereka cukup pasif untuk mempertahankan tanah airnya, ketika jepang mengambil kekuasaan pada tahun 1942. Sikap mereka nampaknya merefleksikan harapan bahwa ketika jepang dapat mengalahkan belanda, Indonesia dengan sendirinya akan merdeka.
Akan tetapi tatkala zaman pendudukan Jepang, kelompok MIAI bubar. Kemudian atas prakarsa KH A. Wahid Hasyim MIAI menjelma menjadi ”Majelis Syuro Muslimin Indonesia” (Masyumi). Melalui Masyumi ini, terbentukalah badan Pusat latihan Hizbullah di Cibarusa, dekat Cibinong Bogor, Sekolah Tinggi Islam di Jakarta dan penerbitan Majalah ”Suara Muslimin” yang mula-mula dipimpin oleh KH Saifuddin Zuhri dan kemudian beralih ke tangan Harsono Cokroaminoto.
E. Strategi Melawan Penjajah
Setelah komandan pasukan Belanda di jawa, letnan jendral Teer Porten, atas nama seluruh pasukan secara resmi menyerah kepada komandan pasukan jepang pada tanggal 8 Maret 1942, militer jepang berkuasa penuh di Indonesia. Pasukan jepang masih sangat takut terhadap pengaruh bangsa Belanda dan Arab yang di anggap sebagai “orang asing” yang mengkuatirkan kebudayaan bangsa Asia sebagaimana dinyatakan oleh jepang, keputusan No.23 tertanggal 15 juli 1942 yang dikeluarkan oleh penguasa jepang melarang semua organisasi politik dan sosial keagamaan di indonesia. Pelarangan ini di susul kemudian dengan memenjarakan beberapa pemimpin Indonesia dengan maksud tidak adanya perdebatan dari bangsa indonesia tentang bagaimana teritorial Indonesia harus di kelola.
Bangsa jepang melaksanakan kebijakan budaya “japanisasi” diseluruh tanah air, seperti merubah nama-nama jalan, tempat,taman dari sebelumnya nama belanda kenama jepang Indonesia, jepang juga memberlakukan budaya saikeirei, yaitu budaya membungkuk kepada kaisar jepang, Tenno Heika, setiap pagi, sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Umat Islam Indonesia memandang bahwa budaya tersebut dapat di kategorikan sebagai perbuatan syirik, oleh karena itu para pemimpin Muslim menentang yang terkadang pembakangan secara terbuka terhadap kebijakan tersebut terhadap kebijakan tersebut, misalnya kasus Zainal Mustafa singaparna dan Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul).
Salah seorang pemimpin yang juga melawan kebijakan tersebut adalah Kyai Haji Hasyim Asy’ari yang pada akhirnya dipenjarakan selama empat bulan, dan pesantrennya harus juga di tutup. Berita tentang dipenjarakannya KH Hasyim Asy’ari begitu cepat menyebar di dunia pesantren, yang melahirkan gerakan protes dikalangan santri Muslim, (menurut Saifuddin Zuhri), bahkan hendak mengadakan serangan kepada bangsa jepang. Sebagai anak tentunya Wahid Hasyim tidak tinggal diam begitu saja, dia bersama-sama dengan KH. Wahab Hasbullah juga berusaha membebaskan Hasyim Asy’ari melalui kontak dengan penguasa jepang di jakarta. Akhirnya, Hasyim Asy’ari dibebaskan pada tanggal 18 Agustus 1942 dan pesantrennya diperbolehkan untuk melakukan aktivitas sebagaimana biasanya. Nampaknya penguasa jepang menyadari bahwa pengaruh yang sangat besar dari pemimpin agama tidak dapat begitu saja diabaikan.
Sebagaimana pernah di sampaikan dalam sebuah kesempatan berpidato di depan majelis pengajian NU di Banyumas, KH.Abdul Wahid Hasyim menceritakan ihwal keluarnya KH. Hasyim Asy'ari dari tahanan Jepang. Menurut Abdul Wahid, banyak orang dengki dan tukang fitnah berusaha menyusahkan NU dan menyengsarakan Hadhratussyaikh.
Karena Allah menghendaki lain, maka sia-sialah usaha mereka. Malahan kini, sekeluarnya Hadhratusysyaikh dari tahanan, beliau diberi kompensasi oleh Pemerintah Jepang untuk menjabat Shumubucho, Kepala Jawatan Agama Pusat. Ini merupakan kompensasi Jepang yang waktu itu merasa kedudukannya makin terdesak dan merasa salah langkah menghadapi umat Islam.
Mendapat tawaran itu KH. Hasyim Asy'ari menerima dengan catatan, mengingat usia yang sudah uzur dan dia harus mengasuh pesantren sehingga tidak mungkin kalau harus bolak-balik Jakarta-Jombang. Karena kondisi ini, dia mengusulkan agar tugasnya sebagai Shumubucho diserahkan kepada Abdul Wahid Hasyim, puteranya.
Taktik ini sengaja dilakukan KH. Hasyim Asy'ari untuk menghindari jangan sampai Nippon tersinggung atau menjadi curiga terhadap KH. Hasyim Asy'ari. Memang serba sulit posisi waktu itu. Jika tawaran ini diterima, kemungkinan akan menimbulkan fitnah, disamping kenyataannya usianya sudah uzur. Jika ditolak, jelas akan mendatangkan kecurigaan di pihak Nippon.
Keputusan KH. Hasyim Asy'ari ternyata merupakan sebuah sikap yang sangat brilian dan memiliki implikasi jauh sekali. Dengan keputusan itu, keinginan Jepang terpenuhi sehingga tidak menimbulkan kecurigaan politik. Selain itu, rupanya secara tidak langsung KH. Hasyim Asy'ari juga sedang melakukan kaderisasi kepemimpinan level nasional kepada Abdul Wahid Hasyim. Melalui proses inilah mulai terlihat kelas kepemimpinan Abdul Wahid Hasyim yang sesungguhnya.
Menurut KH. Abdul Wahid Hasyim, sebenarnya dengan keputusan seperti itu ayahnya ingin memberi contoh keteladanan kepada generasi muda bahwa *pengertian bijaksana bukanlah menjatuhkan pilihan terhadap sesuatu yang benar dan yang salah, atau terhadap sesuatu yang baik dan yang buruk.* *Bijaksana adalah kemampuan seseorang menjatuhkan pilihan antara dua perkara yang sama-sama salah atau sama-sama buruk, tetapi kondisi mengharuskan untuk memilih salah satunya*.
Dalam kesempatan itu dia menjelaskan panjang lebar kisah penahanan
Hadhratusysyaikh dan politik kompensasi yang dijalankan Jepang. Insya Allah dalam waktu tidak lama lagi banyak kyai yang akan menduduki Kepala Jawatan Agama di daerah-daerah. *"Mudah-mudahan Jawatan Agama itu tidak menjurus menjadi Jowo tan Agomo, Jawa tanpa agama,"* ujar KH. Wahid Hasyim berseloroh.
Sejak kejadian tersebut mereka sangat berhati-hati ketika akan memenjarakan kyai yang terkenal, untuk mendapatkan simpati dari kalangan muslim, bangsa jepang mulai mengadakan kontak dengan Ulama’ dengan demikian, Ulama kemudian muncul sebagai salah satu elemen yang sangat penting dalam perpolitikan bangsa indonesia.
Bangsa jepang menyadari pentingnya mempunyai sebuah federasi yang memayungi segala bentuk organisasi keagamaan (Islam), sehingga seluruh pemimpin umat islam berkumpul dan dapat disatukan, untuk itu bangsa jepang memperbolehkan kembali berdiri MIAI pada tahun 1942, akan tetapi belum ada genap setahun, federasi ini dilarang dan kemudian diganti dengan MASYUMI (majelis syuro’ muslimin indonesia) yang didirikan pada tanggal 24 oktober 1943. Masyumi adalah (non- political association) federasi umat islam yang bergerak diluar perpolitikan. Sebagai figur utama pemimpinnya adalah KH.Hasyim Asy’ari, akan tetapi kedudukan ini hanya sebatas penghormatan karena KH. Hasyim Asy’ari tetap tinggal di pesantrennya, dan membiarkan anaknya A.Wahid Hasyim sebagai ketua pelaksananya. Wahid Hasyim melaksanakan beberapa progam yang di desain untuk memperkuat kapasitas umat Islam dan meningkatkan insfratuktur.
Dengan adanya kesempatan tersebut, Wahid Hasyim tahu betul maksud tujuan bangsa jepang, sehingga beliau mengatur strategi yang matang dan mengundang pemuda muslim, di antaranya M.Natsir, Harsono tjokroaminoto, prawoto Mangkusumo dan Zainul Arifin, untuk menggunakan kesempatan dalam menyiapkan bangsa indonesia baik secara fisik dan mental guna melawan bangsa jepang. Sebagaimana yang dikatakan Wahid Hasyim sendiri:
“pada masa jepang, baik pemimpin sekuler dan islam nasionalis menyerah dan ingin mengikuti segala rencana jepang. Untungnya, generasi pemuda islam muncul dan mengambil alih kepemimpinan, termasuk kepemimpinan Masyumi. Sejak itu, masjumi tidak lagi membantu propaganda bangsa jepang bahkan meminimalisir rencana jepang yang banyak membuat rakyat sengsara.
Dia juga mengambil inisiatif untuk mendirikan BPI (Badan Propaganda Islam) ynag bertujuan melatih anggotanya agar mampu berpidato, menyebarkan ajaran Islam dan menumbuhkan rasa kebangsaan juga. Dalam sebuah konggres Muslim Indonesia di jakarta, Wahid Hasyim mengatakan:”penguasa kolonial tidak akan pernah memikirkan tentang kemanusiaan, keadilan dan rasa kasih sayang. Mereka membiarkan anak-anak kita tidak peduli dan menjadikan mereka lupa akan tanah airnya, sejarahnya, nenek moyangnya, bahkan masa depannya beserta Tuhan yang patut di sembah. Di bawah tekanan bangsa penjajah, ekonomi kita sungguh sangat mengenaskan. Kita harus bertindak tidak seperti anak kecil, tetapi harus bertindak sebagai bangsa yang dewasa yang dapat berbuat bagi bangsanya sendiri. Selama kita bertindak kekanak-kanakan, kita akan mudah ditipu dengan janji-janji yang manis yang diberikan oleh bangsa penjajah yang tidak akan pernah merealisasikannya.
Pada saat yang sama pula, PETA(pembela tanah air) dan Heiho dibentuk di jawa dan madura dengan maksud memberikan bantuan pasukan perang kepada bengsa jepang guna melawan serangan pasukan sekutu. Organisasi ini, akhirnya, memberikan bekal latihan kemiliteran pada kader bangsa yang bermanfaat pada masa revolusi. Menangkap ide itu, Wahid Hasyim, sebagai ganti atas permintaan Abdul Hamid Ono agar santri begabung dengan PETA dan Heiho, meminta izin kepada penguasa jepang untuk membentuk pasukan santri Muslim yang diberi nama Hizbullah. Wahid Hasyim juga menekankan bahwa santri Muslim tidak untuk dikirim keluar negeri, akan tetapi mereka bersama-sama Ulama’, akan menerima latihan kemiliteran guna mempertahankan teritorial Indonesia dari serangan pasukan sekutu. Permintaan Wahid Hasyim untuk membentuk Hizbullah diizinkan oleh jepang. Kesempatan ini sebenarnya akan di gunakan untuk mempersiapkan santri Muslim melawan bangsa jepang sendiri, (saifuddin Zuhri) ”Wahid Hasyim sudah memikirkan sebuah strategi bahwa ide adanya training kemiliteran bagi santri merupakan bagian dari persiapan untuk melawan bangsa jepang.
Setelah memperoleh pelatihan dalam beberapa bulan dibawah asuhan militer jepang, sekitar lima ratus pemuda Muslim dipilih untuk menjadi laskar Hizbullah yang punya kewajiban untuk mengatur organisasi Hizbullah di daerah sekaligus melatih kader-kader di daerah. Masjumi membiayai segala bentuk aktivitasnya, meskipun anggotanya tidak dibayar,. Kekuatan ini memberikan bentuk baru bagi umat islam dalam berpartisipasi dalam bidang kemiliteran selama perang merebut kemerdekaan dan sesudahnya.
Pada masa jepang tersebut, setidaknya membuktikan bahwa umat Islam mampu mengembangkan sikap kopeatif dengan bangsa jepang, walaupun hubungan baik antara keduanya bukan dalam bentuk hubungan timbal balik yang saling menguntungkan, akan tetapi sebuah strategi yang sangat menguntungkan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Hal tersebut disadari oleh para pemimpin sehingga selalu berhati-hati terhadap segala bentuk pemberian atau janji yang diobral oleh pemerintah jepang. Bahkan dalam prakteknya, Wahid Hasyim banyak menerapkan strategi yahanno (penipuan) dalam melawan bangsa jepang. Ketika saifuddin Zuhri menanyakan kepada A.Wahid Hasyim tentang adanya kerja sama dengan jepang,
Wahid Hasyim menjelaskan: dalam setiap perjuangan saling menipu merupakan hal yang biasa berjalan...dikalangan santri NIPPO yang dieja dalam ejaan jepang dengan NIPPON, berarti nipu wong (bahasa jawa:menipu orang). Mereka mengatakan bahwa mereka akan membebaskan kita dari bangsa belanda. Bisa jadi hal itu benar bahwa kita tidak akan dijajah bangsa belanda lagi, tetapai mereka tidak mengatakan apakah kita akan menjadi bangsa yang merdeka atau bahkan mereka angin menjajah kita setelah kita bebas dari belanda. Ini adalah penipuan. Kenapa kita tidak menipu merka?.....prinsip kita adalah menolong diri kita melalui kesempatan-ksempatan yang diberikan. Kemungkinan mereka akan menggunakan kita sebagai alat bagi meeka, akan tetapi kita bukanlah alat ayng diam. Apa yang penting bagi kita adalah menggunakan kesempatan tersebut sebaik mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar