KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan semesta alam raya, Maha suci Allah dengan segala
kesempurnaannya, karena tanpa disadari banyak orang, sesungguhnya Allah SWT
sudah menggariskan secara amat tegas perintah akuntasi dalam kehidupan muamalat
seorang hamba sebagaimana dalam surat Al-Baqarah 282].... Namun, karena
berbagai sebab – diantarnya kelalaian ummat sendiri yang berakibat pada nyaris
hilangnyaperadaban umat islam yang dengan susah payah dibangun serta pernah
mengalami keemasan – timbul kesan kuat bahwa akuntansi adalah sesuatu yang
dibangun oleh non Muslim, padahal klaim-klaim seperti patut dipertanyakan
kembali kesahihannya, karena ada berbagai indikasi kuat yang menunjukkan
kondisi sebaliknya.
Wacana akuntansi syariah memang muncul sebagai salah satu akibat
bergulirnya kembali wacana dan praktik perbankkan syariah, yang berhulu dari
semangat Islamisasi sistem ekonomi dikalangan umat Islam.
Hal ini adalah sebuah
konsekwensi logis dari tuntutan Islamisasi itu sendiri. Wacana akuntansi
syariah ini muncul adalah bersamaan dengan kehadiran lembaga perbankan
syari’ah. Inni mudah dipahami karena pada hakekatnya, amat mustahil memisahkan
akuntansi dari kegiatan muamalah pada
umumnya, bisnis komersial khususnya, dan perbankan lebih kusus lagi.
Timbul suatu pertanyaan apakah bank syariah yang ada sekarang ini
beroperasi sudah menyesuaikan akuntansi dengan standar yang seharusnya?.
Bagaimanakah teori dan konsepnya akuntansi syariah?. Apa bedanya akuntansi syariah
dengan teori akuntansi barat. Tentu peerrtanyaan-pertanyaan ini harus dijawab
dengan sebuah penelitian.
Akirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu menyelesaikan makalah ini. Khususnya kepada Bapak Dosen yang
telah membimbing kami, juga kepada penulis buku akuntasi perbankan syariah
yang membantu sebagai refrensi kami, semoga jasa baik semua pihak mendapatkan
balasan dari Allah SWT. Amiinnnn.....
BAB.
I
AKUNTANSI SYARIAH
BAGAIMANA TEORI DAN KONSEPNYA?
Dalam
perekonomian Syariah seharusnya tercakup pula sistem akuntansinya. yang
disarikan dari suatu telaah ilmiah, berusaha mengantarkan kepada pemahanan
tentang bagaimana teori dan konsep konsep akuntansi Syariah bisa diperoleh.
Bagaimana teori akuntansi Islam bisa
dikembangkan? Dari pelajaran tentang konstruksi teori-teori akuntansi
konvesional ada sejumlah approach yang bisa ditempuh, seperti yang
dikategorikan oleh Belkaoui (1992). Belkaoui memilah-milah cara pendekatannya
dengan mengkategorikannya menjadi “tradisional,” “regulatory” dan yang
“lain-lainnya.”
Kategori terakhir ini termasuk
cara-cara pendekatan peristiwa (event), perilaku (behavioral),
sistem informasi manusia dan prediktif-positif, meski di sana-sini ada
ketidakjelasan pokok pikiran akibat tumpang tindihnya kategori-kategori
tersebut. Namun pula ada pendekatan induktif-empiris yang diperkenalkan
Whittington (1986) yang merupakan upaya untuk mengembangkan suatu teori
akuntansi berdasarkan generalisasi fenomena empiris. Pendekatan ini pula yang
ditempuh oleh badan-badan akuntansi profesional di Amerika dan Inggris, seperti
AICPA dan CCAB, di mana ada berbagai standar yang ditetapkan guna bisa mengatur
praktek-praktek akuntansi.
Dalam kurun dua dekade terakhir,
teori induktif-empiris telah masuk ke dalam teori akunting positif (PAT), di
mana para penganjurnya, Watts & Zimmerman (1986), berargumentasi bahwa
teori akuntansi haruslah positif. Itu untuk menjelaskan apa, dan membantu
memprediksi, peristiwa peristiwa masa mendatang. Bukan berusaha berkhotbah
tentang apa yang seharusnya dilakukan.
Inilah yang telah mendorong riset
pasar modal menjadi mainstream dalam akunting. Namun kemudian pendekatan
regulatory mengikuti pula penerapan paradigma keputusan-kegunaan. Kritik tajam terhadap
PAT lalu bermunculan (antara lain Christenson, 1983;Tinker & Puxty, 1995).
Dari titik pandang Islam, meski
tetap harus pula dipertimbangkan cara pengambilan keputusan-keputusan
strategisnya, hal tersebut, pertama, tak bisa menjadi pengganti bagi teori
normatif-deduktif karena antara lain suatu situasi positif bisa jadi merupakan
penyimpangan dari pemahaman normatif tentang Islam, sehingga tak bisa dijadikan
landasan bagi pengembangan suatu teori. Lain dari itu, kedua, Islam telah
memiliki prinsip-prinsip etika dan perilaku secara abadi, dan dengan demikian approach
yang tak mengindahkan prinsip-prinsip tersebut tak akan bisa mewujudkan
suatu masyarakat Islam.
Point pertama tersebut khususnya
benar jika dilihat bukti bahwa sekularitas dipisahkan dari hal-hal keimanan
dalam kehidupan Barat, yang dampaknya juga kembali mengenai lingkungan Islam.
Prinsip dan kebiasaan-kebiasaan akunting konvesional yang berasal dari approach
empiris-deduktif tampak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam (Gambling
& Karim, 1991;Khan, 1994a; Adnan & Gaffikin, 1998). Meski begitu,
dengan kecenderungan tetap dipraktekkan dan dapat diterima secara umum
sekarang, mengakibatkan adanya salah analis sehingga konsep akuntansi
konvensional dipandang cocok untuk Islam. Hal sama dapat terjadi jika teori
akuntansi Islam dikembangkan melalui pendekatan empiris-deduktif.
Dari perspektif Islam, salah satu
penggunaan yang mungkin untuk pendekatan positif ialah dalam menentukan
konsesus dan kesepakatan atas berbagai tafsir prinsip prinsip Syariah. Dalam
Islam, di mana prinsip tak dinyatakan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan
Sunnah dan lebih didasarkan pada penafsiran, berbagai aturan untuk suatu isu
bisa sampai ke tujuannya secara bersamaan. Oleh karenanya Muslim biasanya akan
mengambil opini mayoritas orang yang berpengetahuan untuk itu (Jumhur) sebagai
yang paling otentik. Dengan begitu, riset positif yang bertujuan menemukan
persepsi kaum ulama, sarjana dan mereka yang berilmu lainnya (termasuk para
akuntan?) akan sangat berguna dalam membentuk opini mayoritas untuk suatu isu.
Dalam pendekatan deduktif,
prinsip-prinsip teoritis akuntansi secara logis diperoleh lewat deduksi
berbagai asumsi dari aksioma atau prinsip-prinsip awalnya (Whittington, 1986).
Pendekatan “true income” dalam teori akunting merupakan bentuk paling
awal approach deduktif. Pendekatan ini berusaha menyelaraskan antara
laba akuntansi dengan laba ekonomi yang menjadi pegangan para ekonom, dan
dengan begitu sangat bergantung pada teori ekonomi.
Namun Gambling dan Karim (1991)
berargumentasi bahwa konsep income ekonomi tak bisa diterima dalam
perspektif Islam karena hal-hal yang tak bisa diterima itu begitu fundamental
bagi teori deduktif Barat. Misalnya, model tingkat ekonomi pengembalian modal (economic
rate of return on capital) yang membentuk basis bagi kalkulasi
pendapatan di muka dengan asumsi bahwa uang punya nilai waktu, yang dinyatakan
Gambling dan Karim sebagai hal yang tak ada dalam Islam. Atas dasar ini, bagian
dari teori akunting deduktif yang berlandasan teori ekonomi konvensional tampak
bukan sebagai model yang cocok untuk menciptakan teori akuntansi Islam.
Gambling dan Karim (1991) menyarankan approach normatif deduktif dalam
penetapan standar-standar akunting karena Muslim harus mematuhi Syariah baik
dalam aspek sosial maupun ekonomi kehidupan mereka.
Pendekatan ini menurut mereka
mencakup bagaimana memahami tujuan-tujuan laporan keuangan, rumus-rumus
akuntansi dan definisi konsep-konsep prinsip Syariah. Ini akan membentuk dasar
bagi kerangka struktural yang akan menjadi rujukan pengembangan prinsip-prinsip
akuntansi. Ini adalah metodologi terbaik untuk sampai pada sebuah teori
akuntansi Islami, karena prinsip atau aturan manapun yang didapat akan sejalan
dengan pandangan serta nilai nilai Islam.
Lebih jauh, akuntansi teristimewa
sangat penting bagi para investor Muslim, katakan misalnya dalam aturan bisnis
Mudharabah atau Musharakah, karena larangan riba dalam Islam membuat mereka tak
bisa mengharapkan pendapatan pasti dari modal yang telah dikeluarkan, tak
pandang bagaimanapun kinerja perusahaan investasinya. Oleh karenanya evaluasi
atas hasil investasi mereka tergantung pada konsep akuntansi di luar Islam,
karena tak adanya sumber informasi lain
Karim (1995) menawarkan
dua metode di mana akuntansi Islami akan bisa tercapai. Pertama, tetapkan
sasaran-sasaran berlandasan pada prinsip-prinsip Islam dan ajaran-ajaran Islam.
Pertimbangkan sasaran-sasaran tersebut dan bandingkan dengan
pemikiran-pemikiran akuntansi kontemporer yang ada. Kedua, mulai dengan sasaran-sasaran
yang ada dalam pemikiran akuntansi kontemporer, kemudian bandingkan dengan
Syariah, lalu terima yang sejalan dengan Syariah dan tinggalkan yang tidak
sejalan. Lalu, kembangkan hasil-hasilunik yang menjadi temuannya.
AAOIFI (Accounting
and Auditing Organization of Islamic Financial Institutions) sejak 1996
menerapkan cara pendekatan yang kedua tersebut. Lembaga ini berpendapat bahwa
cara itu konsistendengan prinsip-prinsip Islam lebih luas bahwa suatu pandangan
tak selalu memerlukan konsep yang mesti diambil dari Syariah.
Ditegaskan, cara
pendekatantersebut sejalan dengan prinsip hukum Islam tentang hal-hal yang
diperbolehkan (ibaha, permissibility) bahwa segala sesuatu diizinkan
kecuali untuk hal-hal yang jelas dilarang Syariah. Dengan demikian, konsep
informasi akuntansi berguna, seperti relevansi dan reliabilitas, bisa begitu
saja dimasukkan dalam praktek akuntansi Islami oleh AAOIFI.
Salah satu faktor kunci
yang membedakan institusi-institusi keuangan Islam ialah perlunya mereka
memperlihatkan kepatuhan (compliance) terhadap Syariah dalam segala
aktivitas mereka. Di sini kurang adanya konsensus mengenai apakah
transaksi-transaksi atau aktivitasaktivitas tertentu telah dipatuhi.
Hal ini bisa menyebabkan
kebingungan di antara para praktisi dan customer, selain akan membatasi
penerimaan dan pengakuan lebih luas akan konsep tentang keuangan Islam.
Industri keuangan Islam pun dengan demikian hanya “dikendalikan” oleh sedikit
pakar terkemuka Syariah yang kerap bekerja untuk bank-bank berbeda atas
penugasan komite Syariah. Kondisi ini juga akan bisa membatasi inovasi produk
pengetahuan tentang Syariah. Ujung-ujungnya ialah menunjukkan diri patuh
terhadap Syariah akan sulit karena institusi-institusi yang berbeda punya
model-model governance mereka sendiri. Mereka menggunakan itu untuk
menetapkan dan menguji kepatuhan mereka.
Hasil riset ini menawarkan hal-hal berikut yang bisa
dijadikan pegangan:
1. Identifikasi prinsip-prinsip etika dan akuntansi Syariah dalam
kaitannya dengan bisnis serta berbagai akitvitas lain yang mencakup fidusiari.
Kemudian pertimbangkan dampak-dampaknya bagi akuntasi. Bandingkan itu dengan
prinsipprinsip di mana bisnis gaya Barat dan organisasi-organisasi lainnya
beroperasi di bawah kapitalisme.
2. Identifikasi sasaran-sasaran utama dan pengganti bagi akuntansi
Islam berdasarkan prinsip-prinsip etika Islam tersebut, dan pertimbangkan
sasaransasaran itu dengan pemikiran akuntansi kontemporer. Langkah ini jangan
terbatas pada pemikiran akuntansi arus besar (mainstream) saja, karena
“pengembangan dari pelaporan narratif dan non-traditional telah
sedemikian meningkatnya sehingga para akuntan modern tak bisa lagi untuk tak
mengindahkannya (Mathews & Perera, 1991). Perbandingan dengan pemikiran
akuntansi modern bisa membuka jalan bagi dua maksud: pertama, identifikasi
alternatif bagi teknik-teknik akuntansi yang dikembangkan di Barat dan yang
bisa diterapkan ke dalam akuntansi Islami, dan, kenali prinsip-prinsip
akuntansi konvensionalyang tak berbenturan dengan akuntansi Islami.
3. Identifikasi landasan teoritis dari akuntansi Islami, seperti
misalnya apakah itu accountability, stewardship atau decisionusefulness.
Ini terpaut erat dengan sasaransasarannya dan kemungkinan tak akan bisa
terpisahkan.
4. Identifikasi para pengguna informasi akuntansi Islami, dan periksa
untuk apa informasi itu mereka gunakan. Sampai pada suatu batas tertentu,
pengunaan penggunaanya akan bisa di identifikasi lewat cara mempertimbangkan
atuaran-aturan etika bisnis Islami.
5. Kembangkan ciri-ciri akuntansi Islami, misalnya informasi yang
diperlukan serta prinsip-prinsip evaluasi dan pengungkapan (disclosure)
yang akan memasukkan prinsip prinsip etika bisnis Islami. Juga, ini akan
mencapai sasaran-sasaran akuntansi Islami sampai sejauh yang belum pernah
diberikan definisinya oleh Syariah.
6. Upayakan konsensus di antara para ilmuwan dan akuntan mengenai
sasaransasaran serta ciri-ciri tersebut, karena inilah salah satu metode untuk
sampai kepada aturan Islam yang tak terdapat dalam Al-Qur’an (Kamali, 1991).
Jika hasil riset ini telah secara benar tiba pada sasaran sasaran serta
ciri-ciri akuntansi Islami, maka mayoritas Muslim yang berpengetahun seharusnya
sepakat, karena sebagaimana ditegaskan dalam hadist “ummatku (dan umat manusia
seluruhnya) tak akan sepakat mengenai suatu kesalahan,” meski tentu di
sana-sini akan terdapat ketidak setujuan secara individual.** (Pratama Hadi).
BAB II
Akuntansi Syar iah vs Barat
Tak mudah menerapkan akuntansi syariah, sementara sistem Barat
terbukti “gagal”. Sayangnya, masih banyak perdebatan dalam banyak aspek dalam
menerapkan sistem yang Islami tersebut. Mengapa ?
Bangkitnya akuntansi syariah di
Indonesia tidak hanya karena terpicu terjadinya skandal akuntansi sebuah
perusahaan telekomunikasi yang berbasis di Amerika Serikat, WorldCom beberapa tahun
silam. Tetapi akuntan syariah muncul sejalan dengan adanya kesadaran untuk
bekerja lebih jujur, adil dan tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan
Al-Hadist. Amin Musa menjelaskan, bangkitnya sistem akuntansi syariah itu
dilatar-belakangi banyaknya transaksi dengan dasar syariah, baik yang dilakukan
lembaga bisnis syariah maupun non syariah. “Dengan animo itu, perlu adanya
pengaturan atau standar untuk pencatatan, pengukuran, maupun penyajian sehingga
para praktisi dan pengguna keuangan mempunyai standar yang sama dalam
akuntansinya,” kata salah satu angota Komite Akuntansi Syariah (KAS) kepada Akuntan
Indonesia di Jakarta, belum lama ini.
Sebelumnya, banyak orang
bertanya-tanya, bagaimana mengaudit dengan sistem syariah, sementara sistemnya
belum dibangun secara permanen, mengingat cakupan standar umumnya mencakup atas
ruang lingkup penerapan, karekteristik transaksi, pengukuran dan penyajian
transaksi secara syariah.
Karena cakupannya luas, sampai kini
para anggota KAS masih sering melakukan pembahasan masalah itu, meski sering
terjadi perbedaan antara anggota yang berlatar-belakang syariah dengan praktisi
dan akademisi tentang suatu hal tertentu.
“Akan tetapi ada beberapa hal bisa di selesaikan,” katanya.
Sebagaimana diketahui, dalam sistem akuntansi konvensional yang berbasis pada
pembukuan mengakui adanya utang atau pemasukan yang sifatnya belum riil, accrual
basis, ini lawan dari cash basis. Accrual basis tersebut
sudah terbukti banyak kegagalan, utamanya dalam mendorong para akuntan lebih
jujur dan adil, sehinggga dianggap melanggar syariah. Pengamat ekonomi Dr.
Syahrir, mengakui para ahli hukum dan akuntan korporasi AS memang sangat ahli
dalam “bermain” pada letter of the law, tetapi samasekali meniadakan spirit
of the law atau jiwa rasa keadilan dalam lembaga hukum.
Perusahaan WorldCom yang mempunyai
klaim asset US$107 miliar, setara dengan Rp 963 triliun itu, kini gulung tikar
alias bangkrut karena harga sahamnya yang semula mencapai US$ 80 per lembar
tinggal US$ cent 9. Inilah dongeng kebangkrutan terbesar sepanjang sejarah
perusahaan Amerika yang selalu mengagung-agungkan sistem akuntansi berbasis
kapitalisme itu. Sebelum itu juga pernah terdengar cerita, terjadi skandal
akuntansi pada tigaperusahaan yakni bidang energi (Enron),
obat-obatan (Merck), dan mesin cetak (Xerox).
Ketiga perusahaan itu sempat “sempoyongan” karena diguncang skandal manipulasi
keuangan. Enron membukukan keuntungan anak perusahaan dimasukkan
dalam laba pembukuan perusahaan induknya untuk mengangkat harga saham di pasar.
Itu cerita dari belahan dunia sana (baca negara maju).
Perbedaan Itu
Sampai sejauh ini, masalah sistem accrual
basis yang konvensional dan cash basis yang syariah menjadi
perdebatan seru dalam KAS. Secara ekstrem kubu syariah bahkan
mengingatkan apa yang terjadi pada perusahaan di benua lain itu juga
bakal terjadi di Indonesia, termasuk pada perusahaan berbasis akuntansi
syariah.
Mantan Dirut Bank Muamalat,
Zainulbahar Noor, setidaknya meyakini akan hal itu. “Tinggal tunggu waktu saja,
karena sistem akuntansinya sama saja. Tak ada perbedaan sistem akuntansi yang
dipakai di AS maupun di Indonesia,” kata Zainul. “Karena induknya sama, maka
dampaknya pun akan sama.” Mantan perintis Bank Muamalat yang juga dosen pada
Universitas Assafi’iyah itu juga memperkirakan, kejadian serupa bukan hanya
dapat terjadi pada perusahaan lokal yang auditnya berbasis pada akuntansi
konvensional, tetapi juga dapat menerpa pada perusahaan yang auditnya berbasis
syariah. Mengapa? Karena sistem accrual basis juga diterapkan pada akuntansi
syariah. “Ini jelas melanggar syariah Islam,” tandas Zainulbahar Noor.
Sistem accrual basis itu,
katanya, telah mengakui adanya pendapatan yang terjadi di masa yang akan
datang, karena syariah Islam melarang untuk mengakui suatu pendapatan yang
sifatnya belum pasti. Hal ini disebabkan karena masa yang akan datang adalah
kekuasaan dan wewenang Allah sepenuhnya untuk mengetahuinya (Baca QS
Al-Baqarah:255). Dengan kata lain, tegas Zainul, penerapan metode accrual
basis dalam pengakuan pendapatan akan menyebabkan bank, asuransi atau usaha
yang berbasiskan pada syari’ah melanggar syariat Islam. “Bahkan, saya dapat
menyimpulkan penerapan metode accrual basis merupakan loop hole
bagi terjadinya korupsi,” katanya, seraya mengatakan, dari dulu saya tidak
setuju dengan usulan teman-teman dari Ikatan Akuntan Indonesia yang menyarankan
Bank-bank syariah juga menggunakan sistem accrual basis.
Sistem tersebut tidak cocok dalam
syariah, karena memberikan banyak pintu untuk memungkinkan terjadi penyimpangan
loop hole yang mengarah terjadinya korupsi. Ia mencontohkan, pada
tahap awal dimulailah dalam bentuk pempublikasian neraca dan laba rugi akhir
tahun yang bersifat window dressing. “Kita mengetahui betapa
banyaknya bank-bank yang menggelembungkan angka total pendapatan akhir tahun
dengan maksud untuk menggelembungkan angka tingkat laba melalui perlipatgandaan
angka pendapatan, laba, dengan mengkredit pos pendapatan dari pendebetan
pendapatan yang akan diterima (Interest Earned Not Collected/IENC).
Cara ini dilakukan dalam upaya meyakinkan masyarakat bahwa bank bersangkutan
menguntungkan untuk menarik dana masyarakat lebih banyak dan maksudmaksud
lainnya, antara lain mengarah pada tindakan kriminal dalam keuangan bank.”
Bahkan, metoda accrual basis juga dapat disalahterapkan untuk menyulap
bank yang tadinya merugi menjadi bank yang untung.
Korupsi apa yang terjadi dalam hal
ini? Pada peringkat awal adalah tindakan korupsi dalam pengertian universal
yaitu cacat moral dengan ‘’memalsukan’’ angka dalam jumlah yang tidak
sebenarnya, melaksanakan perbuatan yang tidak wajar, sebuah perusakan
integritas dan kebajikan umat.
Pada peringkat berikutnya, akan
terjadi pengkorupsian dalam arti pemalsuan angka-angka neraca dan laba rugi
yang semakin melebar dan membengkak sehingga membangkrutkan bank atau
perusahaan terkait. Kejadian yang menyimpang ini kerap baru diketahui secara
mendadak sementara publik telah terninabobokan oleh prestasi finansial yang
semu tersebut. “Itulah sebabnya, saya sejak awal kurang setuju dengan metode
itu. Meskipun pendapat saya itu tidak populer saya tetap yakin sistem cash
basis pada usaha syariah masih yang terbaik,” kata Zainul. Kenyataan saat
ini, katanya, bank-bank syariah atau usaha yang berbasis syariah wajib
memasukkan pendapatan yang akan ditagih menjadi pendapatan riil di dalam
laporan pendapatan rugi labanya, sesuai dengan aturan yang ditetapkan pada
Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia / PAPSI tahun 2003.
Pendapat Zainul ini mendapatkan
perlawanan sejumlah anggota Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Ellya Noorlisyati,
praktisi akuntan yang juga wakil ketua IAI Cabang Jakarta adalah salah satu
tokoh yang tidak sependapat dengan Zainulbahar. Ia mengingatkan bahwa suatu
janji itu berdasarkan syariah juga wajib dipenuhi.
Ellya mengilustrasikan, seseorang
yang m e n y e w a k a n rumahnya. Jika si A m e n g o n t r a k k a n sebuah
rumah, Rp 500 ribu per bulan, maka dia akan membukukan pendapatan selama satu
tahun dari sewa rumah sebesar Rp 6 juta.
Metode pembukuan seperti itu tidak
akan bertentangan dengan kaidah Islam, karena sudah terjadi kesepakatan kontrak
sewa, pemilik rumah dengan penyewa dengan harga Rp 500.000 per bulannya.
Accrual basis atau
dasar akrual, kata Ellya, adalah suatu proses akuntansi untuk mengakui
terjadinya peristiwa atau keadaan nonkas. Accrual basis mengakui
pendapatan dan adanya peningkatan yang terkait dengan asset
(aktiva) dan beban (expenses) serta peningkatan yang
terkait dengan utang (liabilities) dalam jumlah tertentu yang
akan diterima atau dibayar (biasanya) dalam bentuk kas di masa yang akan
datang.
Sistem itu juga sudah diadopsi lewat
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 59 dan juga Pedoman Akuntansi
Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) yang mengharuskan bank syariah untuk
menerapkan metode accrual basis dalam pengakuan pendapatan dan beban
mereka. Dalam sistem accrual basis, kata Ellya, dasar akrual digunakan untuk
mengakui adanya pendapatan dan atau peningkatan aktiva yang akan diterima di
masa yang akan datang pada saat transaksi tersebut terjadi.
Misalnya, sebuah perusahaan
melakukan penjualan secara kredit, maka perusahaan tersebut akan mencatat
adanya piutang (hak perusahaan tersebut terhadap pembeli yang akan diterima di
masa yang akan datang). “Model ini tampaknya tidak bertentangan dengan kaidah
di dalam Islam,” katanya meyakini.
Nah, perdebatan soal ini masih berlangsung. Dan tampaknya
diperlukan adanya titik temu agar persoalan syariah tidak hanya sekadar
perdebatan belaka, melainkan menjadi solusi bersama untuk mencapai nilai
Islami. Semoga.(MY)
PENUTUP
Kesimpulan:
Berdasarkan paparan diatas, sementara dapat ditarik
keismpulan bahwa rerangka prinsip akuntansi syariah didasarkan pada konsep
syariah, meliputi al-Qur’an dan Hadits.
Pada umumnya yang dimaksud dengan akuntansi syariah
adalah adalah seni dalam
mengukur, berkomunikasi dan menginterpretasikan aktivitas keuangan yang sesuai
dengan aturan-aturan hukum islam.
Ketentuan syariah tersebut sangat mempengaruhi landasan
konseptual dan landasan operasional akuntansi syariah.
Memang tidak dapat disangkal, sejak momentum
perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban
dunia beralih ke barat, pengaruh nilai-nilai Barat mempengaruhi secara
sangat signifikan konsep dan praktek akuntansi yang akhirnya kita pelajari dan
praktikkan sampai sampai sekarang.
Penerapan Akuntansi syariah sampai saat ini masih
diperdebatkan oleh ahli-ahli akuntans,
Refrensi:
1. Akuntansi
Perbankan Syariah DR.Muhammad,M.AG . Dwi Suwiknyo,
SEI, MSI , Trust Media .perum Dirgantara Asri 1/7 sleman jogjakarta.2009
3. Hukum
Perbankan Syariah, Prof.Dr.H. Zainuddin Ali,M.A.
Sinar Grafika jakarta 2010
Muhammad
Noer Ali
(106020255)
Progdi: muamalat
KONSEP AKUNTASI
SYARIAH
(Tugas Makalah Smester IV)
BY: M.Nur Ali (106020255)
PROGAM STUDI: MUAMALAT
MATERI: PERBANKAN
SYARIAH
DOSEN: NANANG YUSRONI SE.M.Si.
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
Jl. Menoreh Tengah X No.22 Sampangan
Semarang
Daftar isi
1. Kata
pengantar.......................................................2
2. Bab i. Akuntasi
syariah.......................................3
a.
Bagaimana teori dan konsepnya...... ..............3
3. Akuntansi syariah
vs barat.............................9
a.
Perdebatan itu.......................................................... 10
b.
Penutup / kesimpulan........................... ........... 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar