Perjalanan sejarah Islam secara berabad-abad memberi ruang penafsiran yang sangat luas, bahkan saling bertentangan. Perkembangan masyarakat membawa konsekwensi perubahan budaya. Dalam kontek ini, K.H.Husen: menyinggung bahwa persepsi budaya mempengaruhi tafsir penilaian terhadap perempuan. Menurutnya, kekhawatiran muncul karena bila budaya berubah, maka hukum positif yang berlaku juga akan berubah. Beliau memberi contoh mengenai perkawinan antar agama, yang dianggapnya masih dalam kerangka relasi gender. Perkawinan muslim dengan wanita kafir kitab, atau pengikut agama lain, memang banyak yang menolak. Meskipun perempuan dipercaya bisa mempengaruhi laki-laki, tetapi Jumhur membolehkan menikah dengan kitabi.
Sekali lagi,ini merupakan persoalan budaya, karena perempuan dipandang sebagai subordinat dari laki-laki. Menurutnya, mungkin saja saat itu jika kondisinya sama-sama kuat, tidak ada persoalan. Disini, kontek politik sangat berperan. K.H.Mustofa Bisri mengingatkan, konteks dikotomi politik Barat-Timur sangat berperan dalam wacana gender.
Pada tataran kenegaraan, konsepsi serupa muncul untuk menjelaskan relasi gender. Dalam Islam, secara sya’i memang ada watak antara laki-laki dan perempuan yang tidak bisa disamakan. Ketika mengutarakan pandangan “klasik” itu, KH.Azhari M: Juga menambahkan bahwa dalam persoalan-persoalan uang mengandung hak yang sama, kedudukan hukum antara laki-laki dan perempuan Islam harus sama, pandangan ini membenarkan penafian “presiden perempuan”. Beliau memberi analogi, bahwa munas Alim Ulama’ NU di Mataram diputuskan bahwa wanita diperbolehkan untuk menempati struktur kepemimpinan, tetapi tidak pada pucuk kepemimpinan (presiden). Adakah pandangan demikian hanya merupakan monopoli laki-laki saja?...jawabannya tidak,
karena pandangan serupa juga dilontarkan oleh Nyai Nafisah Sahal Mahfudz. (pengasuh ponpes Maslakul Huda pati jateng), Menyatakan, dari segi rasa keadilan, syariat yang menentukan relasi gender demikian tampak tidak sejalan dengan nilai keadilan. Tetapi, ia mengingatkan bahwa bagaimanapun harus ada kepatuhan terhadap konsepsi islam, yang menetapkan relasi gender demikian sudah adil, dan merupakan nash. Terlepas dari argumen feminis--yang menegaskan bahwa pandangannya tersebut merupakan produk pemikiran patriarkal yang bersifat hegemonik dan telah terstruktur- pandangan ini lebih menekankan untuk “menuntut” penilaian berdasarkan kemampuan atau prestasi. Sekalipun terbatas, misalnya untuk Hak waris, perempuan masih memiliki hak untuk menuntut persamaan peran kemasyarakatan dalam kerangka Islam. Beliau pernah mengusulkan hak perempuan untuk bisa duduk didalam Syuriyah NU, karena di kalangan perempuan pun banyak yang ahli hukum.
Pandangan Nyai Ida Fatimah Zaenal (Ketua Puskopontren Yogyakarta) Nash yang disebut diatas, dalam bahasa yang berbeda, diyakini sebagai fitrah. “karena memang wanita secara biologis berbeda, maka hal itu harus diakui. Wanita berbeda dengan laki-laki, dan sebaliknya,” bahwa keterbatasan perempuan untuk meraih posisi tertinggi tidak boleh dipandang sebagai ketidak adilan. “justru adil, karena untuk menghormati wanita. Secara fitrah memang ada perbedaan yang harus dihormati.” Adil dalam pemahaman ini ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya, kemampuannya, dan keadaannya. “Adil itu bukan harus sama, rata. Lelaki dikasih dua, wanita satu, itu adil. Misalnya.
Usul tersebut tentu tidak terlepas dari paham yang memandang kontekstualisasi syari’at disini diartikan sebagai pengkajian ulang atau modifikasi, tetapi bukan perubahan. “kontekstualisasi, dalam pandangan ini, bukanlah sesuatu yang ekstreim, karena justru konteks yang bisa membatasi perluasan tafsir gender.
Drs. H. Shofwan Karim M.A: Di dalam pandangan normatif-tekstual Islam seperti yang disitir al-Qurán, tinggi rendahnya kualitas seseorang hanya terletak pada tinggi-rendahnya kualitas pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah swt, Selanjutnya Allah memberikan penghargaan yang sama dan setimpal kepada manusia dengan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan atas semua amal yang dikerjakannya. Islam sebagai al-Din mencakup tatanan semua segi kehidupan manusia tentang akidah (teologi), ibadah (ritual), Syariat (hukum), akhlak (etika) dan muámalah (sosio-kultural). Secara umum ketercakupan itu merupakan pengaturan hubungan dengan Allah dan hubungan sesama manusia. Kajian gender merupakan wilayah dan tatanan hubungan sesama manusia dalam konteks sosio-kultural.
Tinjauan tersebut kita harus bisa, memahami teks dan konteks secara teologis-filosofis dan sosiologis-empiris serta merujuk kepada pemikiran klasik dan kontemporer yang diharapkan memberikan gambaran umum yang mungkin dapat dipertimbangkan untuk mendorong partisipasi aktif umat Islam dalam menumbuh-kembangkan sikap ke arah terciptanya kesetaraan dan keadilan gender secara proporsional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar