KH. Munif Zuhri Al-Hadi |
Sifat
dan asma’dapat dikategorikan dalam dua kategori, yaitu sifat jalaliyyah dan
jamaliyyah. Sifat jalaliyyah ialah sifat yang menggambarkan ke-mahaperkasaan
dan kemahakerasan Allah. Satu-satunya makhluk yang mampu mengaktualisasikan
sekaligus menjadi lokus penamppakan (mazhhar) asma dan aushaf (sifat) Allah
hanyalah manusia. Dan, itulah mengapa manusia dipilih menjadi kalifahNYa.
Makhluk-makhluk
lain, termasuk malaikat, hanya mampu mengaktualisasikan sekaligus menjadi
mazhar lokus sifat jamaliyyah-Nya karena mereka tidak memiliki kekuatan
jalaliyyah, yaitu kekuatan amarah (al-quwwah al-gadhabiyyah) dan kekuatan
birahi (al-quwah al-syahwatiyyah). Malaikat melakukan “protes” terhadap rencana
Tuhan menciptakan manusia, apalagi sebagai khalifah di bumi karena khawatir
akan kedua kekuatan tersebut . padahal, jusrtu kekuatan jaliyyah itu (tentunya
disamping kekuatan jamaliyyah) menjadi keunggulan manusia. Setelah Allah menunjukkan
kehebatan manusia maka para malaikat sujud kepada manusia(Adam). (Qs
al-baqarah[2]:30)
Konsekuensi
penggabungan kedua kekuatan tersebut (jalaliyyah dan jamaliyyah)membuat manusia
bisa mengemban fungsinya sebagai kalifah. Fungsi inilah yang memungkinkan
manusia melahirkan peradaban. Manusia juga satu-satunya makhluk yang menurut S
H Nasr disebut makhluk eksistensialis yaitu mkhluk yang bisa turun naik
derajatnya di sisi Allah. Manusia memiliki potensi dan kemampuan untuk menjadi
mkhluk termulia (ahksanu Taqwim) (QS at-Tin[95]:4), hingga menembus sidratil
Muntaha. Tapi, manusia juga bisa jatuh ke lembah paling hina (asfalassafilin)
(QS at-Tin [95]:5), bahkan bisa lebih rendah dari binatang.(QS al-A’raf[7]:19).
Malaikat
tidak mungkin berdosa karena tidak memiliki quwwatul jalaliyyah. Mereka hanya
memiliki quwwatul jamaliyyah sebagaimana makhluk Tuhan lainnya. Malaikat dan
makhluk lainnya hanya bisa merepresentasikan aspek perbedaan dan
ketakterbandingan (tanzih), tetapi tidak bisa merepresentasikan aspek
keserupaan dan keterbandingan (tasybih). Sebaliknya, manusia dengan kombinasi
kekuatan jamaliyyah dan jalaliyyah mampu mencapai maqam “sintesa ketuhanan”
(al-jam’iyyat al- ilahiyyah). Manusia mampu menampilkan sifat jalaliyyah
dismaping sifat jamaliyyah.
Manusia
yang sudah mencapai ma’rifat tingkat lebih tinggi akan memahami sekaligus
menyadari sepenuhnya setiap akibat atau kenyataan apa pun yang menimpa dirinya
merupakan konsekuensi dirinya sebagai makhluk lokus/mazhar Allah. Tidak mungkin
manusia secara kolektif bersih dari dosa seperti halnya maliakat. Manusia sengaja
diciptakan untuk mazhhar sejumlah asma’ dan sifat-sifat Allah. Misalnya, Allah
mempunyai nama dan sifat Maha pencipta (al-kholiq) dan Maha Pemberi
(al-Wahhab). Sulit kita bayangkan Tuhan maha pencipta dan Maha Pemberi tanpa
ada nakhluk dan objek yang akan menerima pemberian. Sulit dipahami Allah
sebagai Tuhan (Rabb), tanpa ada penyembah-Nya (marbub) atau ilah tanpa ma’lu.
Demikian
pula, Maha penerima taubat (at-Tawab), Maha Pengampun (al-Ghofur), dan Maha
pemaaf (al-‘Afuw). Asma dan sifat-sifat itu sulit dipahami tanpa ada makhluk
pendosa, Rasulullah pernah menjelaskan, “seandainya semua manusia tidak ada
lagi yang berdosa maka Allah akan menciptakan makhluk lain yang berdosa.
Hanya disini perlu di tegaskan bahwa manusia sebagai
makhluk yang ditakdirkan untuk berdosa tidak bisa di jadikan alasan pembenaran
dosa. Meskipun Allah At-Tawwab, al-Gafur dan al-Afwu, tetapi Allah juga maha
pembalas (al-Muntaqim) dan Maha Adil (al-adl). Siapa tahu bukan diri kita yang
didatangi Tuhan bukan sebagai al-Tawwab, al-Gafur, dan al-Afwu maka malapetaka
bagi kita. Namun, jika kita sudah terlanjur berdosa maka Allah berhak
membukakan pintu maaf bagi yang dikehendakinya.
Konsekuensi manusia sebagai penyandang al-jam’iyyatul
ilahiyyah, harus menyadari bahwa hidup ini tidak hanya datar, penuh keindahan,
kebahagiaan, dan kedamaian. tetapi, hidup manusia juga penuh kesulitan,
kesusahan, dan penderitaan.
Manusia bukan malaikat yang sepanjang hidupnya
jamaliyyah atau mungkin iblis sepanjang hidupnya jalaliyyah. Manusia harus
bersedia menjalani kehidupannya penuh dengan tawa dan tangis, berimbang antara
harapan(raja’) dan ketakutan (khauf), terkadang berperasaan jauh dengan Tuhan
(tanazzuh), terkadang pula berperasaan sangat dekat (tasybih), bahkan menyatu
dengan Tuhan (ittihad).
Itulah manusia, senantiasa dibayangi mix feeling dan
fluktuasi kehidupan. Untuk mengatasinya masalah ini, ada al-Qur’an dan Hadits
Nabi yang dapt dijadikan penuntun dan kekuatan stabilisator dalam menjalani
kehidupan.
Orang yang sudah mencapai makrifat sulit membedakan
antara seonggok batu dan seonggok berlian atau antara musibah dan rahmat. Mereka
merasakan keindahan keduanya. Tidak ada lagi kutub yang berbeda. Hanya orang
yang belum mencapai tingkat makrifat yang sulit mengerti nama dan sifat Allah
al-Awwal dan al-Akhir serta az-Zhahir dan al-Bathin.
Jika seseorang selalu saja mengelak dan membenci
musibah serta terus berharap dan mencintai rahmat-Nya maka itu pertanda masih
kuatnya ego yang bersangkutan. Jika ego manusia sudah tenggelam, apapun yang
datang kepadanya adalah nikmat. Karena, ia sudah meniru kehidupan malaikat yang
dipadati kekuatan jamaliyyah, Allahu alam.
Dalam kitab-kitab tafsir Syiah dan umumnya para sufi
secara terus terang mengatakan bahwa roh yang ada di dalam diri Adam, “Wa
nafakhtu fihi min ruhi (kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku)”, (QS al-Hijr
[15]:29), yaitu “roh dari tuhan”. Karena itu, setelah penciptaan unsur ketiga
ini selesai maka para makhluk lain termasuk, para malaikat dan jin, bersujud
kepadanya dan alam raya pun ditundukkan (taskhir) kepada Adam. Unsur ketiga ini
pulalah yang mendukung kapasitas manusia sebagai kalifah (representatif) tuhan
di bumi (QS al-An’am[6]:165) di samping sebagai hamba (QS az-Dzariaat[51]:56).
Meskipun memiliki unsur ketiga, manusia akan tetap
menjadi satu-satunya makhluk eksistensialis. Karena, hanya makhluk ini yang
bisa turun naik derajatnya di sisi
Tuhan. Sekalipun manusia ciptaan terbaik (akhsan taqwim) (QS at-tiin[95]:4), ia
tidak mustahil akan turun ke derajat “paling rendah” (asfala safilin) (QS
At-tiin[95]:5), bahkan bisa lebih rendah daripada binatang (QS al-A’raf[7]:179).
Eksistensi kesempurnaan dapat dicapai manakala ia
mampu menyinergikan secara seimbang potensi kecerdasan yang dimilikinya. Yaitu,
kecerdasan unsur jasad (IQ), kecerdasan nafsani (EQ), dan kecerdasac rohani
(SI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar