Prof Dr Nasaruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Pertanyaan
ini menarik un tuk dikaji, apakah seni menjadi faktor dalam pro ses
pencapaian target kaum sufi atau karena perilaku sufi yang
mengekspresikan nilai seni, atau keduanya saling berkontribusi? Artinya,
seni bisa membantu melahirkan suasana batin yang halus, indah, dan
estetis. Pada saat bersamaan, jiwa sufi yang halus, lembut, dan estetis
mengekspresikan sesuatu yang bernilai seni.
Dalam lintasan sejarah dunia Islam, banyak sekali sufi yang seniman dan seniman yang jadi sufi. Bahkan, terkadang ada di antara mereka sulit membedakan mana di antara keduanya lebih menonjol pada diri seorang sufi, apakah dia sebagai sufi atau sebagai seniman. Sebut saja Jalaluddin Rumi, yang lahir di Balkh, 6 Rabiul Awal 604 H atau 30 September 1207 M. Ia dikenal bukan hanya sebagai sufi yang mampu menjadi komposer seni musik, yang lebih dikenal dengan sebutan whirling darvisis (shema), tetapi juga melalui puisinya yang terekam di dalam master piece-nya, Mathnawi, yang oleh pengikutnya disebut sebagai ‘Alquran dalam bahasa Persia’ atau wahyu tentang makna batin Alquran.
Hegel menganggap Rumi sebagai penyair dan pemikir terbesar dalam sejarah dunia. Pujian senada dituturkan Maurice Barres, penulis Prancis. Setelah bergelut dengan puisi-puisi Rumi, ia menyadari akan kekurangan Shakespeare, Goethe, dan Hugo. Prof RA Nicholson setelah me nerjemahkan Mathnawi ke dalam versi Inggris, menyebut Rumi sebagai penyair mistik terbesar sepanjang abad (the greatest mystic poet of any age).
Sejak semula, Islam dan dunia seni memang bagaikan sebuah mata uang yang memiliki dua sisi. Islam tanpa seni dan seni tanpa Islam tidak akan mencapai kesempurnaan. Islam merupakan ajaran Tuhan yang memerlukan seni di dalam mengartikulasikan kedalaman aspek kebatinan dari ajaran itu. Seni merupakan bagian dari sisi dalam manusia yang membutuhkan lokus untuk mengaktualisasikan nilai-nilai estetisnya. Islam dan seni menuntut ekspresi rasa yang amat mendalam dari manusia. Islam berisi ajakan kelembutan, kedamaian, kehalusan, dan harmoni kepada pemeluknya, sedangkan seni menawarkan ajakan-ajakan itu.
Dalam lintasan sejarah dunia Islam, banyak sekali sufi yang seniman dan seniman yang jadi sufi. Bahkan, terkadang ada di antara mereka sulit membedakan mana di antara keduanya lebih menonjol pada diri seorang sufi, apakah dia sebagai sufi atau sebagai seniman. Sebut saja Jalaluddin Rumi, yang lahir di Balkh, 6 Rabiul Awal 604 H atau 30 September 1207 M. Ia dikenal bukan hanya sebagai sufi yang mampu menjadi komposer seni musik, yang lebih dikenal dengan sebutan whirling darvisis (shema), tetapi juga melalui puisinya yang terekam di dalam master piece-nya, Mathnawi, yang oleh pengikutnya disebut sebagai ‘Alquran dalam bahasa Persia’ atau wahyu tentang makna batin Alquran.
Hegel menganggap Rumi sebagai penyair dan pemikir terbesar dalam sejarah dunia. Pujian senada dituturkan Maurice Barres, penulis Prancis. Setelah bergelut dengan puisi-puisi Rumi, ia menyadari akan kekurangan Shakespeare, Goethe, dan Hugo. Prof RA Nicholson setelah me nerjemahkan Mathnawi ke dalam versi Inggris, menyebut Rumi sebagai penyair mistik terbesar sepanjang abad (the greatest mystic poet of any age).
Sejak semula, Islam dan dunia seni memang bagaikan sebuah mata uang yang memiliki dua sisi. Islam tanpa seni dan seni tanpa Islam tidak akan mencapai kesempurnaan. Islam merupakan ajaran Tuhan yang memerlukan seni di dalam mengartikulasikan kedalaman aspek kebatinan dari ajaran itu. Seni merupakan bagian dari sisi dalam manusia yang membutuhkan lokus untuk mengaktualisasikan nilai-nilai estetisnya. Islam dan seni menuntut ekspresi rasa yang amat mendalam dari manusia. Islam berisi ajakan kelembutan, kedamaian, kehalusan, dan harmoni kepada pemeluknya, sedangkan seni menawarkan ajakan-ajakan itu.
Islam dan seni
keduanya mencitrakan hal-hal yang bersifat universal, seperti
nilai-nilai etika dan estetika. Seni memiliki potensi yang amat dalam
untuk men dekatkan diri sedekat-dekatnya seorang hamba kepada Tuhan nya.
Dengan seni, seseorang dapat me rasakan keindahan, ketenangan,
kehangatan, kerinduan, ke syahduan, dan keheningan. Suasana batin
seperti ini sangat dibutuhkan dan merupakan dam baan para pencari Tuhan
(salik).
Ada kesan di dalam masyarakat kita seolah seni dan seniman tidak punya tempat di dalam Islam, terutama di dalam masyarakat Islam Sunni. Seolah-olah Islam dan seni bagaikan air dan minyak. Islam orientasinya kesalehan, kesucian, dan keluhuran budi pekerti. Sedangkan, seni dan seniman konotasinya glamor, urakan, dan tidak taat asas budi pekerti. Asumsi dan konotasi seperti itu tidak sepenuhnya benar. Idealnya, seorang Muslim sejati lebih familiar dengan seni karena cara paling efektif menuju Tuhan ialah dengan menempuh jalur rasa (cinta). Jalur ini lebih pendek dibandingkan dengan jalur takut. Dalam Islam, Tuhan bukan sosok yang maha mengerikan untuk ditakuti, tetapi sosok yang maha penyayang untuk dicintai. Pola relasi cinta menggambarkan Tuhan immanent dan dekat. Sedangkan, pola relasi takut menggambarkan Tuhan trancendent dan jauh.
Kalau yang dimaksud dengan seniman ialah seseorang yang memiliki jiwa, rasa, bakat, dan atau watak seni, Nabi Muhammad SAW juga seniman. Hanya saja, predikat seniman untuk Nabi tentu saja seni yang sejati dan agung, sejalan dengan fitrah dan martabat luhur kemanusiaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keindahan dan kehalusan budi pekerti. Dengan kata lain, seni yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhannya. Allah Mahaindah tentu mencintai keindahan. Bukan seni yang berselera rendah, yang hanya mengacu kepada kecenderungan biologis. Dengan kata lain, seni yang menjauhkan diri manusia kepada Tuhannya.
Seni yang sesungguhnya adalah sesuatu yang agung dan mengandung nilai-nilai universal dan lebih cenderung mendekatkan diri kepada Tuhan. Memang, ada seni yang rendah, yang mengekspresikan nafsu kerendahan manusia, yang kemudian mendekatkan diri ke lumpur dosa dan maksiat, bukannya mendekatkan diri kepada Tuhan. Seni yang agung tidak pernah lekang dimakan usia. Seni yang agung selalu aktual bersama pengagumnya. Kita perlu mengapresiasi kecenderungan tersebut.
Seni yang bercorak religius ini tidak perlu takut dengan pasar karena fenomena kesadaran syar'i yang semakin tumbuh di dalam masyarakat kita ternyata memberikan pasar pada karya-karya seni agung ini. Lihatlah, misalnya lirik-lirik lagu yang bernuansa religius laku keras. Lihat pula film Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, dan film-film atau sinetron lain yang senapas dengannya, juga mendapatkan tempat yang berarti di dalam masyarakat.
Seni Islam tidak mesti harus bernuansa Timur Tengah (Arab). Ajaran Islam tidak identik dengan kebudayaan Arab. Islam memberikan peluang dan hak setiap budaya lokal (cultural right) untuk menampilkan, mengekspresikan, dan menafsirkan Alquran dan Hadis. Kita bisa tetap menjadi orang Indonesia, tanpa harus menyerupai orang Arab, untuk menjadi the best Muslim. "Yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa." (QS al-Hujurat ayat 13).
Memang, seni dan musik tidak banyak disinggung di dalam Alquran, tetapi Alquran itu sendiri melampaui karya seni terbaik sekali pun, dan tentu Nabi Muhammad SAW juga melampaui seniman mana pun, baik pada masa turunnya maupun pada zaman-zaman sesudahnya. Salah satu kemukjizatan Alquran ialah keindahan dan ketinggian nilai seni sastra dan bahasanya.
Karunia Tuhan
Alquran juga mengisyaratkan bahwa suara yang merdu, yang menjadi unsur penting di dalam penampilan bakat seni, merupakan karunia Tuhan yang diberikan kepada orang-orang tertentu, sebagaimana dinyatakan dalam QS Fathir (35): 1: "Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya." Dalam kitab Tafsir Fakhr al-Razi dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan keutamaan tambahan pada ayat ini ialah suara yang bagus (al-shaut al-hasan). Nilai-nilai keindahan dan kebaikan mendapatkan tempat yang positif di dalam Alquran, seperti diisyaratkan dalam QS al-A'raf (7): 32. "Katakanlah, siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Sindiran Alquran terhadap suara yang tidak memiliki unsur keindahan dan kasar ialah suara keledai, dinyatakan dalam QS Luqman (31):19: "Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai."
Banyak hadis menerangkan bahwa musik dan seni suara mempunyai arti penting di dalam kehidupan manusia. Para Nabi yang diutus oleh Allah SWT memiliki suara yang bagus, sebagaimana hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Tirmizi dan Qatadah: "Allah tidak mengutus seorang Nabi melainkan suaranya bagus."
Dalam beberapa riwayat, Rasulullah memberikan dukungan terhadap musik dan seni suara dan tidak melarangnya secara umum, seperti diketahui dalam sikap Beliau. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah yang menceritakan dua budak perempuan pada Hari Raya Idul Adha menampilkan kebolehannya bermain musik dengan menabuh rebana, sementara Nabi dan Aisyah menikmatinya. Tiba-tiba, Abu Bakar datang dan membentak kedua pemusik tadi, lalu Rasulullah menegur Abu Bakar dan berkata: "Biarkanlah mereka berdua, hai Abu Bakar, karena hari-hari ini adalah hari raya."
Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah yang mengatakan: "Saya melihat Rasulullah SAW menutupiku dengan serbannya, sementara aku menyaksikan orang-orang Habsyi bermain di masjid. Lalu, Umar datang dan mencegah mereka bermain di masjid, kemudian Rasulullah berkata, 'Biarkan mereka, kami jamin keamanan wahai Bani Arfidah'."
Dalam Hadis riwayat al-Baihaqi, sebagaimana dikutip al-Gazali, diceritakan behwa ketika Rasulullah memasuki Kota Madinah, para perempuan melantunkan nyanyian di rumahnya masing-masing: "Telah terbit bulan purnama di atas kita, dari bukit Tsaniyatil Wada. Wajiblah bersyukur atas kita, selama penyeru menyerukan kepada Allah."
Hadis-hadis sahih dan pendapat ulama terkemuka di atas menunjukkan bahwa pertunjukan seni, termasuk di dalamnya permainan alat-alat musik dan nasyid, tidak dibenarkan Rasullah SAW. Memang, ada juga riwayat yang mencela alat bunyi-bunyian seperti seruling (mazamir), tetapi hal tersebut jika musik dan bunyi-bunyian itu dimaksudkan untuk tujuan-tujuan tertentu yang bertentangan dengan syariah, misalnya seni musik mengiringi ritual kemusyrikan, seni musik yang menimbulkan fitnah, mengajak orang untuk mabuk, serta merangsang pendengarnya untuk melakukan maksiat dan melupakan Tuhan.
Seni musik bagian dari kebudayaan dan peradaban Islam yang harus dilestarikan. Sudah saatnya juga seni musik dan berbagai bentuk seni lainnya dijadikan media dakwah untuk mengajak orang berhati lembut, berpikiran lurus, berperilaku santun, bertutur kata halus, serta menampilkan jati diri dan inner beauty setiap orang.
Ada kesan di dalam masyarakat kita seolah seni dan seniman tidak punya tempat di dalam Islam, terutama di dalam masyarakat Islam Sunni. Seolah-olah Islam dan seni bagaikan air dan minyak. Islam orientasinya kesalehan, kesucian, dan keluhuran budi pekerti. Sedangkan, seni dan seniman konotasinya glamor, urakan, dan tidak taat asas budi pekerti. Asumsi dan konotasi seperti itu tidak sepenuhnya benar. Idealnya, seorang Muslim sejati lebih familiar dengan seni karena cara paling efektif menuju Tuhan ialah dengan menempuh jalur rasa (cinta). Jalur ini lebih pendek dibandingkan dengan jalur takut. Dalam Islam, Tuhan bukan sosok yang maha mengerikan untuk ditakuti, tetapi sosok yang maha penyayang untuk dicintai. Pola relasi cinta menggambarkan Tuhan immanent dan dekat. Sedangkan, pola relasi takut menggambarkan Tuhan trancendent dan jauh.
Kalau yang dimaksud dengan seniman ialah seseorang yang memiliki jiwa, rasa, bakat, dan atau watak seni, Nabi Muhammad SAW juga seniman. Hanya saja, predikat seniman untuk Nabi tentu saja seni yang sejati dan agung, sejalan dengan fitrah dan martabat luhur kemanusiaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keindahan dan kehalusan budi pekerti. Dengan kata lain, seni yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhannya. Allah Mahaindah tentu mencintai keindahan. Bukan seni yang berselera rendah, yang hanya mengacu kepada kecenderungan biologis. Dengan kata lain, seni yang menjauhkan diri manusia kepada Tuhannya.
Seni yang sesungguhnya adalah sesuatu yang agung dan mengandung nilai-nilai universal dan lebih cenderung mendekatkan diri kepada Tuhan. Memang, ada seni yang rendah, yang mengekspresikan nafsu kerendahan manusia, yang kemudian mendekatkan diri ke lumpur dosa dan maksiat, bukannya mendekatkan diri kepada Tuhan. Seni yang agung tidak pernah lekang dimakan usia. Seni yang agung selalu aktual bersama pengagumnya. Kita perlu mengapresiasi kecenderungan tersebut.
Seni yang bercorak religius ini tidak perlu takut dengan pasar karena fenomena kesadaran syar'i yang semakin tumbuh di dalam masyarakat kita ternyata memberikan pasar pada karya-karya seni agung ini. Lihatlah, misalnya lirik-lirik lagu yang bernuansa religius laku keras. Lihat pula film Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, dan film-film atau sinetron lain yang senapas dengannya, juga mendapatkan tempat yang berarti di dalam masyarakat.
Seni Islam tidak mesti harus bernuansa Timur Tengah (Arab). Ajaran Islam tidak identik dengan kebudayaan Arab. Islam memberikan peluang dan hak setiap budaya lokal (cultural right) untuk menampilkan, mengekspresikan, dan menafsirkan Alquran dan Hadis. Kita bisa tetap menjadi orang Indonesia, tanpa harus menyerupai orang Arab, untuk menjadi the best Muslim. "Yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa." (QS al-Hujurat ayat 13).
Memang, seni dan musik tidak banyak disinggung di dalam Alquran, tetapi Alquran itu sendiri melampaui karya seni terbaik sekali pun, dan tentu Nabi Muhammad SAW juga melampaui seniman mana pun, baik pada masa turunnya maupun pada zaman-zaman sesudahnya. Salah satu kemukjizatan Alquran ialah keindahan dan ketinggian nilai seni sastra dan bahasanya.
Karunia Tuhan
Alquran juga mengisyaratkan bahwa suara yang merdu, yang menjadi unsur penting di dalam penampilan bakat seni, merupakan karunia Tuhan yang diberikan kepada orang-orang tertentu, sebagaimana dinyatakan dalam QS Fathir (35): 1: "Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya." Dalam kitab Tafsir Fakhr al-Razi dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan keutamaan tambahan pada ayat ini ialah suara yang bagus (al-shaut al-hasan). Nilai-nilai keindahan dan kebaikan mendapatkan tempat yang positif di dalam Alquran, seperti diisyaratkan dalam QS al-A'raf (7): 32. "Katakanlah, siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Sindiran Alquran terhadap suara yang tidak memiliki unsur keindahan dan kasar ialah suara keledai, dinyatakan dalam QS Luqman (31):19: "Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai."
Banyak hadis menerangkan bahwa musik dan seni suara mempunyai arti penting di dalam kehidupan manusia. Para Nabi yang diutus oleh Allah SWT memiliki suara yang bagus, sebagaimana hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Tirmizi dan Qatadah: "Allah tidak mengutus seorang Nabi melainkan suaranya bagus."
Dalam beberapa riwayat, Rasulullah memberikan dukungan terhadap musik dan seni suara dan tidak melarangnya secara umum, seperti diketahui dalam sikap Beliau. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah yang menceritakan dua budak perempuan pada Hari Raya Idul Adha menampilkan kebolehannya bermain musik dengan menabuh rebana, sementara Nabi dan Aisyah menikmatinya. Tiba-tiba, Abu Bakar datang dan membentak kedua pemusik tadi, lalu Rasulullah menegur Abu Bakar dan berkata: "Biarkanlah mereka berdua, hai Abu Bakar, karena hari-hari ini adalah hari raya."
Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah yang mengatakan: "Saya melihat Rasulullah SAW menutupiku dengan serbannya, sementara aku menyaksikan orang-orang Habsyi bermain di masjid. Lalu, Umar datang dan mencegah mereka bermain di masjid, kemudian Rasulullah berkata, 'Biarkan mereka, kami jamin keamanan wahai Bani Arfidah'."
Dalam Hadis riwayat al-Baihaqi, sebagaimana dikutip al-Gazali, diceritakan behwa ketika Rasulullah memasuki Kota Madinah, para perempuan melantunkan nyanyian di rumahnya masing-masing: "Telah terbit bulan purnama di atas kita, dari bukit Tsaniyatil Wada. Wajiblah bersyukur atas kita, selama penyeru menyerukan kepada Allah."
Hadis-hadis sahih dan pendapat ulama terkemuka di atas menunjukkan bahwa pertunjukan seni, termasuk di dalamnya permainan alat-alat musik dan nasyid, tidak dibenarkan Rasullah SAW. Memang, ada juga riwayat yang mencela alat bunyi-bunyian seperti seruling (mazamir), tetapi hal tersebut jika musik dan bunyi-bunyian itu dimaksudkan untuk tujuan-tujuan tertentu yang bertentangan dengan syariah, misalnya seni musik mengiringi ritual kemusyrikan, seni musik yang menimbulkan fitnah, mengajak orang untuk mabuk, serta merangsang pendengarnya untuk melakukan maksiat dan melupakan Tuhan.
Seni musik bagian dari kebudayaan dan peradaban Islam yang harus dilestarikan. Sudah saatnya juga seni musik dan berbagai bentuk seni lainnya dijadikan media dakwah untuk mengajak orang berhati lembut, berpikiran lurus, berperilaku santun, bertutur kata halus, serta menampilkan jati diri dan inner beauty setiap orang.
Jumat, 14 Oktober 2011 pukul 15:51:00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar