memoriam sunan tembayat klaten 2012 |
BAB I
ISLAM DI ASIA TENGGARA
A.
Penyebaran
Islam di Asia Tenggara
Di Asia Tenggara, Islam merupakan
kekuatan sosial yang patut diperhitungkan, karena hampir seluruh negara yang
ada di Asia Tenggara penduduknya, baik mayoritas ataupun minoritas memeluk
agama Islam. Misalnya, Islam menjadi agama resmi negara federasi Malaysia,
Kerajaan Brunei Darussalam, negara Indonesia (penduduknya mayoritas atau
sekitar 90% beragama Islam), Burma (sebagian kecil penduduknya beragama Islam),
Republik Filipina, Kerajaan Muangthai, Kampuchea, dan Republik Singapura
(Muzani,1991: 23).
Dari segi jumlah, hampir terdapat
300 juta orang di seluruh Asia Tenggara yang mengaku sebagai Muslim. Berdasar
kenyataan ini, Asia Tenggara merupakan satu-satunya wilayah Islam yang
terbentang dari Afrika Barat Daya hingga Asia Selatan, yang mempunyai penduduk
Muslim terbesar.
Asia Tenggara dianggap sebagai
wilayah yang paling banyak pemeluk agama lslamnya.
Termasuk wilayah ini adalah pulau-pulau yang terletak di sebelah timur lndia sampai lautan Cina dan mencakup lndonesia, Malaysia dan Filipina.
Termasuk wilayah ini adalah pulau-pulau yang terletak di sebelah timur lndia sampai lautan Cina dan mencakup lndonesia, Malaysia dan Filipina.
Sejak abad pertama, kawasan laut
Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka sudah mempunyai kedudukan yang sangat
penting dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan internasional yang dapat
menghubungkan negeri-negeri di Asia Timur Jauh, Asia Tenggara dan Asia Barat.
Perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional yang terbentang jauh dari
Teluk Persia sampai China melalui Selat Malaka itu kelihatan sejalan pula
dengan muncul dan berkembangnya kekuasaan besar, yaitu China dibawah Dinasti
Tang (618-907), kerajaan Sriwijaya (abad ke-7-14), dan Dinasti Umayyah
(660-749).
Mulai abad ke-7 dan ke-8 (abad ke-1
dan ke-2 H), orang Muslim Persia dan Arab sudah turut serta dalam kegiatan
pelayaran dan perdagangan sampai ke negeri China. Pada masa pemerintahan Tai
Tsung (627-650) kaisar ke-2 dari Dinasti Tang, telah datang empat orang Muslim
dari jazirah Arabia. Yang pertama, bertempat di Canton (Guangzhou), yang
kedua menetap dikota Chow, yang ketiga dan keempat bermukim
di Coang Chow. Orang Muslim pertama, Sa’ad bin Abi Waqqas, adalah seorang
muballigh dan sahabat Nabi Muhammad SAW dalam sejarah Islam di China. Ia bukan
saja mendirikan masjid di Canto, yang disebut masjid Wa-Zhin-Zi (masjid
kenangan atas nabi).
Karena itu, sampai sekarang kaum Muslim China membanggakan
sejarah perkembangan Islam di negeri mereka, yang dibawa langsung oleh sahabat
dekat Nabi Muhammad SAW sendiri, sejak abad ke-7 dan sesudahnya. Makin banyak
orang Muslim berdatangan ke negeri China baik sebagai pedagang maupun mubaligh
yang secara khusus melakukan penyebaran Islam.
B.
Proses
Masuknya Islam di Asia Tenggara
Islam masuk ke Asia Tenggara disebarluaskan
melalui kegiatan kaum pedagang dan para sufi. Hal ini berbeda dengan daerah
Islam di Dunia lainnya yang disebarluaskan melalui penaklulan Arab dan Turki.
Islam masuk di Asia Tenggara dengan jalan damai, terbuka dan tanpa pemaksaan
sehingga Islam sangat mudah diterima masyarakat Asia Tenggara.
Mengenai kedatangan Islam di
negara-negara yang ada di Asia Tenggara hampir semuanya didahului oleh
interaksi antara masyarakat di wilayah kepulauan dengan para pedagang Arab,
India, Bengal, Cina, Gujarat, Iran, Yaman dan Arabia Selatan. Pada abad ke-5
sebelum Masehi Kepulauan Melayu telah menjadi tempat persinggahan para pedagang
yang berlayar ke Cina dan mereka telah menjalin hubungan dengan masyarakat
sekitar Pesisir. Kondisi semacam inilah yang dimanfaatkan para pedagang Muslim
yang singgah untuk menyebarkan Islam pada warga sekitar pesisir.
Menurut Uka Tjandra Sasmita, prorses
masukya Islam ke Asia Tenggara yang berkembang ada enam, yaitu:
1. Saluran perdagangan
2. Saluran perkawinan
3. Saluran Tasawuf
4. Saluran prendidikan
5. Saluran kesenian
6. Saluran politik
Untuk lebih memperjelas bagaimana proses masuknya agama Islam di
Asia Tenggara ini, ada 3 teori diharapkan dapat membantu memperjelas tentang
penerimaan Islam yang sebenarnya:
1. Menekankan peran kaum pedagang yang telah melembagakan diri
mereka di beberapa wilayah pesisir lndonesia, dan wilayah Asia Tenggara yang
lain yang kemudian melakukan asimilasi dengan jalan menikah dengan beberapa
keluarga penguasa lokal yang telah menyumbangkan peran diplomatik, dan
pengalaman lnternasional terhadap perusahaan perdagangan para penguasa pesisir.
Kelompok pertama yang memeluk agama lslam adalah dari penguasa lokal yang
berusaha menarik simpati lalu-lintas Muslim dan menjadi persekutuan dalam
bersaing menghadapi pedagang-pedagang Hindu dari Jawa. Beberapa tokoh di
wilayah pesisir tersebut menjadikan konversi ke agama lslam untuk melegitimasi
perlawanan mereka terhadap otoritas Majapahit dan untuk melepaskan diri dari
pemerintahan beberapa lmperium wilayah tengah Jawa.
2. Menekankan peran kaum misionari dari Gujarat, Bengal dan Arabia.
Kedatangan para sufi bukan hanya sebagai guru tetapi sekaligus juga sebagai
pedagang dan politisi yang memasuki
lingkungan istana para penguasa, perkampungan kaum pedagang, dan memasuki
perkampungan di wilayah pedalaman. Mereka mampu mengkomunikasikan visi agama
mereka dalam bentuknya, yang sesuai dengan keyakinan yang telah berkembang di
wilayah Asia Tenggara. Dengan demikian dimungkinkan bahwa masuknya Islam ke
Asia Tenggara agaknya tidak lepas dengan kultur daerah setempat.
3. Lebih menekankan makna lslam bagi masyarakat umum dari pada bagi
kalangan elite pemerintah. Islam telah menyumbang sebuah landasan ldeologis
bagi kebajikan lndividual, bagi solidaritas kaum tani dan komunitas pedagang,
dan bagi lntegrasi kelompok parochial yang lebih kecil menjadi masyarakat yang
lebih besar (Lapidus, 1999:720-721).
Agaknya ketiga teori tersebut bisa
jadi semuanya berlaku, sekalipun dalam kondisi yang berbeda antara satu daerah
dengan yang lainnya. Tidak terdapat proses tunggal atau sumber tunggal bagi
penyebaran lslam di Asia Tenggara, namun para pedagang dan kaum sufi
pengembara, pengaruh para murid, dan penyebaran berbagai sekolah agaknya
merupakan faktor penyebaran lslam yang sangat penting.
BAB II
BERDIRINYA ISLAM DI ASIA TENGGARA
1.
Perkembangan Keagamaan dan Peradaban di Malaysia
Islam merupakan agama resmi negara
federasi Malaysia. Hampir 50% dari 13 juta penduduknya adalah Muslim dan
sebagian besar diantaranya adalah orang melayu yang tinggal di Semenanjung
Malaysia. Adapun sisanya terdiri dari kelompok-kelompok etnik yang minoritas
yakni diantaranya Cina yang terdiri sekitar 38% dari penduduk Malaysia dan yang
lainnya India dan Arab (Esposito, 1990:55).
Keragaman masyarakat yang demikian
besar membawa dampak ketegangan dan konflik-konflik yang cenderung untuk
menambah identitas orang-orang melayu, terutama orang Cina yang lebih meningkat
pendidikan dan perokonomiannya dari pada orang muslimin yang lebih pedesaan.
Masyarakat Muslim di Malaysia
sebagian besar berlatar belakang pedesaan dan mayoritas mereka bekerja sebagai
petani. Mereka cenderung dalam kehidupan komunitas masyarakat kampung. Warga perkampungan Malaysia menjalankan
praktek-praktek keagamaan, meyakini terhadap roh-roh suci, tempat suci, dan
meyakini para wali yang dikeramatkan baik di kalangan Muslim maupun non Muslim.
Diantara warga Muslim dan non Muslim dapat hidup rukun tanpa ada permusuhan sehingga masyarakat di sana tentram dan
damai.
Perkembangan Islam di Malaysia telah
membawa peradaban-peradaban baru yang
diakui Dunia Islam. Sampai saat ini Muslim Malaysia dikenal sebagai
Muslim yang taat ibadahnya, kuat memegang hukum Islam dan juga kehidupan
beragamanya yang damai serta mencerminkan keIslaman agamanya baik di
perkampungan maupun dalam pemerintahan. Peranan seorang ulama di sana sangat
penting baik dalam segi dakwah dan dalam pengelolaan sekolah-sekolah.
Mengenai hasil peradaban Islam di
Malaysia ini juga tidak kalah dengan negara negara
Islam yang lain, seperti:
1. Adanya bangunan-bangunan masjid yang megah seperti Masjid
Ubaidiyah di Kuala Kancong.
2. Banyaknya bangunan-bangunan sekolah Islam.
3. Berlakunya hukum Islam pada pemerintahan Malaysia (hukum Islam
di sana mendapat kedudukan khusus karena dijadikan hukum negara).
2.
Perkembangan Keagamaan dan Peradaban di Muangthai
Islam di Muangthai adalah agama
minoritas hanya 4 %, selain itu masyarakat Muangthai menganut agama Budha dan
Hindu. Orang Melayu Muslim merupakan golongan minoritas terbesar ke-dua di
Muangthai, sesudah golongan Cina. Mereka tergolong Muslim Sunni dari madzab
Syafi’I yang merupakan madzab paling besar dikalangan umat Islam di Muangthai.
Ikatan-ikatan budayanya telah
membantu memupuk suatu perasaan keterasingan dikalangan mereka terhadap
lembaga-lembaga sosial, budaya, dan politik Muangthai. Sejak bangsa Muangthai
untuk pertama kali menyatakan daerah itu sebagai wilayah yang takluk kepada
kekuasaannya. Pada akhir abad ke-13 orang Melayu Muslim terus-menerus
memberontak terhadap kekuasaan Muangthai. Keinginan mereka adalah untuk menjadi
bagian dari Dunia budaya Melayu Muslim dengan pemerintahan otonom. Akhirnya
keinginan yang tak pernah mengendor itu pudar dalam sejarah, dan ciri-ciri
sosial ekonomi dan budaya mereka telah membuat mereka sadar bahwa mereka
hanyalah kelompok kecil yang mempunyai identitas terpisah dari bagian utama
penduduk Negeri Muangthai.
Masyarakat Muslim di Muangthai
sebagian besar berlatarbelakang pedesaan. Dan
Perkembangan Islam di Muangthai telah banyak membawa
peradaban-peradaban, misalnya :
1) Di Bangkok terdaftar sekitar 2000 bangunan masjid yang sangat
megah dan indah.
2) Golongan Tradisional dan golongan ortodoks telah menerbitkan
majalah Islam “Rabittah”.
3) Golongam modernis berhasil menerbitkan jurnal “Al Jihad”.
3. Sejarah Masuknya Islam di Filipina
Sejarah masuknya Islam masuk ke
wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao pada tahun 1380
M. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum dan Raja Baguinda
tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan
tersebut. Menurut catatan sejarah, Raja Baguinda adalah seorang pangeran dari
Minangkabau (Sumatra Barat). Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah
berhasil mendakwahkan Islam di kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas hasil
kerja kerasnya juga, akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari
Manguindanao memeluk Islam. Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini
mulai dirintis. Pada masa itu, sudah dikenal sistem pemerintahan dan peraturan
hukum yaitu Manguindanao Code of Law atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj
dan Fathu-i-Qareeb, Taqreebu-i-Intifa dan Mir-atu-Thullab. Manguindanao
kemudian menjadi seorang Datuk yang berkuasa di propinsi Davao di bagian
tenggara pulau Mindanao. Setelah itu, Islam disebarkan ke pulau Lanao dan
bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya. Sepanjang garis pantai
kepulauan Filipina semuanya berada dibawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam
yang bergelar Datuk atau Raja. Menurut ahli sejarah kata Manila (ibukota
Filipina sekarang) berasal dari kata Amanullah (negeri Allah yang aman).
Pendapat ini bisa jadi benar, mengingat kalimat tersebut banyak digunakan oleh
masyarakat sub-kontinen.
Secara umum, gambaran Islam masuk di
Philiphina melalui beberapa fase, dari penjajahan sampai masa modern
4. Sejarah Islam Masuk Kamboja
Abad 11 M
Beberapa sejarawan beranggapan bahwa
Islam sampai di kamboja pada abad ke-11 Masehi. Ketika itu kaum Muslimin
berperan penting dalam pemerintahan kerajaan Campa. Setelah kerajaan itu
runtuh, kaum Muslimin memisahkan diri. Sebagian sampai di Kamboja.
Muslim Cham yakin garis keturunan
mereka terhubung hingga ayah mertua Rasulullah SAW, Jahsy bin Ri’ab yang
merupakan ayah dari Zainab, salah satu istri Rasulullah. Hal itu dikaitkan
dengan arus kedatangan para sahabat di Indo-Cina pada 617-618 dari Abyssinia
melalui jalur laut.
Sebelum
kemenangan Khmer Merah pada 1975, komunitas Muslim Kamboja sebenarnya terdiri
dari kaum Cham dari bekas kerajaan Champa di Vietnam yang runtuh pada 1470 M.
Kaum Cham pada mulanya di islamkan oleh para pedagang dan pengrajin dari Arab
dan India. Kaum tersebut berimigrasi dalam jumlah besar ke Kamboja pada abad
ke-15.
Selain kaum
etnis Cham, Muslim Melayu dari Indonesia dan kawasan yang sekarang bernama
Malaysia juga memasuki Kamboja pada abad yang sama. Kaum Arab, kaum imigran dan
Anak Benua India, dan pribumi yang masuk Islam juga menjadi bagian dari
komunitas Muslim di Kamboja saat ini.
Mereka
tersebar di seluruh wilayah Kamboja, terutama di sepanjang Mekong, dekat Ibu
Kota Phnom Battambang. Muslim Kamboja rata-rata bekerja di bidang perdagangan,
pertanian, dan perikanan.
alam
Ensiklopedia Oxford: Dunia Islam Modern (2002) disebutkan, praktik dan
kepercayaan Muslim di Kamboja mirip dengan Muslim di Asia Tenggara ortodoks
lainnya. Mereka cenderung mengikuti praktik-praktik religius secara lebih
teratur dibanding Muslim Vietnam.
Pada 1975, sebelum pembantaian
Khmer Merah, terdapat antara 113 dan 120 masjid dengan sekitar 300 guru agama
dan 300 khatib. Banyak di antara guru-guru tersebut yang belajar di Malaysia
dan universitas-universitas Islam di Kairo, India atau Madinah.
Perkembangan
Islam dan komunitas Muslim di Kamboja tidak terlepas dari peran negara-negara
Islam lain. Keberadaan para Salafi dan Wahabi di sana misalnya, seperti ditulis
Bjorn Blengsli, adalah hasil dari pendanaan yang dilakukan Islamic Development
Bank yang berlokasi di Jeddah, Liga Muslim Dunia (Rabithah al-’Alam
al-Islamiy), serta sejumlah organisasi di Arab Saudi dan Kuwait yang mendanai
pendirian sekolah-sekolah Islam di Kamboja.
Alat penting
dalam menanamkan pemahaman agama di Kamboja adalah pengembangan sekolah.
Kebanyakan sekolah baru di sana adalah madrasah, pesantren dengan pembelajaran
yang lebih jauh dan mendalam tentang teks-teks Islam. Hingga 2005, jumlah
pemukiman Muslim di Kamboja telah mencapai 417 desa, dengan rata-rata tiga
hingga tujuh sekolah Islam di setiap desa.
5. Sejarah Islam di Myanmar
Islam di Myanmar termasuk dalam agama
minoritas, dengan persentase sekitar 4% dari jumlah penduduk di seluruh Myanmar.
Abad-abad awal
Agama Islam pertama kali tiba di
Myanmar
pada tahun 1055.
Para saudagar Arab yang beragama Islam ini mendarat di delta Sungai Ayeyarwady,
Semenanjung Tanintharyi, dan Daerah Rakhin. Kedatangan umat Islam ini dicatat
oleh orang-orang Eropa,
Cina dan Persia. Populasi
umat Islam yang ada di Myanmar saat ini terdiri dari keturunan Arab,
Persia,
Turki,
Moor, Pakistan
dan Melayu.
Selain itu, beberapa warga Myanmar juga menganut agama Islam seperti dari etnis
Rakhin dan Shan.
Populasi Islam di Myanmar
sempat meningkat pada masa penjajahan Britania Raya,
dikarenakan banyaknya umat Muslim India yang bermigrasi ke Myanmar.
Tapi, populasi umat Islam
semakin menurun ketika perjanjian India-Myanmar ditandatangani pada tahun 1941.
Sebagian
besar Muslim di Myanmar
bekerja sebagai penjelajah, pelaut, saudagar dan tentara. Beberapa diantaranya
juga bekerja sebagai penasehat politik Kerajaan Burma. Muslim Persia menemukan
Myanmar setelah menjelajahi daerah selatan Cina. Koloni muslim Persia di
Myanmar ini tercatat di buku Chronicles of China di 860. Umat muslim asli
Myanmar disebut Pathi dan muslim Cina disebut Panthay. Konon, nama Panthay berasal dari
kata Parsi. Kemudian, komunitas muslim bertambah di daerah Pegu, Tenasserim,
dan Pathein. Tapi komunitas muslim ini mulai berkurang seiring dengan
bertambahnya populasi asli Myanmar. Pada abad ke-19, daerah Pathein dikuasai
oleh tiga raja
muslim India.
Pada zaman
Raja Bagan yaitu Narathihpate (1255-1286),
pasukan muslim Tatar
pimpinan Kublai Khan
dan menguasai Nga Saung Chan. Kemudian, pasukan Kublai Khan ini menyerang
daerah Kerajaan Bagan. Selama peperangan ini, Kolonel Nasrudin juga menguasai
daerah Bamau.
6. Islam
Masuk di Brunai Darrussalam
Diperkirakan
Islam di Brunei datang pada tahun 977 melalui jalur Timur Asteng oleh
pedagang-pedagang dari negeri Cina. Catatan bersejarah yang membuktikan
penyebaran Islam di Brunei adalah Batu Tarsilah. Catatan pada batu ini
menggunakan bahasa Melayu dan huruf Arab. Dengan penemuan itu, membuktikan
adanya pedagang Arab yang datang ke Brunei dan sekitar Borneo untuk menyebarkan
dakwah Islam.
Silsilah
kerajaan Brunei terdapat pada Batu Tarsilah yang menuliskan Silsilah Raja-Raja
Brunei yang dimulai dari Awang Alak Betatar, raja yang pertama kali memeluk
agama Islam (1368) sampai kepada Sultan Muhammad Tajuddin (Sultan Brunei ke-19,
memerintah antara 1795-1804 dan 1804-1807).
Replika stupa
yang dapat ditemukan di Pusat Sejarah Brunei menjelaskan bahwa agama
Hindu-Buddha dahulu pernah dianut oleh penduduk Brunei. Sebab telah menjadi
kebiasaan dari para musafir agama tersebut, apabila mereka sampai di suatu
tempat, mereka akan mendirikan stupa sebagai tanda serta pemberitahuan mengenai
kedatangan mereka untuk mengembangkan agama tersebut di tempat itu. Replika
batu nisan P’u Kung Chih Mu, batu nisan Rokayah binti Sultan Abdul Majid ibni
Hasan ibni Muhammad Shah Al-Sultan, dan batu nisan Sayid Alwi Ba-Faqih
(Mufaqih) pula menggambarkan mengenai kedatangan agama Islam di Brunei yang
dibawa oleh musafir, pedagang dan mubaligh-mubaliqh Islam, sehingga agama Islam
itu berpengaruh dan mendapat tempat baik penduduk lokal maupun keluarga kerajaan
Islam menjadi agama resmi negara semenjak Raja Awang Alak Betatar masuk Islam
(1406-1402).
Awang Alak
Betatar ialah Raja Brunei yang pertama memeluk Islam dengan gelar Paduka Seri
Sultan Muhammad Shah. Dia terkenal sebagai pengasas kerajaan Islam di Brunei
dan Borneo. Pedagang dari China yang pernah ke Brunei merakamkan beliau sebagai
Ma-Ha-Mo-Sha. Beliau meninggal dunia pada 1402.
Awang Alak
menganut Islam dari Syarif Ali. Dikatakan, Syarif Ali adalah keturunan Ahlul
Bait yang bersambung dengan keluarga Rasulullah melalui cucu Baginda,Saidina
Hassan. Pendekatan dakwah yang dilakukan Syarif Ali tidak sekadar menarik hati
Awang Alak, dakwahnya menambat hati rakyat Brunei. Dengan kebaikan dan
sumbangan besarnya dalam dakwah Islam di Brunei, beliau dinikahkan dengan
puteri Sultan Muhammad Shah. Setelah itu, beliau dilantik menjadi Sultan Brunei
atas persetujuan pembesar dan rakyat setempat.
Sebagai
pemimpin dan ulama, Syarif Ali gigih mendaulatkan agama Islam, diantaranya
membina masjid dan melaksanakan hukum Islam dalam pentadbiran negara. Kegiatan
membina masjid ini dijadikan pusat kegiatan keagamaan dan penyebaran Islam.
Setelah tujuh tahun memerintah Brunei, pada 1432, Syarif Ali meninggal dunia
dan dimakamkan di Makam Diraja Brunei.
Perkembangan
Islam semakin maju setelah pusat penyebaran dan kebudayaan Islam Malaka jatuh
ke tangan Portugis (1511), sehingga banyak ahli agama Islam pindah ke Brunei.
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tersebut telah menyebabkan Sultan Brunei
mengambil alih kepimpinan Islam dari Malaka, sehingga Kesultanan Brunei
mencapai zaman kegemilangannya dari abad ke-15 hingga abad ke-17 sewaktu
memperluas kekuaaannya ke seluruh pulau Borneo dan ke Filipina di sebelah
utaranya.
Kemajuan dan
perkembangan Islam semakin nyata pada masa pemerintahan Sultan ke-5, yaitu
Sultan Bolkiah (1485 – 1524), yang wilayahnya meliputi Suluk, Selandung,
seluruh pulau Kalimantan (Borneo), kepulauan Sulu, Kepulauan Balabac, Pulau
Banggi, Pulau Balambangan, Matani dan Utara Pulau Pahlawan sampai ke Manila.
Pada masa
sultan ke-9, yaitu Sultan Hassan (1605-1619), dilakukan beberapa hal yang
menyangkut tata pemerintahan, pertama, menyusun Institusi-institusi
pemerintahan agama, karena agama memainkan peranan penting dalam memandu negara
Brunei kearah kesejahteraan, kedua, menyusun adat istiadat yang dipakai dalam
semua upacara, baik suka maupun duka.
Di samping
menciptakan atribut kebesaran raja dan perhiasan raja. Ketiga, memuatkan UU
Islam yaitu Hukum Qanun yang mengandung 46 pasal dan 6 bagian. Aturan adat istiadat
kerajaan dan istana tersebut masih kekal hingga sekarang.
Pada tahun
1658 Sultan Brunei menghadiahkan kawasan timur laut Kalimantan kepada Sultan
Sulu di Filipina Selatan sebagai penghargaan terhadap Sultan Sulu dalam
menyelesaikan perang saudara di antara Sultan Abdul Mubin dengan Pengeran
Mohidin. Persengketaan dalam kerajaan Brunei merupakan satu faktor yang
menyebabkan kejatuhan kerajaan tersebut, yang bersumber dari pergolakan dalam
disebabkan perebutan kuasa antara ahli waris kerajaan, juga disebabkan
timbulnya pengaruh kuasa penjajah Eropa yang menggugat corak perdagangan
tradisi, serta memusnahkan asas ekonomi Brunei dan kesultanan Asia Tenggara
yang lain.
BAB III
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
A.
Masa Nabi Muhammad (610 M – 632 M).
Agama islam sebagai “induk” hukum islam muncul semenanjung Arab.
Daerah yang sangat panas, penduduknya selalu berpindah-pindah dan alam yang
begitu keras memberntuk manusia-manusia yang individualistis serta hidup dalam
klen-klen yang disusun berdasarkan berdasarkan garis Patrilineal, yang saling
bertentangan. Ikatan anggota klen berdasarkan pertalian darah dan pertalian
adat. Susunan klen yang demikian menuntut kesetiaan mutlak para anggotanya.
Oleh karena itu Nabi Muhammad setelah pindah atau hijrah dari Mekah
ke Madinah,dianggap telah memutuskan hubungan dengan klen yang asli, karena itu
pula diperangi oleh anggota klen asalnya. Pada masa ini, kedudukan Nabi
Muhammad sangat penting, terutama bagi ummat islam. Pengakuan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa tidaklah lengkap bagi seorang muslim tanpa pengakuan terhadap
kerasulan Nabi Muhammad.
Konsekuensinya ummat islam harus mengikuti firman–firman Tuhan yang
terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad yang dicatat dalam
kitab-kitab hadist. Melalui wahyuNya Allah menegaskan posisi Muhammad dalam
rangka agama islam, yaitu :
1. Kami
mengutus Nabi Muhammad sebagai untuk menjadi rahmat bagi alam semesta
(Q.s.21:107).
2. Hai orang-orang yang beriman, ikutilah Allah dan ikutilah
RasulNya (Q.s.4:59).
3. Barang siapa yang taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah
(Q.s.4:80).
4. Pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik
(Q.s.33:21).
Waktu Nabi Muhammad masih hidup tugas untuk mengembangkan dan
menafsirkan hukum itu terletak pada diri beliau sendiri, melalui ucapan,
perbuatan, sikap diam yang disebut sunnah. Dengan mempergunakan Al Qur’an
sebagai norma dasar Nabi Muhammad SAW memecahakan setiap masalah yang timbul
pada masanya dengan sebaik-baiknya.
B.
Masa Khulafaur Rasyidin ( 632 M – 662 M ).
Dengan wafatnya nabi Muhammad, maka berhentilah wahyu yang turun
dan demikian halnya dengan sunnah. Kedudukan Nabi Muhammad sebagi ututsan Tuhan
tidak mungkin tegantikan, tetapi tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam
dan kepala Negara harus dilanjutkan oleh seorang khalifah dari kalangan sahabat
Nabi.
Tugas utama seorang khalifah adalah menjaga kesatuan umat dan
pertahanan Negara. Memiliki hak memaklumkan perang dan membangun tentara untuk
menajaga keamanan dan batas Negara, menegakkan keadilan dan kebenaran,berusaha
agar semua lembaga Negara memisahakan antara yang baik dan tidak baik, melarang
hal-hal yang tercela menurut Al Qur’an, mengawaasi jalannya pemerintahan,
menarik pajak sebagai sumber keuangan Negara dan tugas pemerintahan lainnya.
Khalifah yang pertama dipilih yaitu Abu Bakar Siddiq. Masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin sangat penting dilihat dari perkembangan hukum
Islam karena dijadikan model atau contoh digenerasi-generasi berikutnya.
Pada masa pemerintahan Abu Bakar Siddiq dibentuk panitia khusus
yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Qur’an yang telah ditulis dijaman
Nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah kurma dan tulang-tulang unta dan
menghimpunnya daam satu naskah. Khalifah kedua yaitu Umar Bin Khatab yang melanjutkan
usaha Abu Bakar meluaskan daerah
Islam sampai ke Palestina, Sirya, Irak dan Persia. Contoh ijthad
Umar adalah menurut (Q.s.5:38) orang yang mencuri, diancam dengan hukuman
potong tangan. Dimasa pemerintahan Umar terjadi kelaparan dalam masyarakat disemenanjung
Arabia, dalam keadaan itu ancaman terhadap pencuri tersebut tidak dilaksanakan
oleh khalifah Umar berdasarkan pertimbangan keadaan darurat dan kemaslahatan
jiwa masyarakat. Selanjutnya pada pemilihan khalifah,
Usman menggantikan Umar. Pada masa pemerintahan ini terjadi
nepotisme karena kelemahannya. Dimasa pemerintahanya perluasan daerah Islam
diteruskan ke barat sampai ke Maroko, ke timur menuju India dan keutara
bergerak keraha konstantinopel. Usman menyalin dan membuat Al Qur’an standar yang
disebut modifikasi al Qur’an. Setelah Usman meninggal dunia yang mengantikan
adalah Ali Bin Abi Thalib yang merupakan menantu dan keponakan Nabi Muhammad.
Semasa pemerintahanya Ali tidak dapat berbuat banyak untuk
mengembangkan hukum Islam karena keadaan Negara tidak stabil. Tumbuh
bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam, yang bermuara pada
perang saudara yang kemudian menimbulkan kelompok-kelompok.
C.
Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (Abad VII-X M)
Dimasa ini lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan
merumuskan garis-garis suci islam, muncul berbagai teori yang masih dianut dan
digunakan oleh umat islam sampai sekarang. Banyak faktor yang memungkinkan
pembinaan dan pengembangan pada periode ini, yaitu :
a. Wilayah islam sudah sangat luas, tinggal berbagai suku bangsa
dengan asal usul, adat istiadat dan berbagai kepentingan yang berbeda. Untuk
dapat menentukan itu maka ditentukanlah kaidah atau norma bagi suatu perbuatan
tertentu guna memecahkan suatu masalah yang timbul dalam masyarakat.
b. Telah ada karya-karya tentang hukum yang digunakan sebagai bahan
untuk membangun serta mengembangkan hukum fiqih Islam.
c. Telah ada para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai
masalah hukum dalam masyarakat. Selain Perkembangan pemikiran hukum pada
periode ini lahir penilaian mengenai baik buruknya mengenai perbuatan yang
dilakukan oleh manusia yang terkenal dengan al-ahkam al-khamsah.
D.
Masa Kelesuan Pemikiran (Abad X-XI-XIX M).
Pada masa ini ahli hukum tidak lagi menggali hukum fiqih Islam dari
sumbernya yang asli tapi hanya sekedar mengikuti pendapat-pendapat yang telah
ada dalam mashabnya masing-masing. Yang menjadi ciri umum pemikiran hukum dalam
masa ini adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami
prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat pada Al Qur’an dan sunah,
tetapi pikirannya ditumpukan pada pemahaman perkataan-perkataan,
pikiran-pikiran hukum para imamnya saja.
Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran atau kelesuan hukum islam
dimasa itu adalah ;
1. Kesatuan wilayah islam yang luas telah retak dengan munculnya
beberapa Negara baru.
2. Ketidakstabilan politik.
3. Pecahnya kesatuan kenegaraan atau pemerintahan menyebabkan
merosotnya kewibawaan pengendalian perkembangan hukum.
4. Gejala kelesuan berfikir timbul dimana-mana dengan demikian
perkembangan hukum Islam pada periode ini menjadi lesu.
E. Masa
Kebangkitan Kembali ( Abad XIX sampai sekarang ).
Setelah mengalami kelesuan dalam beberapa abad lamanya, pemikiran
Islam telah bangkit kembali, timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid
tersebut yang telah membawa kemunduran hukum islam. Pada abad ke XIV telah
timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dalam perkembangan
hukum Islam yang bernama Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnu Qayyim al Jaujiyyah
walau pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke XVII oleh Muhammad Ibnu
Abdul Wahab yang terkenal dengan gerakan baru di antara gerakan-gerakan para
ahli hukum yang menyarankan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Gerakan ini
oleh Prof. H. Muhammad Daud Ali, SH dalam bukunya. Hukum Islam, disebutkan
sebagai gerakan Salaf (Salafiah) yang ingin kembali kepada kemurnian ajaran
Islam di zaman salaf (permulaan), generasi awal dahulu.
Sebetulnya kalau kita lihat dalam catatan sejarah perkembangan
hukum Islam, sesungguhnya pada masa kemunduran itu sendiri telah telah muncul
beberapa ahli yang ingin tetap melakukan ijtihad, untuk menampung dan mengatasi
persoalan-persoalan dan perkembangan masyarakat. Sebagai contoh pada abad ke 14
telah lahir seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara segar dan baru
dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Mujtahid besar tersebut adalah Ibnu
Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah (1292-1356). Pola
pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke 17 oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab
(1703-1787) yang terkenal dengan gerakan Wahabi yang mempunyai pengaruh pada
gerakan Padri di Minangkabau (Indonesia).
Hanya saja barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka
ijtihadkan khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada
dunia Islam sebagai akibat dari kondisi dan situasi dunia Islam yang berada
dalam kebekuan, kemunduran dan bahkan berada dalam cengkeraman orang lain,
ditambah lagi dengan sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti
percetakan, media massa dan elektronik serta yang lain sebagainya tidak ada,
padahal sesungguhnya ijtihad-ijtihad yang mereka hasilkan sangat berilian,
menggelitik dan sangat berpengaruh bagi orang yang mendalaminya secara serius.
Ijtihad-ijtihad besar yang dilakukan oleh kedua dan bahkan ketiga
orang tersebut di atas, dilanjutkan kemudian oleh Jamaluddin Al-Afgani
(1839-1897) terutama di lapangan politik. Jamaluddin Al-Afgani inilah yang
memasyhurkan ayat Al-Qur’an : Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu
bangsa kalau bangsa itu sendiri tidak (terlebih dahulu) berusaha mengubah
nasibnya sendiri (Q.S. Ar-Ra’du (13) : 11). Ayat ini dipakainya untuk
menggerakan kebangkitan ummat Islam yang pada umumnya dijajah oleh bangsa Barat
pada waktu itu. Al-Afgani menilai bahwa kemunduran ummat Islam itu pada
dasarnya adalah disebabkan penjajahan Barat.
Oleh karena penyebab utama dari kemunduran itu adalah penjajahan
Barat terhadap dunia Islam, maka Al-Afgani berpendapat bahwa agar ummat Islam
dapat maju kembali, maka penyebab utamanya itu yang dalam hal ini adalah
penjajahan Barat harus dilenyapkan terlebih dahulu. Untuk itulah maka Al-Afgani
menelorkan ide monumentalnya yang sangat terkenal sampai dengan saat ini, yaitu
Pan Islamisme, artinya persatuan seluruh ummat Islam.
Persoalannya sekarang adalah apakah pemikiran Al-Afgani tentang Pan
Islamisme ini masih relevan sampai dengan saat ini ataukah tidak. Artinya
apakah pemikiran Al-Afgani ini masih cocok untuk diterapkan dalam dunia Islam
yang nota bene nasionalisme masing-masing negara sudah menguat dan mengental
ditambah tidak seluruhnya negara-negara muslim negaranya berdasarkan Islam.
Penulis menilai bahwa ide yang dilontarkan oleh Al-Afgani ini adalah relevan
pada masanya, namun demikian masih perlu diterjemahkan ulang (diperbaharui
substansinya) pada masa kini. Sebab menurut penulis persatuan dunia Islam
sebagaimana layaknya sebuah negara Islam Internasional tidak memungkinkan untuk
dilaksanakan lagi, tetapi persatuan ummat Islam dalam arti bersatu untuk
memberantas pengaruh negatif dari negara-negara Barat dan adanya kesepakatan
bersama untuk saling bantu membantu dalam memberantas kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan adalah sesuatu hal yang mutlak dan sangat diperlukan oleh dunia
Islam saat ini.
Cita-cita ataupun ide besar Al-Afgani tersebut mempengaruhi
pemikiran Muhammad Abduh (1849-1905) yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya
Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Pikiran-pikiran Muhammad Abduh dan Muhammad
Rasyid Ridha mempengaruhi pemikiran ummat Islam di seluruh dunia. Di Indonesia,
pikiran-pikiran Abduh ini sangat kental diikuti oleh antara lain Gerakan Sosial
dan Pendidikan Muhammadiyah yang didirikan oleh K. H. Ahmad Dahlan di
Yogyakarta tahun 1912. Hanya saja pikiran-pikiran Al-Afgani yanag diikuti oleh
Gerakan Sosial dan Pendidikan Muhammadiyah itu lebih banyak pada substansi
daripada konsep Pan Islamisme, bukan pada pendirian negara islam
internasionalnya.
PENUTUP
Sebagai penutup akhir bahwa Asia Tenggara, merupakan Negeri tempat
islam baru mulai berkembang, yang merupakan daerah rempah-rempah terkenal pada
masa itu, justru menjadi ajang perebutan negara-negara Eropa. Kekuatan Eropa
malah lebih awal menancapkan kekuasaannya di negeri Asia Tenggara. Hal itu
mungkin karena, dibandingkan dengan Mughal, kerajaan-kerajaan Islam di Asia
Tenggara lebih lemah sehingga dengan mudah dapat ditaklukkan.
Kerajaan islam
Malaka yang berdiri pada awal abad ke-15 M di semenanjung Malaya yang strategis
dan merupakan kerajaan Islam kedua di Asia tenggara setelah Samudra Pasai,ditaklukkan
portugis tahun 1511 M. Sejak itu, peperangan-peperangan antara potugis melawan
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia seringkali berkobar. Pada tahun 1521 M,
spanyol datang ke maluku dengan tujuan dagang. Spanyol berhasil menguasai
Filipina, termasuk di dalamnya beberapa kerajaan Islam, seperti Kesultanan
Manguindanao, Kesultanan Buayan, dan Kesultanan Sulu.
Setelah Inggris
datang ke Asia Tenggara, ia segera menjadi kekuatan yang cukup dominan,
menyaingi kekuatan Belanda. Kekuasaan inggris tertancap di semenanjung Malaya,
termasuk Singapura sekarang, dan Kalimantan Barat, termasuk Brunai. Di Asia
tenggara kekuasaan Politik negara-negara Eropa itu berlanjut terus sampai
pertengahan abad ke-20 M, ketika negeri-negeri jajahan tersebut memerdekakan
diri dari kekuasaan asing.
Tumbuhnya Hukum Islam dari masa Nabi Muhammad pada tahun 610-632 M,
sehingga di teruskan pada masa khulafaur Rasidhin pada tahun: 632 – 662 M,
sampai masa kembangkitan kembali yakni pada abad XIX sampai sekarang. Dari
beberapa abad diatas sedikit banyaknya Hukum Islam di aplikasikan dalam sebuah
hukum Negara di Asia tenggara.
Demikianlah
paparan yang bisa kami simpulkan, demi kesempurnaan makalah ini kami juga tidak
lupa dan sangat menyarankan buah kritik yang membangun dari teman atau
saudara untuk kekeliruan dan kesalahan
penulisan, peletakkan kalimat atau huruf yang mungkin kami tidak sengaja, agar
kami bisa merevisi pada penyusunan makalah berikutnya.Atas segala atensi dan
bantuannya, kami sangat berterimakasih sekali sehingga bisa menyelesaikan
makalah ini sampai pembahasan yang sesuai dijadwalkan. Wassalam.................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar