Islam memberikan perhatian serius dalam mengajak manusia supaya
mengikuti hidayah Allah. Dengan demikian, manusia dikaruniaka nikmat dan dapat
berlindung dibawah naungan-Nya yang penuh kedamaian.
Umat Islam adalah umat yang bertugas menegakkan agama-Nya, menyampaikan
wahyunNya, dan membebaskan umat manusia dari segala bentuk perbudakan.
Laskar Islam |
Segala bentuk kelalaian dalam masalah ini dianggap sebagai dosa besar
yang akan mendapat balasan dari Allah seperti kehancuran, kehinaan, dan
kebinasaan. Sesungguhnya, perdamaian menurut islam-(sayyid Sabiq; fiqh
sunnah)-tidak akan terwujud kecuali dalam kekuatan dan kesanggupan. Oleh
karena itu, Allah tidak menjadikan damai sebagai hal yang mutlak, tetapi dengan
syarat dapat mencegah serangan musuh, kedzaliman tidak bercokol di atas bumi,
dan tidak seorang pun agamanya diganggu.
Tidak ada satu agama pun yang mendorongg penganutnya supaya turun
kegelanggang pertempuran dan peperangan dalam rangka berjuang di jalan Allah,
membela kebenaran, memperjuangkan orang-orang tertindas dan demi kehidupan yang
mulia selain Islam.
Permulaan
Disyariatkannya perang, menurut Hudhari Bik (Tarekh tasyri’ al-islami) bahwa Al-Qur’an telah menerangkan sebab
musabab orang-orang mu’min diidzinkan perang dikarenakan:
1. Memperthankan diri ketika diserang.
2. Mempertahankan dakwah karena difitnahnya orang yang
beriman, yakni ujiannya dengan bermacam-macam siksaan, sihingga orang itu
meninggalkan aqidah yang telah dipilih bagi dirinya atau mencegah orang yang
hendak masuk islam, atau mencegah seorang da’i dari menyampaikan dakwahnya.
Dalam
surat Al-hajj itulah ayat pertama yang diturunkan dalam masalah perang, (183).
Albaqoroh madaniyah(185). Al-anfal(186). An-nisa’(187)
Seluruh
nash-nash itu menyampaikan kepada pengertian yang telah kami kemukakan, yaitu
perang hanyalah untuk menolak musuh dan mengamankan fitnah terhadap agama. At
Taubah:(192).
Sayyid
syabiq (fiqh assunnah) memberikan
komentarnya mengenai ayat- ayat perang diatas itu merupakan pemberian izin
berperang dengan tiga alasan berikut ini:
1. Mereka dianiaya dengan cara permusuhan dan
pengusiran dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar hanya karena
berkata, “Allah Tuhan Kami”.
2. Jika tidak ada izin dari Allah untuk bertahan
seperti ini, semua tempat ibadah akan diporak-porandakan, tempat dimana
asma’Allah sering dikumandangkan, lantaran kedzaliman orang-orang kafir yang
tidak percaya Allah dan hari akhir.
3. Tujuan kemenangan, ksetabilan, dan kekuasaan di bumi
adalah untuk menegakkan shalad, mengeluarkan zakat dan amar ma’ruf nahi
munkar
Perintah
perang itu dahulunya terbatas terhadap orang-orang Quraisy dan orang yang
cenderung kepada yahudi madinah. Ketika kabilah-kabilah di Jazirah
(semenanjung) Arab bersatu padu bersama mereka, maka Allah berfirman dalam
kitabnya pada surat At-Taubah(193)
1.
Adakah ketentuan tentang cara dan sarana berperang?
Jika
Islam membolehkan perang sebagai salah satu kebutuhan yang perlu dijalankan,
maka dalam waktu yang sama Islam juga memberikan aturan atau ketentuan yang
menjadi pembatasnya
Hal ini sesuai
dengan rambu-rambu Allah dalam Al-Qur’an yang artinya:“Dan perangilah di
jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui
batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas. (Al-baqarah;190).
Dari ayat tersebut Menurut hemat penulis, pertama Tuhan memberikan perintah (kewajiban) untuk berperang, kemudian
yang kedua Tuhan memberikan rambu
larangan untuk melampaui batas (ketentuan berperang). Dalam hal tersebut
penulis memberikan suatu uraian bahwa ketentuan tentang cara berperang itu
mencakup: kwajiban Larangan, dan kebolehan.
1.
Kewajiban
bertahan pada waktu menghadapi musuh, haram hukumnya melarikan diri, hal ini
ditegaskan dalam firman Allah Swt surat al-Anfal; 15-16:
“ Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir
yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).(15)
Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali
berbelok untuk (sisat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan
yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari
Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.(16)
Ayat di atas mewajibkan bertahan dan menharamkan untuk lari kecuali
-menurut Sayyid Sabiq(fiqh sunnah)- dalam
salah satu berikut ini: pertama, menghindar . artinya, berpindah dari
suatu tempat ke tempat lain sesuai dengan situasi dan kondisi. Berpindah dari
tempat yang sempit ke tempat yang lebih leluasa atau dari tempat terbuka ke
tempat lain yang bisa melindunginya, atau dari tempat yang rendah ke tempat
yang tinggi. Atau dengan ungkapan lain, pindah tempat yang lebih menguntungkan
dalam peperangan.
Kedua,
bergabung dengan kelompok atau berpihak dengan jamaah umat Islam; adakalanya
ikut perang bersama mereka atau membantu mereka. Kelompok/jamaah ini boleh dari
dekat atau jauh. Said bin Mansyur meriwayatkan bahwa Umar r.a. berkata,”sekiranya
Abu Ubaidah bergabung denganku maka aku bisa dianggap fi’ah (kembali bergabung
dengan kelompok). “Abu Ubaidah di Irak, sedangkan Umar di Madinah.
Diriwayatkan oleh Ibu umar r.a. bahwa mereka menghadap Rasulullah
saw. Pada waktu beliau keluar dari shalat subuh. Mereka telah lari dari musuh
mereka; mereka berkata,”kami ini orang orang yang melarikan diri.”Rasulullah
saw. Bersbada,”Tetapi kalian adalah orang orang yang bergabung. Aku ini fi’ah
semua orang muslim.”
Pada dua keadaan diatas, prajurit boleh melarikan diri dari musuh,
sekalipun secara lahirnya lari, tetapi kenyataannya adalah usaha untuk
menentukan sikap yang lebih menguntungkan dalam rangka menghadapi musuh.
2.
Kebolehan
berbohong dalam strategi peperangan menjadikan suatu cara untuk memperdaya
tipumuslihat pada musuh. Dalam perang dibolehkan menipu dan berdusta dengan
tujuan menyesatkan musuh, asalkan tidak termasuk pembatalan perjanjian atau
pelanggaran perdamaian.
Dalam
kontek inilah ada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Jabir, Nabi saw bersabda: “perang itu
adalah tipu daya” (HR.Muttafaq Alaih).
Imam
Muslim meriwayatkan bahwa Ummi Kulsum berkata,”Aku belum pernah mendengar
Rasulullah membolehkan sesuatu pun, tentang dusta dalam apa yang dikatakan
orang kecuali pada waktu perang, mendamaikan antara manusia, pembicaraan suami
kepada istrinya, dan kepada suaminya.”
Tampaknya
hadits tersebut berhubungan dengan taktis dan strategi pertempuran untuk
mengecoh musuh agar dapat kemenangan di dalam peperangan. Hal semacam itu
adalah sah-sah saja sebab kaum muslimin juga dlarang melemparkan diri kepada
kehancuran.
Dibolehkan
lari ketika berlangsungnya peperangan apabila musuh berjumlah dua kali lipat
lebih. Jika hanya dua kali lipat ke bawah maka hukumnya haram.
Dalam
kitab al-Muhadzab dikatakan bahwa jika jumlah musuh lebih dari dua kali
lipat maka dibolehkan untuk lari. Akan tetapi, jika dalam perhitungan kaum
muslimin tidak akan dikalahkan, maka yang lebih utama adalah bertahan. Adapun
jika menurut perhitungan, kaum muslimin akan binasa, maka ada dua pendapat
berikut: pertama, harus lari, dengan dalil firman Allah;....dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,
dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik. (Al
Baqarah;195)
Kedua, disunnahkan lari, bukannya wajib. Karena, jika mereka berperang,
sekalipun terbunuh, mereka mendapat mati syahid. Jika jumlah orang kafir tidak
lebih dari dua kali lipat jumlah kaum muslimin, tetapi mereka menyangka akan
binasa, maka tidak boleh lari. Al-Hakim berargumen,”Dalam masalh itu,
tergantung kepada perkiraan ijtihad pasukan itu sendiri. Jika diduga perlu
dihadapi, tentu tidak perlu lari. Jika diduga lebih berat kepada membinasakan,
dibolehkan lari dan bergabung dengan kelompok lain sekalipun jauh, dengan
syarat jika tidak berniat menarik diri dari peperangan.
Mengenai
hal tersebut Ibnu al-Majisun punya argmentasi sendiri, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh malik, “sesungguhnya perhitungan itu berdasarkan pada jumlah
kekuatan bukan pada bilangan. Boleh satu orang lari dari orang lain jika musuh
lebih terampil, lebih pandai menggunakan senjata, dan lebih kuat. Pendapat
inilah yang lebih bisa diterima.”
3.
Larangan:
Tidak dibenarkan membunuh bukan waktu perang. Orang yang tidak ikut tidak halal
dibunuh atau dianiaya. Begitu juga Islam mengharamkan membunuh wanita,
anak-anak kecil, orang orang sakit, jompo, pendeta, hamba sahaya dan pegawai.
Islam mengharamkan kekejaman, bahkan mengharamkan membunh binatang, merusak
tanaman, mencemari sumur, dan menghancurkan tempat tinggal. Selain itu Islam
juga mengharamkan menghabisi orang yang luka, mengejar orang yang lari. Sebab
dalam Islam, perang tak ubah seperti operasi pembedahan, tidak wajib melampui
tempat yang sakit di suatu tempat.
Dalam hal ini, sulaiman bin Buraidah meriwayatkan dari bapaknya
bahwa Rasulullah apabila mengangkat komandan suatu pasukan mewasiatkan agar
bertakwa kepada Allah, dan berlaku baik terhadap orang-orang Islam. Kemudian
beliau bersabda;”berperanglah dengan bismillah di jalan Allah, perangilah
orang kafir kepada Allah, berperanglah dan jangan melanggar, jangan
mengkhianati, jangan bertindak kejam, dan jangan membunuh anak kecil.”
Dalam wasiat Abu bakar kepada Usamah, ketika mengutusnya ke syam,
“janganlah berkianat, jangan melanggar
batas, jangan merampas, jangan berbuat kejam, jangan membununuh anak
kecil, orang jompo, wanita, jangan menebang pohon kurma dan membakarnya, jangan
juga kamu menebang pohon yang berbuah, jangan menyembelih domba, sapi, dan unta
kecuali untuk dimakan. Kamu akan melewatu beberapa kaum yang telah mencurahkan
hidup di biara (pendeta), maka biarkanlah perbuatan mereka.
Selain ketentuan larangan diatas dalam Islam
4. Perjanjian Damai (Muhadanah): Ibnu Rusd (Bidayatul Mujtahid)
Bolehkah mengadakan perjanjian damai dengan
musuh? Segolongan fuqoha membolehkan demikian sejak permulaan dan tanpa sebab
apapun, jika imam memandang hal itu bermaslahat bagi kaum Muslim.
Segolongan lainnya tidak membolehkannya,
kecuali karena adanya keterpaksaan yang mengharuskan demikian bagi kaum Muslim,
baik karena fitnah atau lainnya. Dan hal itu bisa dengan cara mengambil sesuatu
dari mereka, bukan sebagai jizyah, jika pengambilan jizyah dari mereka itu di
syaratkan bahwa hokum-hukum yang berlaku pada kaum Muslim juga berlaku atas
mereka, atau dengan cara tidak mengambil sesuatu pun dari mereka.
Al-Auza’I membolehkan imam mengadakan
perjanjian damai dengan orang-orang kafir, berdasarkan sesuatu yang diberikan
oleh kaum Muslim kepada mereka, jika tekanan fitnah atau lainnya memang
menhendaki demikian.
Imam syafi’I berpendapat bahwa kaum Muslim
tidak boleh memberikan sesuatu pun kepada orang-orang kafir, kecuali jika
mereka khawatir akan dihancurkan, karena banyaknya bilangan musuh, sedang
bilangan mereka sedikit, atau karena suatu bencana yang menimpa mereka.
Diantara fuqoha yang memegangi kebolehan mengadakan
perdamaian, jika imam memandang hal itu
bermaslahat, adalah imam Malik, Syafii, dan Abu Hanifah, tetapi Imam Syafii
tidak membolehkan masa perdamaian tersebut lebih panjang dari masa yang padanya
Rasulullah saw. berdamai dengan orang-orang kafir pada tahun Hudaibiyah.
Silang
pendapat tentang kebolehan mengadakan perdamaian bukan dalam keadaan terpaksa,
disebabkan oleh adanya pertentangan antara lahir kata-kata dua ayat yang
pertama berikut ini dengan ayat ayang ketiga. Ayat-ayat tersebut adalah
(at-Taubah;9;5/29) dan (al-Anfal,8;61).
Bagi
fuqoha yang berpendapat bahwa ayat yang memuat perdamaian membatasi dua ayat
sebelumnya, maka mereka mengatakan bahwa perdamaian boleh diadakan jika imam
memandang perlu. Mereka juga menguatkan pendapatnya dengan tindakan yang
dilakukan oleh Nabi saw. Yakni bahwa perdamaian yang diadakan oleh Nabi saw.
Pada tahun Hudaibiyah iyu bukan karena terpaksa.
Akan
halnya imam Syafi’i, oleh karena aturan pokok baginya adalah perintah memerangi
sehingga mereka masuk Islam atau memberi jizyah, sedang baginya aturan pokok
ini dibatasi oleh perbuatan Nabi saw. Pada tahun Hudaibiyah, maka ia tidak
membolehkan masa perdamaian ini melebihi masa perdamaian Rasulullah saw.
Dalam
pada itu, masa perdamaian Rasulullah saw. Sendiri masih diperselisihkan. Salah
satu pendapat mengatakan, empat tahun, menurut pendapat lain, tiga tahun. Dan
lainnya mengatakan, sepuluh tahun. Dan pendapat ini dikemukakan oleh Imam
Syafi’i.
Sedangkan
fuqoha’ yang membolehkan kaum Muslim mengadakan perdamaian dengan orang-orang
musyrik dengan memberikan sesuatu kepada kaum musyrik tersebut. Apabila
terpaksa karena sesuatu bencana atau lainnya, maka mereka mendasarkan
pendapatnya pada riwayat berikut ini: “sesungguhnya
nabi saw. Telah berniat untuk memberikan sebagian hasil buah madinah kepada
segolongan orang kafir yang tergabung dalam kelompok tentara ahzab (sekutu)
untuk merusak persekutuan mereka. Maka segolongan orang kafir tersebut tidak menyetujui
kadar yang diberikan oleh Rasulullah saw. Dari hasil buah Madinah, sehingga
Allah memberikan kemenangan kepada Nabi.”
Fuqoha’
yang tidak membolehkan perdamaian kecuali apabila kaum Muslim khawatir akan
dihancurkan, maka hal itu didasarkan atas qiyas terhadap ijma’ fuqoha atas
kebolehan menebus tawanan-tawanan Muslim. Karenaapabila kaum Muslim telah
berada pada batas kekhawatiran seperti itu, maka kedudukan mereka sama dengan
tawanan.(ibnu Rusd; Bidayatul Mujtahid)
1.
Bagaimanakah
cara berperang yang benar menurut Islam?
H.A.
Jazuli, MA(Fiqh Siyasah) Didalam Al
Qur’an disebutkan yang sering kita artikan dengan perang, seperti jihad, qital, harb, ghazwah. Kata-kata
jihad dalam berbagai bentuk kata dalam Al-Qur’an disebutkan tidak kurang dari
35 kali. Kata-kata Qital dalam
berbagai bentuk katanya disebut tidak kurang dari 50 kali. Jihad ini yang
sepadan dengan al-jihad al-khas, Sedangkan
harb disebut dalam 6 ayat yang sering diartikan dengan peranghabis-habisan
sampai ada yang menang. Adapun ghazwah
hanya disebut satu kali yaitu dalam surat
Ali-Imran ayat 156, ghazwah diartkan dengan peperangan yang dipimpin oleh
Nabi, apabila peperangan dipimpin oleh para panglima yang ditunjuk oleh Nabi
dan tidak disertai Nabi disebut dengan sariyah,
Nabi SAW sendiri memimpin peperangan (Ghazwah)
sebanyak tidak kurang dari dua kali, sedangkan sariyah yang terjadi tidak kurang dari 48 kali. Banyak sekali
hadits-hadits yang menyinggung berkaitan dengan perang ini baik tentang
keutamaan perang, pahala perang, etika perang, hak-hak yang harus dilindungi
dalam perang, Dan lain sebagainya. Dalam kitab–kitab fiqh Ulama salaf (klasik)
lebih sering memakai kata jihad dalam
bab pembahasan peperangan dari pada kata qital,
ghazwah, harb, dan sariyah. hal ini berbeda dengan Ulama kholaf
(kontemporer) yang terkadang dalam buku-buku fiqh mereka menggunakan kata Qital
di dalam bab-bab peperangan.
Di
waktu peperangan islam juga mempunyai watak damai dan mementingkan al-akhlak
al-karimah yang selalu ditunjukkan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya, yang
kemudian di buat contoh oleh para tabi’ut-tabi’in sehingga dikemudian hari bisa
mempengaruhi hukum internasional diwaktu perang.
Dalam
fiqhul Islam (H.Sulaiman rasyid) menyebutkan 6 etika dalam peperangan
1.
Dilarang
membunuh anak-anak dan memperkosa wanita-wanita yang tidak ikut berperang, dalam
kasus ini pernah sahabat bertanya kenapa dilarang membunuh anak-anak musyrik?
Nabi SAW menjawab: bukankanlah di anatara
kamu juga dahulu anak-anak orang-orang musyrik.(fiqhul siyasah)
Dan dalam Hadits riwayat Bukhori dan Muslim: “ Dari ibnu Umar, sesungguhnya Nabi SAW. Telah
memeriksa pada salah satu peperangannya. Beliau mendapati seorang perempuan
terbunuh. Maka beliau tidak membenarkan membunuh perempuan dan anak-anak.”
Apabila memperkosa diwaktu perang, maka orang yang
melakukannya tersebut harus bertanggung jawab secara pidana; artinya mendapat
sanksi zina bahkan bisa ditambah dengan sanksi ta’zir.
2. Dilarang membunuh orang yang sudah tua yang tidak kuat
dan ikut berperang, orang-orang tua di-larang dibunuh, disakiti, diganggu adalah
menunjukkan ajaran Islam yang penuh dengan nilai-nilai penghormatan kemanusiaan,
kecuali apabila dia ahli politik, pandai tentang seluk beluk peperangan, atau
orang yang berpengaruh; orang tua seperti itu tidak berhalangan dibunuh karena
ia berbahaya.
3. Utusan musuh yang resmi datang kepada kita, tidak
boleh digannggu, karena suatu ketika pernah utusan musuh datang kepada Rasulullah SAW., dan
beliau tidak mengganggunya.
4. Tidak diperbolehkan merusak negeri dengan membakar pohon,
sawah dan ladang, rumah ibadah (masjid/gerja)kecuali jika keadaan memaksa,
tidak ada jalan lain. Hal ini semakna dengan Al-Qur’an (al-baqarah:205)
(Al-Hajj: 40).
5. Musuh yang belum sampai kepadanya seruan Islam tidak
boleh diperangi, tetapi hendaklah diajak dan diberi penerangan lebih dahulu.
Kalau dia tidak mau dan tetap cukup syarat-syarat untuk memeranginya, barulah
boleh diperangi.
6. Orang yang masuk Islam sebelum dia ditawan, baik
ditawan dari medan perang ataupun dari tempat lain. Dengan demikian,
terpeliharalah dirinya, harta, dan anaknya yang belum balig; bahkan
anak-anaknya dianggap muslim, mengikuti salah seorang dari ibu bapaknya.
Dari
enam etika yang disebutkan diatas, Ahmad Jazuli (fiqhul Siyasah) menambahkan
empat cara berperang yang benar menurut Islam
1. Dilarang pula mencincang-cincang mayat musuh, bahkan
bangkai binatang pun tidak boleh dicincang.
2. dilarang membunuh pendeta dan para pekerja yang
tidak iktu berperang, karena para pekerja itu adalah orang-orang yang lemah
yang ada dibawah tindasan dan pemerasan penguasa penguasa yang diutus; juga
dilarang membunuh tentara yang luka atau tidak melawan.
3. Bersikap
sabar, berani, dan ikhlas di dalam melakukan peperangan, membersihkan niat dari
mencari keuntungan duniawi.
4. Tidak melampui batas, dalam arti batas-batas aturan
hukum dan moral di dalam peperangan, karen Allah di dalam Al-Qur’an berulang
kali menyatakan bahwa: “Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas”
Di
dalam kitab-kitab kuning terjadi perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan para
madzhab fuqoha tentang etika atau aturan-aturan peperangan sesuai dengan hasil
ijdtihad mereka masing masing. Walaupun demikian secara umum terkesan dari
ketentuan-ketentuan dalam kitab fiqh tersebut bahwa di dalam peperangan
sekalipun nilai-nilai kemanusiaan, penghormatan terhadap agama lain, lingkungan
hidup dan al-Akhlakul karimah harus tetap dijaga sedapat mungkin di dalam
kenyataan kondisi pertempuran itu adalah: mengambil yang madharatnya lebih
sedikit “menolak kemadharatan dengan
kemadharatan yang lebih ringan”(ushul fiqh).
2.
Siapa saja yang
wajib di lindungi dalam berperang?
Hukum
asal wanita dan anak-anak adalah terlindungi, tidak boleh diusik harta, nyawa
dan kehormatannya. Ini disebabkan mereka tidak terlibat dalam peperangan dan
terpisah dari kaum laki-laki yang berperang.
Dari
Ibnu Umar, ia berkata," Ditemukan seorang perempuan yang terbunuh pada
beberapa pertempuran yang diadakan Rosululloh saw.
Maka beliau melarang pembunuhan terhadap perempuan dan anak-anak." Dalam
lafal Bukhari dan Muslim lainnya," Maka beliau mengingkari…"
Imam An-Nawawi berkata dalam Syarh Shohih Muslim VII/324:
Imam An-Nawawi berkata dalam Syarh Shohih Muslim VII/324:
“Para
ulama’ telah berijma’ untuk beramal dengan hadits ini, dan haram hukumnya
membunuh perempuan dan anak-anak jika mereka tidak berperang, Jika mereka
berperang, maka menurut jumhur ulama’ mereka juga dibunuh. ”Larangan memerangi
dan membunuh anak-anak ini gugur dalam beberapa kondisi. Di antaranya ;
-
Jika mereka terlibat dalam peperangan dalam bentuk apapun. Mereka boleh diperangi
dan dibunuh dengan sengaja.
-
Jika mereka bercampur baur dengan kaum laki-laki yang berperang. Mereka boleh
dibunuh, namun tanpa sengaja, dikarenakan kondisi darurat bercampur baurnya mereka
dengan kaum laki-laki.
Hal ini berdasarkan beberapa dalil yang shahih, di antaranya :
Hal ini berdasarkan beberapa dalil yang shahih, di antaranya :
Dari
Robah bin Robi’, ia berkata:” Kami bersama Rosululloh Saw
dalam suatu peperangan. Lalu beliau melihat orang-orang mengerumuni sesuatu.
Rosululloh mengutus seseorang dan bersabda,” Lihatlah, mereka berkumpul pada
apa!” Lalu utusan itu datang dan mengatakan,” Mereka mengerumuni seorang wanita
yang terbunuh.”Maka Rosululloh saw bersabda:”Perempuan
ini tidak layak untuk berperang.” Robah mengatakan,” Di barisan depan terdapat
Kholid bin Al-Walid, maka Rosululloh mengutus seseorang dan mengatakan
kepadanya,”Katakan kepada Kholid, jangan sekali-kali ia membunuh perempuan dan
buruh.”
Dari
Sho’b bin Jatsamah, ia berkata," Nabi Shallallahu alaihi wasallam melewati
saya di daerah Abwa' atau Waddan. Beliau ditanya tentang penduduk sebuah negeri
kaum musyrik yang diserang pada waktu malam (oleh kaum muslimin), lalu sebagian
perempuan dan anak-anak mereka menjadi korban. Rosululloh shalallahu alaihi
wasallam menjawab," هُمْ مِنْهُمْ (Kaum wanita dan anak-anak termasuk bagian
dari kaum musyrik tersebut)." Dalam sebuah riwayat Muslim, Tirmidzi dan
Abu Daud menggunakan lafadz : هُمْ مِنْ آبَائِهِمْ ”Mereka termasuk golongan bapak-bapak
mereka.”
Imam
An-Nawawi dalam Syarhu Shohih Muslim VII/325 berkata:
“
Hadits yang kami sebutkan tentang bolehnya menyergap mereka pada malam hari
ini, serta membunuh perempuan dan anak-anak ketika itu, adalah madzhab kami
(madzhab Syafi'i), madzhab Malik, madzhab Abu Hanifah dan mayoritas ulama. Makna
al-bayat (serangan malam) adalah menyergap pada waktu malam hari sehingga tidak
diketahui antara laki-laki dengan perempuan dan anak-anak....hadits ini
merupakan dalil atas bolehnya menyerang di malam hari dan menyergap dalam
keadaan lengah terhadap orang kafir yang telah sampai dakwah kepada mereka,
tanpa harus memberitahu mereka dahulu.”
[2].
Pendeta, orang buta, orang lumpuh, orang tua renta dan para pekerja.
Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum memerangi pendeta, orang tua, orang lumpuh,
orang buta dan para pekerja :
-
Menurut madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali ; mereka tidak dibunuh jika tidak
ikut berperang.
- Menurut madzhab Zhahiri dan menjadi pendapat terkuat dari dua pendapat madzhab Syafi’i ; mereka boleh diperangi dan dibunuh.
- Menurut madzhab Zhahiri dan menjadi pendapat terkuat dari dua pendapat madzhab Syafi’i ; mereka boleh diperangi dan dibunuh.
-
Imam Sufyan Ats Tsauri dan Al-Auza'i : orang tua dan pekerja tidak boleh dibunuh,
selainnya boleh dibunuh.
*
Madzhab Syafi'i dan Zhahiri berhujah dengan beberapa dalil :
a-
Nash-nash yang secara umum memerintahkan untuk memerangi orang-orang musyrik
dan ahlu kitab secara keseluruhan.seperti :
Apabila
sudah habis bulan-bulan haram, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana
saja kalian jumpai mereka, tangkaplah mereka, kepunglah mereka, dan intailah di
tempat pengintaian…” (QS.
At-Taubah: 5)
”
Berperanglah dengan menyebut nama Allah, di jalan Allah, perangilah orang yang
kafir kepada Allah !...Jika kamu menemui musuh dari orang-orang musyrik, maka
serulah mereka kepada salah satu dari tiga pilihan, pilihan mana saja yang
mereka pilih maka terimalah dan tahanlah dirimu dari (menyerang) mereka."
Dari
Samuroh bin Jundab bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“ Bunuhlah
orang-orang tua musyrikin dan biarkanlah anak-anak mereka yang belum baligh
tetap hidup.”
c-
Nash yang menyebutkan vonis hukuman mati bagi setiap laki-laki Yahudi Bani
Qurazhah yang telah baligh :
Dari
Athiyah Al-Qurazhi, ia berkata," Kami (kaum yahudi Qurazhah) dihadapkan
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam pada hari (penaklukan) Quraizhah.
Siapa yang telah tumbuh bulu kemaluannya (tanda baligh, pent) dibunuh dan siapa
yang belum tumbuh bulu kemaluannya dilepaskan. Saya termasuk anak yang belum
tumbuh bulu kemaluannya, maka saya dilepaskan."
d-
Hadits yang menerangkan persetujuan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam kepada
sahabat yang membunuh Duroid bin Shommah, padahal ia adalah seorang yang tua
renta, usianya lebih dari 100 tahun.
Abu
Musa Al-Asy'ari berkata," Setelah selesai dari peperangan Hunain, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa salam mengirim pasukan dibawah komandan Abu Amir Al-Asy'ari
ke daerah Authas. Pasukan bertemu dengan Duraid bin Shimah, maka Duraid-pun
dibunuh sehingga Allah mengalahkan pasukan Duraid…"
e-
Diriwayatkan bahwa Umar ibnul Khothob mengirim surat kepada pasukan kaum
muslimin," Janganlah membawa seorang kafirpun kepada kami ! Jangan
membunuh kecuali yang telah baligh ! Jangan membunuh anak-anak dan wanita
!" Imam Ibnu Hazm melemahkan semua hadits yang dijadikan dalil oleh para
ulama yang berpendapat tidak boleh membunuh pendeta, orang tua, orang lumpuh,
pekerja dan lain-lain. Setelah menyebutkan hadits tentang peristiwa penaklukan
bani Quraidzah ini, imam Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla VII/299 mengatakan :
وَهَذَا عُمُومٌ مِنَ النَّبِيِّ r
، لَمْ يَسْتَبْقِ مِنْهُمْ عَسِيفًا وَلاَ تَاجِرًا وَلاَ فَلاَّحًا وَلاَ
شَيْخًا كَبِيرًا وَهَذَا إِجْمَاعٌ صَحِيحٌ مِنْهُ.
” Vonis ini bersifat umum dari Nabi shalallahu alaihi wasallam. Beliau tidak menyisakan seorangpun dari Bani Quroidloh ; baik seorang buruh, pedagang, petani maupun orang tua renta. Dan ini merupakan ijma’ yang shohih.”
” Vonis ini bersifat umum dari Nabi shalallahu alaihi wasallam. Beliau tidak menyisakan seorangpun dari Bani Quroidloh ; baik seorang buruh, pedagang, petani maupun orang tua renta. Dan ini merupakan ijma’ yang shohih.”
Setelah
menyebutkan surat Umar kepada pasukan kaum muslimin, Imam Ibnu Hazm
berkata," Inilah Umar ! Beliau tidak mengecualikan orang tua, pendeta,
pekerja dan tidak pula seorangpun, kecuali wanita dan anak-anak saja. Tidak ada
sebuah riwayatpun yang shohih menyebutkan ada sahabat yang menyelisihi hal ini.
Duroid bin Shimmah dibunuh padahal ia seorang tua renta yang sudah kacau
akalnya, namun Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkarinya."
Dalam
Al-Muhalla VII/345, beliau berkata," Tidak diterima dari seorang kafir,
selain pilihan masuk Islam atau pedang. Laki-laki dan perempuan sama dalam hal
ini. Kecuali ahlu kitab semata, yaitu Yahudi, Nasrani dan juga Majusi…"
Dalam
Al-Muhalla VII/296-297, beliau berkata," Boleh membunuh setiap musyrik
selain orang-orang yang telah kami sebutkan tadi (anak-anak dan wanita, pent);
baik ia turut berperang maupun tidak, pedagang maupun pekerja yaitu buruh,
orang tua yang mempunyai pertimbangan perang maupun tidak, pembantu, uskup,
pendeta, paderi, orang buta ataupun orang idiot. Tak seorngpun dikecualikan.
Boleh juga menjadikan mereka sebagai budak. Allah berfirman (…maka bunuhlah
orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka…QS. At-Taubah
:5). Allah menetapkan orang musyrik secara umum dibunuh, kecuali bila ia masuk
Islam."
*
Madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat, dalil-dalil yang memerintahkan
membunuh seluruh orang kafir adalah bersifat umum, dan dikhususkan oleh
dalil-dalil lain, yaitu :
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ
تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Dan
berperanglah kalian di jalan Alloh melawan orang-orang yang memerangi kalian
dan janganlah kaliam melampaui batas. Sesungguhnya Alloh tidak mencintai
orang-orang yang melampaui batas.”(QS. Al-Baqoroh: 190).
Ibnu
Abbas berkata," Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bila mengutus
pasukan-pasukan perang, senantiasa berpesan: Keluarlah dengan nama Allah,
kalian berperang di jalan Allah melawan orang yang kafir kepada Allah. Jangan
berkhianat ! Jangan mencuri barang rampasan perang sebelum dibagi ! Jangan
mencincang ! Jangan membunuh anak-anak ! Jangan membunuh orang-orang yang
beribadah di gereja !"
Dari
Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam bersabda,"
Berangkatlah dengan menyebut nama Allah, bersama Allah, diatas milah Rasulullah
! jangan membunuh orang tua renta, bayi, anak-anak, dan wanita ! Jangan mengambil
harta rampasan perang sebelum dibagi ! Kumpulkan harta rampasan kalian,
perbaiki diri kalian dan berbuatlah kebajikan ! Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang berbuat baik.”
Dari Yahya bin Sa'id bahwa Abu Bakar mengirim beberapa pasukan perang ke Syam…lalu beliau berpesan kepada Yazid bin Abi Sufyan," Engkau akan menemui sebuah kaum yang yang beranggapan diri mereka melakukan pengasingan demi beribadah kepada Allah, maka biarkanlah mereka…Aku wasiatkan sepuluh hal : Jangan membunuh wanita, anak-anak, orang tua renta ! Jangan menebang pohon yang sudah berbuah ! Jangan merobohkan bangunan! Jangan menyembelih kambing dan unta kecuali untuk dimakan !..."
Dari Yahya bin Sa'id bahwa Abu Bakar mengirim beberapa pasukan perang ke Syam…lalu beliau berpesan kepada Yazid bin Abi Sufyan," Engkau akan menemui sebuah kaum yang yang beranggapan diri mereka melakukan pengasingan demi beribadah kepada Allah, maka biarkanlah mereka…Aku wasiatkan sepuluh hal : Jangan membunuh wanita, anak-anak, orang tua renta ! Jangan menebang pohon yang sudah berbuah ! Jangan merobohkan bangunan! Jangan menyembelih kambing dan unta kecuali untuk dimakan !..."
Dalil-dalil
ini menunjukkan, pendeta, orang tua, para pekerja dan orang-orang yang dihukumi
serupa (orang lumpuh, orang buta) biasanya tidak terlibat dalam peperangan,
sehingga tidak layak dibunuh. Berarti, 'ilah kebolehan dibunuh adalah orang
kafir yang bisa atau terlibat perang ; biasanya kaum laki-laki.
Seorang
perempuan dibunuh karena terlibat dalam peperangan. Duraid bin Shiamh dibunuh,
karena ia adalah ahli strategi kaum musyrikin Hawazin. Hal ini diperkuat oleh
ijma' ulama ---termasuk imam Ibnu Hazm--- atas keharaman membunuh perempuan dan
anak-anak. Namun ulama juga sepakat, bila anak-anak dan perempuan turut
berperang, mereka juga dibunuh.
Pendapat Yang Lebih Kuat
Pendapat Yang Lebih Kuat
Dari
kajian berbagai dalil di atas, nampak bahwa pendapat madzhab Hanafi, Maliki dan
Hambali lebih kuat. Berdasar pendapat yang kuat ini bisa disimpulkan bahwa
orang-orang kafir yang dilindungi sekalipun tidak mempunyai jaminan keamanan,
adalah :
-
Anak-anak dan wanita.
-
Pendeta yang menghabiskan waktunya beribadah dan tidak melibatkan diri dalam
urusan duniawi, orang tua, orang lumpuh, orang buta dan para pekerja
Mereka
dilindungi dengan syarat tidak terlibat dalam peperangan, dengan bentuk apapun,
baik tenaga, fikiran, dana, semangat dan bentuk-bentuk keterlibatan lainnya.
Bila terbukti terlibat, mereka boleh dibunuh.
Muqatilah
dan Ghairu Muqatilah, bukan Sipil dan Militer. Dari penjelasan para ulama di
atas, bisa disimpulkan bahwa sebab orang kafir diperangi adalah karena ia kafir
dan termasuk ahlul qital (orang yang mampu berperang). Oleh karenanya, para
ulama Islam mengkategorikan orang kafir dalam dua kelompok :
•
Muqatilah : yaitu setiap laki-laki kafir yang telah baligh sehingga dihukumi
memiliki kemampuan berperang, juga setiap orang kafir yang semestinya
dilindungi (wanita, anak-anak. orang tua, pendeta, pekerja) namun terlibat
dalam peperangan. Kelompok ini diperangi dan boleh dibunuh, menurut kesepakatan
ulama.
•
Ghairu Muqatilah : yaitu setiap orang kafir yang dilindungi (wanita, anak-anak.
orang tua, pendeta, pekerja) dan tidak boleh diperangi, karena tidak terlibat
peperangan.
Islam
memandang sebab boleh dan tidaknya orang kafir diperangi adalah mampu dan
tidaknya ia berperang. Jika ia mampu atau terlibat perang, ia boleh dibunuh
sekalipun seorang wanita, orang tua atau pekerja. Pembagian manusia ke dalam
dua kategori ; sipil dan militer, militer boleh diperangi dan sipil tidak boleh
diperangi ; adalah sebuah dikotomi yang salah, bertentangan dengan nash-nash
syariat dan tidak sesuai dengan realita.
Mayoritas
orang-orang kafir yang hari ini disebut sebagai warga sipil, terlibat dalam
peperangan baik secara fisik maupun non fisik. Keterlibatan mereka dalam
peperangan terhadap kaum muslimin bisa disaksikan semua umat manusia ; keikut
sertaan dalam wajib militer, dinas militer, dukungan dana, fikiran, dukungan
suara terhadap kebijakan presiden dan militer, dan seterusnya. Dus, mayoritas
orang yang disebut sipil tersebut, sejatinya adalah kelompok muqatilah yang
boleh diperangi.
Dalam
peristiwa penaklukan Bani Quraizhah, sahabat Sa'ad bin Mua'adz memutuskan
setiap laki-laki yang telah baligh dihukum bunuh, sedangkan anak-anak dan
wanita dijadikan tawanan dan budak. Hukuman dijatuhkan berdasar kategori
muqatilah dan ghairu muqatilah, bukan berdasar kategori sipil dan militer.
Inilah hukum Islam, hukum yang turun dari langit, hukum yang diridahi oleh
Allah, Rasulullahh, para malaikat dan kaum beriman.
Dari
Abu Sa'idz Al-Khudri, ia berkata:" Ketika banu Quraizhah menyatakan akan
tunduk kepada keputusan Sa'ad bin Mu'adz, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
salam mengutus orang untuk menjemput Sa'ad, ia seorang sahabat yang dekat
dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam. Sa'ad datang dengan mengendarai
keledai. Ketika sudah dekat, Rasulullah bersabda," Sambutlah pemimpin
kalian !"
Sa'ad
turun dan duduk di samping Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam. Beliau
bersabda kepada Sa'ad," Mereka tunduk kepada keputusanmu." Maka Sa'ad
berkata," Saya putuskan, orang-orang yang bisa berperang (muqatilah)
dihukum mati, anak-anak dan wanita ditawan." Maka Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa salam bersabda," Engkau telah memutuskan dengan keputusan
seorang malaikat."
Dari
'Aisyah, ia berkata," Sa'adz bin Mu'adz terluka pada perang Khandaq,
akibat dipanah oleh seorang laki-laki Quraisy bernama Hiban bin
'Ariqah…malaikat Jibril menunjuk kepada bani Quraizhah. Maka Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa salam memerangi mereka. Akhirnya, Banu Quraizhah
tunduk kepada keputusan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa salam menyerahkan keputusan kepada Sa'ad. Sa'adpun
berkata," Saya putuskan ; orang-orang yang bisa berperang di antara mereka
(muqatilah) dihukum mati, anak-anak dan wanita ditawan, dan harta benda
dibagi-bagi sebagai rampasan perang."
Perawi Hisyam berkata," Ayahku memberitahukan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda : Engkau telah memutuskan hukuman bagi mereka dengan hukum Allah." Dari Athiyah Al-Qurazhi, ia berkata," Kami (kaum yahudi Qurazhah) dihadapkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam pada hari (penaklukan) Quraizhah. Siapa yang telah tumbuh bulu kemaluannya (tanda baligh, pent) dibunuh dan siapa yang belum tumbuh bulu kemaluannya dilepaskan. Saya termasuk anak yang belum tumbuh bulu kemaluannya, maka saya dilepaskan." Berikut ini disebutkan beberapa pernyataan ulama yang menerangkan kesimpulan ini.
Perawi Hisyam berkata," Ayahku memberitahukan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda : Engkau telah memutuskan hukuman bagi mereka dengan hukum Allah." Dari Athiyah Al-Qurazhi, ia berkata," Kami (kaum yahudi Qurazhah) dihadapkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam pada hari (penaklukan) Quraizhah. Siapa yang telah tumbuh bulu kemaluannya (tanda baligh, pent) dibunuh dan siapa yang belum tumbuh bulu kemaluannya dilepaskan. Saya termasuk anak yang belum tumbuh bulu kemaluannya, maka saya dilepaskan." Berikut ini disebutkan beberapa pernyataan ulama yang menerangkan kesimpulan ini.
•
Imam Al-Kasani Al-Hanafi berkata :”Pada dasarnya setiap orang yang bisa
berperang, halal dibunuh baik mereka ikut berperang maupun tidak. Semua orang
yang tidak mempunyai kemampuan untuk berperang tidak boleh dibunuh, kecuali
jika mereka nyata-nyata ikut berperang atau secara tidak langsung terlibat
perang dengan memberikan pendapat, ketaatan, motifasi atau yang lain …dan jika
orang-orang yang tidak halal dibunuh sebagaimana yang kami sebutkan diatas
terbunuh, maka tidak ada kewajiban diyat atau kafaroh kecuali taubat dan
istighfar, karena darah orang kafir itu tidak dibela kecuali dengan jaminan
keamanan, sedangkan jaminan keamanan dalam kasus ini tidak ada.”
•
Imam Ibnu Rusyd Al-Maliki berkata :” Sebab timbulnya perbedaan para ulama
(tentang hukum membunuh anak-anak, orang tua, wanita, pekerja dan pendeta,
pent) adalah karena adanya perbedaan pendapat tentang sebab yang mewajibkan
perang. Ulama yang berpendapat bahwa penyebabnya adalah kekafiran, tidak
mengecualikan seorangpun dari orang-orang musyrik. Sementara ulama yang
berpendapat bahwa penyebabnya adalah kemampuan berperang, sehingga ada larangan
membunuh wanita sekalipun mereka orang-orang kafir, mereka mengecualikan
orang-orang yang tidak mampu berperang dan tidak melibatkan diri dalam peperangan
seperti petani dan buruh.”
• Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
”
Jika asal perang yang disyari’atkan adalah jihad, dan tujuannya adalah agar
agama itu seluruhnya hanya milik Alloh dan agar kalimat Alloh itu tinggi. Maka
kaum muslimin sepakat untuk memerangi siapa yang tidak menerima hal ini. Adapun
orang yang tidak bisa berperang seperti perempuan, anak-anak, pendeta, orang
tua renta, orang buta, orang lumpuh, dan orang-orang yang seperti mereka, maka
tidak dibunuh menurut mayoritas ulama’, kecuali jika ia ikut berperang dengan perkataannya
atau perbuatannya.
Meskipun
diantara ulama’ juga ada yang berpendapat boleh membunuh mereka hanya karena
kekafiran mereka. Terkecuali wanita dan anak-anak (tetap tidak boleh dibunuh,
pent) karena mereka adalah harta bagi kaum muslimin. Pendapat yang benar adalah
pendapat pertama, karena peperangan itu terhadap orang-orang yang memerangi
kita jika kita ingin menegakkan agama Alloh, sebagaimana firman Alloh:“Dan
berperanglah kalian di jalan Alloh melawan orang-orang yang memerangi kalian
dan janganlah kaliam melampaui batas. Sesungguhnya Alloh tidak mencintai
orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqoroh: 190).
Dalam
kitab-kitab hadits disebutkan riwayat dari Rosululloh shollallahu ‘alaihi
wasallam bahwa beliau melewati seorang wanita yang terbunuh dalam beberapa
pertempuran beliau. Wanita itu dikerumuni orang. Maka beliau bersabda,”
Perempuan ini tidak layak berperang.” Beliau bersabda kepada seseorang diantara
mereka,” Temuilah Kholid dan katakan padanya “jangan bunuh anak-anak dan
pekerja."
Tentang
hal ini disebutkan pula bahwa Rosululloh shollallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,” Jangan bunuh orang tua renta, anak kecil dan perempuan !”.
Hal
ini dikarenakan Alloh membolehkan membunuh jiwa yang dibutuhkan untuk kebaikan
makhluk, sebagaimana firman Alloh:وَاْلفِتْنَةُ
أَكْبَرُ مِنَ اْلقَتْلِ
“
Dan Fitnah itu lebih besar dari pada pembunuhan.” Artinya, meskipun dalam
pembunuhan itu terdapat keburukan dan kerusakan, namun kerusakan dan keburukan
yang ditimbulkan oleh fitnah kekafiran itu lebih besar lagi. Oleh karena itu
barang siapa yang tidak menghalangi kaum muslimn untuk menegakkan agama Alloh,
maka bahayanya hanyalah terhadap dirinya sendiri.
Oleh
karena itu syari’at mewajibkan untuk membunuh orang-orang kafir dan tidak
mewajibkan untuk membunuh mereka yang sudah tertangkap. Namun apabila ada
seseorang yang tertawan, baik dalam peperangan maupun diluar peperangan,
seperti jika mereka naik kapal kemudian terdampar, tersesat atau mereka
ditangkap dengan cara tipu daya, maka Imam boleh memperlakukannya dengan
tindakan yang paling bermanfaat. Baik itu membunuh, menjadikan budak,
membebaskan atau meminta tebusan dengan harta, bahkan dengan tebusan jiwa
menurut mayoritas fuqoha’. Semua ini berdasarkan keterangan yang diperoleh
dalam al-Qur’an dan As-Sunnah. Walaupun ada juga ulama’ yang berpendapat
bahwasanya hukum membebaskan dan menjadikan tebusan itu telah mansukh.
•
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdulloh bin Bazz berkata :
فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ
حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ
مَرْصَدٍ
“ Maka apabila bukan-bulan haram itu telah habis maka bunuhlah orang-orang musyrik dimana saja kalian jumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah di tempat intaian …” (QS At Taubah : 5)
“ Maka apabila bukan-bulan haram itu telah habis maka bunuhlah orang-orang musyrik dimana saja kalian jumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah di tempat intaian …” (QS At Taubah : 5)
Dalam
ayat ini Alloh memerintahkan untuk memerangi seluruh orang musyrik secara umum.
Penggantungan sebuah hukum kepada sifat ini (kesyirikan) menunjukkan bahwa
sifat ini merupakan sebab alasan hukum ('ilah). Maka ketika Allah Ta’ala
menggantungkan hukum perang itu dengan orang-orang musyrik, orang-orang kafir,
orang-orang yang meninggalkan Islam dan tidak berdien dengan dien yang haq, hal
ini menunjukkan bahwa hal-hal ini merupakan 'ilah hukum dan hal yang
menyebabkan mereka diperangi. Maka alasan disyari’atkannya perang adalah
kekafiran dengan syarat ia termasuk orang yang mampu berperang, dan bukan orang
selain mereka.
Jika
mereka termasuk orang yang berperang, mereka kita perangi sampai mereka masuk
Islam atau membayar jizyah jika mereka dari kalangan Yahudi atau Nasrani atau
Majusi. Atau mereka kita perangi sampai mereka masuk Islam saja tanpa ada
pilihan yang lain, jika mereka bukan dari tiga golongan tersebut.
Jika
mereka tidak mau masuk Islam, maka yang ada adalah perang. Terkecuali
orang-orang yang tidak berurusan dengan peperangan seperti perempuan,
anak-anak, orang buta, orang gila, pendeta, orang yang sibuk beribadah dalam
tempat ibadah mereka dan orang-orang yang tidak berurusan dengan peperangan
karena mereka tidak bisa berperang sebagaimana yang tersebut diatas. Begitu
pula orang tua renta, mereka tidak diperangi menurut mayoritas ulama’, karena mereka
adalah orang-orang yang tidak ikut campur dalam peperangan.
3.
Senjata apa saja
yang dilarang digunakan dalam perang?.
Meskipun didalam perang itu bersifat defensif, hal ini tidaklah berarti
tidak ada persiapan diri dalam menghadapi musuh, agar apabila terjadi serangan
dalam serangan kilat, kaum muslimin telah siap menghadapinya, dan apabila musuh
tau bahwa kum muslimin selalu siap mempertahankan bangsa dan negaranya maka
mereka akan berfikir beberapa kali untuk melakukan serangan, hal inilah yang
diingatkan oleh Al-Qur’an dalam surat Al-anfal ayat 60.”Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang
selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa
saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup
kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).
Persiapan tersebut selain berupa perlengkapan perang, tetapi juga
dan terutama persiapan sumber daya manusianya, yang profesional, tangguh dan
terampil. Dalam hal ini banyak hadits tentang peran-peran untuk memelihara
fisik dan mental yang kuat, seperti mengajarkan memanah, berenang, menunggang
kuda dan melatih kecerdasan dan kekuatan fisik pada umumnya, serta menanamkan
makna dan ruh perjuangan kepada kaum muslimin untuk mencapai kebahagian dunia
dan akhirat yang tujuan akhirnya untuk mencapai keridhaan Allah.
Dalam hal persiapan persenjataan ini, di dalam perkembangan
selanjutnya, menimbulkan masalah: yaitu berlomba-lombanya negara untuk mempersenjatai
diri dengan senjata-senjata; pemusnah manusia, senjata semacam itu sekarang
dikuasai oleh negara-negara yang kaya sumberdaya dan banyak sekali dana
dikeluarkan untuk persenjataan yang apabila digunakan untuk kemanusiaan akan
sangat bermanfaat.
Keadaannya menjadi seperti telah terbalik; apabila dahulu orang
islam berperang untuk membela kemanusiaan dan manusia-manusia tertindas. Tapi
sekarang senjata berubah fungsi menjadi alat untuk menindas dan menghancurkan
manusia dan kemanusiaan.
Oleh karena itu, tampaknya perlu dikumandangkan dan diusahakan
kembali perjuangan terhadap nilai manusia dan kemanusiaan termasuk hak asasi
manusia yang diperjuangkan kaum muslimin diawal pertumbuhan ummat Islam.
Melalui organisasi internasional.
4.
Bagaimana kitab
kuning yang familiar dalam tradisi pesantren mengupas hal tersebut?
Islam
tidak hanya bertujuan reformasi secara individu saja, tapi juga bertujuan
merubah secara bertahap dalam kehidupan sosial insani. Dengan demikian agama
adalah urusan kemanusiaan yang mempersatukan umat manusia lepas dari segala
perbedaan, ras, warna kulit, dan suku. Islam menghargai adanya perbedaan. Agama
bahkan melarang menghina agama lain.
Seluruh
negara yang ada di dunia ini harus mencari persamaan dan kesepakatan untuk
memakmurkan kehidupan ini secara spiritual dan material serta sama-sama
bertanggung jawab untuk kedamaian dan keamanan dunia, tempat manusia hidup dan
bertempat tinggal. Dari sisi ini globalisasi tidak perlu dianggap sebagai
ancaman, tapi justru sebagai peluang untuk lebih berperan mengembangkan rahmat
bagi seluruh alam.
Sesungguhnya setiap manusia
itu memiliki kehidupan maupun kematian. Maka didalam jihad kehidupan dan
kematiannya ini betul-betul digunakan untuk mencapai puncak kebahagiannya
didunia dan akhirat. Ini berarti dengan meninggalkan perang akan kehilangan dua
kebahagiaan atau berkurang kadarnya. Mungkin sebagian manusia ada yang senang
dengan pekerjaan-pekerjaan berat, namun sedikit manfaatnya didalam agama dan
dunia. Maka perang adalah pekerjaan besar yang juga besar manfaatnya. Atau
mungkin sebagian orang berusaha untuk senantiasa meninggalkan kualitas dirinya
sampai menjelang maut, namun perang menjanjikan sebuah mati syahid, sebuah
proses kematian yang paling utama.
Apabila perang yang
disyariatkan adalah jihad dan
tujuan
utamanya adalah agar agama semuanya
milik
Allah serta kalimat Allah-lah yang tertinggi, siapa saja yang melarang untuk
melakukannya, dia harus diperangi sesuai dengan kesepakatan kaum muslimin.
Namun jika dia bukan termasuk ahli perang seperti perempun, anak-anak,, orang
lanjut usia, orang buta, cacat, dan sejenis mereka, tidak boleh diperangi. Ini
pendapat jumhur ulama, kecuali manakala mereka memerangi kaum muslimin dengan
kata-kata atau tindakan; maka sebagian ulama ada yang membolehkan untuk
memerangi semuanya. Sedangkan yang lain membolehkan untuk memerangi semuanya,
kecuali perempuan dan anak-anak, karena perang disyariatkan untuk
melawan orang-orang yang memerangi kita demi menegakkan agama Allah sebagaimana
firman Allah(albaqoroh :190).
Refrensi: Fiqh Assuunah(Sayid syabiq)
Fiqh Islami.(H. Sulaiman Rasid)
Fiqh Siyasah.(H.A Jazuli.M.A)
Bidayatul Mujtahid (ibnu Rusd).
Tareh Tasyrie'(Hudhori Bik).
Al-Muhadab (Imam Syafi'i)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar