BAB I
Ruang Lingkup Pengertian Syari’at
Kata syariat Islam merupakan pengindonesiaan
dari kata Arab, yakni as-syarî`ah al-Islâmiyyah. Secara
etimologis, kata as-syarî’ah mempunyai konotasi masyra`ah
al-mâ’ (sumber air minum). Orang Arab tidak menyebut
sumber tersebut dengan sebutan syarî`ah kecuali jika sumber tersebut
airnya berlimpah dan tidak pernah kering. Dalam bahasa Arab, syara`a
berarti nahaja (menempuh),
awdhaha (menjelaskan), dan bayyana al-masâlik (menunjukkan
jalan). Syara`a
lahum-yasyra`u-syar`an berarti sanna (menetapkan).Syariat dapat
juga berarti madzhab (mazhab) dan tharîqah
mustaqîmah (jalan lurus).
Secara terminologi, definisi syariah adalah peraturan-peraturan dan
hukum yang telah digariskan oleh Allah,
atau telah digariskan pokok-pokoknya dan dibebankan kepada kaum muslimin supaya mematuhinya, supaya syariah ini diambil oleh orang Islam sebagai penghubung di antaranya dengan Allah dan di antaranya dengan manusia.[1]
atau telah digariskan pokok-pokoknya dan dibebankan kepada kaum muslimin supaya mematuhinya, supaya syariah ini diambil oleh orang Islam sebagai penghubung di antaranya dengan Allah dan di antaranya dengan manusia.[1]
Berbicara
mengenai syari'ah, terkadang orang-orang khususnya orang awam sering salah
menafsirkan. Mereka menafsirkan syari'ah itu sama dengan fikih. Fikih merupakan
pemahaman ulama atau seseorang terhadap Syari'ah sedangkan Syari'ah adalah
peraturan yang bersumber dari Allah. Sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Jaatsiyah (45):
18:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ
الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
"Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
(peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui."
Semua syari’at
Allah itu terkumpul dalam al-Qur’an dan peraturannya beragam, tidak hanya
sebatas pada hukum yang mewajibkan pelaksanaan interaksi dalam masyarakat,
tetapi juga mengandung hukum-hukum yang khusus tentang akidah, akhlak, dan
sebagainya.Semua peraturan itu untuk menyempurnakan kepribadian seorang muslim,
mensinergiakn hukum-hukum yang berbeda dalam membentuk masyarakat yang utama,
dan mempersiapkan pribadi muslim yang ideal, serta mendidik umat dengan
pendidikan yang tinggi, agar mereka berhak mendapatkan derajat di mana Allah
menyebut mereka sebagai umat terbaik yang diutus bagi manusia.
Dengan definisi syariat Islam baik secara etimologis maupun
terminologis syar`î di atas, tampak jelas bahwa ruang lingkup syariat
Islam adalah seluruh ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan akidah maupun
peraturan atau sistem kehidupan yang menjadi turunannya.
BAB II
Muhammad Penyempurna Syari’at Sebelumnya
Sebelum
kerasulan Muhammad SAW, Allah SWT menurunkan risalahnya kepada Nabi-Nya hanya
diperuntukkan bagi kaumnya saja tidak sekaligus utk semua umat. Isa AS utusan Allah sebelum Muhammad diutus hanya utk kaumnya yaitu
Bani Israel. Begitu juga nabi-nabi yg datang sebelum kerasulan Isa AS mereka
hanya diutus utk kaumnya saja. Dengan demikian risalah suci yg dibawa nabi-nabi
sebelum Muhammad SAW adalah
risalah yg hanya diperuntukkan bagi kaumnya saja dan pada zaman itu saja. Namun
demikian risalah-risalah yg Allah turunkan melalui nabi-nabi-Nya itu adalah
risalah yg satu yaitu risalah yg kelak pada nabi atau utusan terakhir akan
disempurnakan dan menjadi pedoman hidup bagi seluruh manusia. Syariat di zaman
Musa AS berbeda dgn syariat di zaman Isa AS.
Dengan
diutusnya Muhammad sebagai rasul yg terakhir Allah SWT hendak menyempurnakan
ad-dien yg dibawa oleh para Rasul yaitu
Islam. Allah SWT menyempurnakan agama Islam dgn menurunkan Alquran kepada
Rasulullah SAW. Alquran merupakan mukjizat Rasulullah SAW yg terbesar yg
merupakan pedoman hidup yg sempurna dari Allah SWT. Allah SWT berfirman yg
artinya “Pada hari ini telah Kusempurnakan utk kamu agamamu dan telah
Kucukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
. Karena Islam adalah
agama yg telah sempurna dan diperuntukkan bagi semua umat manusia sejak
kerasulan Muhammad SAW maka kita tidak dibenarkan meyakini berlakunya
syariat-syariat lain yg bertentangan dgn syariat Muhammad SAW.
BAB III PEMBAHASAN
“SYAR’A MAN QABLANA”
Syar’u man qalana berarti syari’at sebelum kita, para ahli Ushul
fiqh membahas persoalan syari’at sebelum islam dlam kaitannya dengan syari’at
islam, apakah hukum-hukum yang ada bagi umat sebelum islam menjadi hukum juga
bagi umat islam setelah keNabian Muhammad.
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa seluruh syari’at
yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan
secara umum oleh syari’at islam. Mereka juga sepakat mengatakan bahwa
pembatalan syari’at-syari’at sebelum Islam itu tidak secara menyeluruh dan
rinci, karena masih banya hukum-hukum syari’at sebelum Islam yang masih berlaku
dalam syari’at Islam, seperti beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang
melakukan zina, qishash dan hukuman bagi tindak pidana pencurian.
Sesungguhnya
syari’at samawi pada asalnya adalah satu Hal ini sesuai dengan firman Allah: (al-Syura:13)………………..
. شَرَعَ
لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحاً وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ
وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ
اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ
13. Dia telah
mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu
seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya).
Karena
yang menurunkan syari’at samawi itu satu yaitu Allah SWT, maka syari’at
tersebut pada dasarnya/intinya adalah satu, meskipun kemudian Allah SWT. Telah
mengharamkan beberapa hal kepada sebagian kaum. Yahudi diharamkan untuk memakan
binatang-binatang yang berkuku,lemak sapi dan kambing.
Sebagaimana
firman Allah SWT dalam surat al-An’am;146).
. وَعَلَى الَّذِينَ هَادُواْ
حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ
شُحُومَهُمَا إِلاَّ مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا
اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ذَلِكَ جَزَيْنَاهُم بِبَغْيِهِمْ وِإِنَّا لَصَادِقُونَ
146.
Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan
dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu,
selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan
usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka
disebabkan kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar.
Juga ditetapkan bahwa dosa tidak bisa dimaafkan kecuali dengan
membnuh diri dan pakaian yang kena najis tidak bisa jadi suci dengan di cuci
kecuali dengan dipotong kainnya. Selain itu juga bahwa bentuk dan cara-cara
ibadah (hubungan manusia dengan Allah berbeda dalam perinciannya meskipun
intinya sama yaitu menyembah Tuhan Yang Maha Esa (Tawhidullah).
Oleh karena itu, terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat
sebelum lahirnya syari’at islam. Dengan datangnya syari’at Islam, tidak semua hukum
tersebut dihapuskan; sebagian hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku,
seperti qishas. Hukum tersebut, dikalangan umat Islam, dikenal sebagai syar’a
man qablana, yang secara harfiah berarti “syariat umat sebelum kita”.
Di dalam menanggapi berlakunya syar’a man qoblana, ada beberapa hal
yang disepakati ulama. Pertama, bahwa hukum-hukum syara’ yang ditetapkan
bagi umat sebelum kita tidaklah dianggap ada tanpa melalui sumber-sumber hukum
Islam. Kedua, segala sesuatu hukum yang dihapuskan dengan syari’ah
Islamiyyah, otomatis hukum tersebut tidak berlaku bagi kita. Dengan demikian,
hukum-hukum yang dikhususkan untuk sesuatu umat tertentu, tidak berlaku bagi
umat Islam seperti keharaman beberapa makanan/daging bagi Bani Israiel. Ketiga,
segala yang ditetapkan dengan nash-nash yang dihargai oleh Islam seperti juga
ditetapkan oleh agama-agama samawi yang telah lalu, tetap berlaku bagi umat
Islam, karena ketetapan nash Islam itu tadi, bukan karena di tetapkan-Nya bagi
umat yang telah lalu seperti:.... (al-baqorah:183).................
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن
قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa
albaqarah,183).,
Sedangkan hukum umat sebelum kita yang tidak disepakati oleh ulama’
tentang nilai atau kekuatannya adalah hukum-hukum samawi yang telah lalu yang
tidak ada dalil yang menetapkannya, ataupun menolaknya, di dalam syari’at
Islamiyyah seperti firman Allah SWT:....(al-maidah:45).....
. وَكَتَبْنَا
عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأَنفَ
بِالأَنفِ وَالأُذُنَ بِالأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ
فَمَن تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ
اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
45. Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya.
Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi)
penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Menurut sebagian ulama’ulama Hanafiyah, Malikyyah, Syafi’iyah dan
Hanbaliyah, hukum-hukum yang semacam ini menjadi hukum pula bagi kita, dan
merupakan dasar yang berdiri sendiri, karena dasarnya adalah kesatuan syari’ah
samawi seperti dinyatakan di dalam firman Allah:.....(al-Syura’).....
Apabila syari’at itu asalnya satu, maka tetap berlaku untuk setiap
syari’at yang datang kemudian, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa
syari’at itu dikhususkan untuk suatu umat tertentu atau di hapuskan oleh
syari’at Islamiyah apabila tidak ada dalildalil ini maka hukum tersebut tetap
berlaku bagi kita.
Disamping itu, banyak nash-nash yang mengharuskan mencontoh para
Anbiya yang telah lalu, misalnya saja firman Allah SWT: ....(al- An’am:90)...
. أُوْلَـئِكَ
الَّذِينَ هَدَى اللّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ قُل لاَّ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ
أَجْراً إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ
90. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah
kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quraan)." Al-Quraan itu tidak lain
hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.
Juga di dalam ayat lain:......(al-Nahl:123)......
ثُمَّ
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَمَا كَانَ
مِنَ الْمُشْرِكِينَ
123. Kemudian Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah
dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Oleh karena itu, ulama-ulama Hanafiyyah menetapkan hukuman Qishash
kepada seorang muslim yang membunuh kafir dzimi. Sebagian ulama lain menetapkan
bahwa dalam hal hukum semacam ini tidaklah menjadi hukum bagi kita, karena
perincian syari’at yang telah lalu tidaklah merupakan hukum yang bersifat
umum yang mashlahah untuk setiap waktu
dan tempat, hanya syari’at Islamiyyah yang berlaku bagi setiap waktu dan tempat
dibawa oleh Rasul dan Nabi terakhir Muhammad SAW. Hal ini dikuatkan oleh firman
Allah SWT:...(al-Baqarah:143)...
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ
الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتَ
عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَى
عَقِبَيْهِ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللّهُ وَمَا
كَانَ اللّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللّهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُوفٌ
رَّحِيمٌ١٤٣.
143.
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan
kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya
nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Jadi syari’at Islamiyyah menjdi syahid atas berlakunya atau tidak
berlakunya syari’at yang telah lalu; juga Nabi telah bersabda:...
Aratinya:
“Nabi telah diutus secara khusus kepada kaumnya dan saya diutus kepada manusia
seluruhnya”...
Sedangkan
yang dimaksud dengan mengambil contoh (al-iftidzaa’) dan kesatuan syari’ah
adalah didalam soal –soal ketauhidan dan keimanan kepada Malaikat. Akhir dan
Hari kiamat serta Hari kebangkitan kembali; yang lebih kuat adalah pendapat
yang pertama, karena:
a.
Perbedaan
tersebut hanyalah perbedaan yang sifatnya teoritis sebab secara praktis menurut
penuturan Ustadz Syekh muhammad al-Khudlariy, ulama sepakat memakai ayat:
......(al-Maidah:45)... sebagai dasar wajib qishash di dalam syari’at Islamiyyah.
b.
Berdasarkan
penelitian Ulama ayat-ayat yang bersangkutan dengan umat sebelum kita hanya ada
dua type. Pertama, ayat –ayat ayang menetapkan bahwa hukum tersebut khusus
untuk umat yang sebelum kita seperti ayat : yang Artinya: “Dan kepada
orang-orang Yahudi, Kami Haramkan segala binatang yang berkuku, dan dari sapi
dan domba, Kami haramkan atas mereka lemaknya”.
Kedua, ayat-ayat yang menetapkan bahwa hukum hukum yang sifatnya
tetap berlaku untuk setiap zaman, semacam:.........(al-maidah:45)
٤٥.
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ
النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأَنفَ بِالأَنفِ وَالأُذُنَ
بِالأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِ
فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ
هُمُ الظَّالِمُونَ
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya.
Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi)
penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Jadi, apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa hukum tersebut untuk
umat tertentu, maka hukum tadi tidak berlaku bagi kita dengan kesepakatan para
ulama, sedangkan hukum yang menentukan keumuman adalah tetap menjadi hujjah
karena keumumannya.
c.
Syari’at
islamiyyah hanya menghapuskan hukum umat sebelumnya di dalam hal yang
bertentangan dengan syari’at Islamiyyah itu sendiri, sedangkan hukum-hukum umat
yang telah lalu yang tidak dihapus oleh syari’at Islamiyyah tetap berlaku
merupakan hukum Illahi yang telah disampaikan oleh Rasulullah kepada kita dan karena al-Qur’an sendiri membenarkan baik
itu Taurat atau Injil, selama tidak diganti dan di hapus hukumnya oleh
al-Quran, maka berarti diakui benarnya buat kita dan apa yang kita ikuti itu
pun sudah tentu apa yang dibicarakan oleh Al- Qur’an yang pada hakikatnya
justru kita mengikuti al-Qur’an atau hukum-hukum umat yang telah lalu yang
ditolelir al-Quran.
PENUTUP
Sebagai kesimpulan
terakhir bahwa apabila diperhatikan beberapa pendapat diatas maka secara
prinsip, hukum-hukum syari’at umat sebelum kita, tidak dapat dijadikan sebagai
dalil dalam menetapkan hukum islam, karena sekalipun ulama yang menerimanya
menetapkan syari’at sebelum islam bisa dijadikan alasan untuk menetapkan hukum
syara’, namun mereka tetap mengatakan hukum-hukum itu harus terdapat dalam
al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, sebagai sumber utama hukum islam. Semoga
kesimpulan ini bisa memberikan pemahaman dan bermanfaat kepada kita. penyusunan
ringkasan makalah ini masih banyak sekali kekurangannya, sehingga kami berusaha
untuk menjelaskan tentang Bab: “Syari’at Orang-orang Sebelum Kita”
dengan bahasa yang sederhana dan juga menjelaskan refrensi buku-buku untuk
lebih memudahkan pemahaman bagi pembaca, kami juga dalam memberikan contoh
penerapannya, diambil dari nash syara’ agar diketahui bagaimana cara
menggunakan ilmu syara’ ini. Sesungguhnya bahwa tujuan hukum tersebut adalah
sama, yaitu mampu memahami suatu hukum dari nash (sumbernya) dengan pemahaman
yang benar, juga untuk mempertegas tujuan pembuat hukum syara’ dalam penetapan
hukum tersebut, serta menjaga jangan sampai nash-nash hukum itu menjadi
sia-sia.
Demikianlah
prakata penutup kami, jikalau memang ada kekurangan, salah penerapan kata,
penyusunan kalimat, besar harapan kami untuk bisa dikoreksi sebagai bahan
revisi yang lebih baik lagi. Ucapan maaf
dan terima kasih kami ungkapkan. Kami berharap kepada Allah Yang Maha
Tinggi dan Maha Kuasa agar kami bisa diterima sebagai orang yang ikhlas,
istiqomah, sabar dalam menuntut ilmu.
SEMARANG
26/11/2011/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar