Abstrak
FAOZAN TOBRONI LOMBOK |
Di sini penulis akan mencoba menguraikan tentang jiwa
kewiraswastaan. Sebelumnya definisi kewiraswastaan dan kewirausahaan memang banyak dibuat oleh para ahli, tetapi mereka melihat
dari perspektifnya masing-masing. Agar pengertian keduanya dapat diterapkan
sesuai dengan lingkungan negara kita, maka telah disepakati definisi sebagai
berikut ini.
Kewirausahaan adalah kesatuan terpadu dari semangat,
nilai-nilai, dan prinsip serta sikap, kuat, seni, dan tindakan nyata yang
sangat perlu, tepat dan unggul dalam menangani dan mengembangkan perusahaan
atau kegiatan lain yang mengarah pada pelayanan terbaik kepada langganan dan pihak-pihak
lain yang berkepentingan termasuk masyarakat, bangsa dan negara.
Jiwa Kewiraswastaan (entrepneurship) adalah kemampuan dan keinginan
seseorang untuk berisiko menginvestasikan dan mempertaruhkan uang, waktu, dan
usaha untuk memulai suatu perusahaan yang sukses dan berhasil. Keuntugan
berwiraswasta adalah kemungkinan untuk mengatur tingkat keuntungan yang diharapkan,
melatih ketajaman intuisi bisnis, meningkatkan sifat tanggung jawab terhadap
dirinya sendiri, dan memiliki wewenang untuk memerintah dan mengelola
karyawannya. Kerugiannya adalah tanggung jawab yang besar terhadap kelangsungan
usaha, perlunya menjaga relasi yang baik terhadap pihak-pihak terkait dalam
rangka mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan, waktu kerja yang sangat
banyak maupun bentuk yang berkaitan dengan keluarga.
Unsur penting dalam membangun sebuah wiraswasta ialah keberanian,
keutamaan, dan kekuatan. Keberanian memiliki arti dimana kita harus
memiliki keberanian dalam menjalankan suatu usaha, berani mengambil sebuah
keputusan, dan berani mengambil resiko yang harus
ditanggungnya. Keutamaan memiliki arti dimana kita harus menekuni
bidang usaha yang kita jalankan, kita tidak boleh terbata-bata dalam
menjalankan suatu usaha, karena bila terjadi seperti itu, maka semua itu hanya
membuang-buang waktu, materi, dan pikiran kita. Kekuatan memiliki arti
dimana bila kita menjadi wiraswastawan, kita harus memiliki kekuatan sendiri,
kita tidak boleh mengandalkan bantuan orang lain, dan kita harus mampu
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Uang bagi wiraswasta bukanlah tujuan. Dia tertarik
kepada imbalan uang atau keuntungan terutama karena merupakan umpan-balik yang
dapat mengukur pencapaian hasil dari pekerjaannya. Uang bagi wiraswastawan
sejatinya bukanlah
perangsang berusaha, tetapi lebih merupakan ukuran keberhasilan.
Demikianlah
sekedar prolog untuk memulainya pembahasan artikel ini selanjutnya penulis akan
menguraikan bagaimana menumbuhkan jiwa wiraswasta pada diri sendiri maupun
orang lain.
BAB
I pendahuluan
Latar belakang
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan
semesta alam. Tak lupa shalawat serta salam kita hanturkan ke baginda Nabi
besar kita, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga (ahlubait), sahabat (ahlusunah
wal jamaah) serta para pengikutnya hingga akhir zaman.Amien.
Pada kesempatan kali ini kami akan berusaha mencoba membahas suatu
masalah yang kini sedang digencarkan oleh intrepreneure, yaitu pembahasan jiwa
wiraswasta dalam islam. Kami berusaha seobjektif mungkin meskipun pembahasan
kami hanya sebatas pada kajian pustaka semata, tidak melakukan investigasi pada
praktek lapangan. Namun tidak mengurangi
pembahasan kami.
Kewiraswastaan merupakan suatu hal yang sangat ingin dilakukan oleh
sebagian orang. Profesi ini mulai banyak di gemari oleh orang-orang dari
berbagi kalangan masyarakat. Hal ini sebagai batu loncatan atas
kegagalan-kegagalan dalam mencari pekerjaan. Kewirausahaan merupakan suatu
profesi mandiri dan tidak bergantung dengan orang lain bahkan dikemudian hari
ini bisa menciptakan suatu lapangan pekerjaan. Dengan ketekunan dan
ktreatifitas yang dimiliki oleh seorang wirausahawan, akan mampu mendobrak
persaingan globalisasi yang berkembang pesat. Untuk menjadi wirausahawan
tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, perlu adanya pendidikan,
pelatihan, dan juga menanamkan jiwa wiraswasta dalam diri.
Banyak sekali pendidikan atau pelatihan tentang berwiraswasta, baik
dalam pendidikan formal mapun nonformal. Pedidikan kewirausahaan dalam sekolah
atau kampus bertujuan untuk membekali jiwa wiraswasta bagi mahasiswa, dan
diharapkan setelah lulus nanti mampu mengeksporasi dan mengembangkan bakat
kewirausahaan untuk mulai merintis suatu inovasi baru dalam bidang usaha dan
bersaing dengan perkembangan arus globalisasi. Selain pendidikan wirausaha
disekolah dan University penanaman jiwa wirausaha sejak dini juga harus
dilakukan terutama dilingkungan keluarga dan masyarakat. Seorang
wirausahawan bisa bertindak sebagai karyawan sekaligus manajer dan owner bagi
usahanya, sehingga maju atau mundurnya usaha tersebut tergantung dari
kesungguhan yang bersangkutan. Jika kancah bisnis tersebut dijalani dengan
tekun, kerja keras, penuh semangat dan tidak mudah putus asa, niscaya usaha
tersebut pasti akan meraih sukses.
Sekilas pengantar yang merupakan testimony dari artikel ini, kami
akan menjelaskan secara utuh, mengenai pengertian hingga pembahasan jiwa
wiraswastawan. Pada bab I Merupakan Pendahuluan yang membahas tentang kajian
teori secara umum, dan pada bab II Merupakan Pembahasan, mengenai “menggali
jiwa wiraswasta dalam Islam” “bagaimanakah meneladani akhlak Rasulullah SAW dan
mengaplikasikan dalam jiwa wiraswastawan yang bisa menumbuhkan, membangkitkan, dan
membangun ekonomi dalam Islam?.?.. bab III merupakan Kesimpulan dari pembahasan
kami.
BAB
II
Pembahasan
Memilih Jalan
Pintas
Di Era Transparansi globalisasi ini, informasi semakin cepat
diakses semakin instan untuk didapatnya, sehingga menjadikan umat ini dirasuki
sifat kemalasan untuk bekerja keras, untuk berusaha sesuai dengan kemampuan manusia
itu sendiri. Adapun mental suka mengambil jalan pintas adalah mentalitas yang
bernafsu segera mencapai tujuan tanpa kerja keras, setahap demi setahap. Dalam
masyarakat kita saat ini, tampak banyak usahawan baru yang mau mencapai
dan memamerkan taraf hidup yang gemerlap dan penuh kemewahan dengan
cepat, melalui cara yang tidak wajar, atau dengan mengambil keuntungan sebesar-besar
‘mumpung’ ada kesempatan tanpa menghiraukan jangka panjangnya.
Seorang karyawan atau pegawai, terutama pegawai negeri, yang ingin
segera mencapai fasilitas-fasilitas pangkat atau tingkatan tinggi dalam waktu
sesingkat mungkin tanpa mau berjuang, tak segan-segan untuk menyuap. Dengan
suap ini, tanpa bertele-tele bisa naik pangkat. Di sini, wawasan keilmuan,
kerja keras, prestasi, maupun ketrampilan hanya dipandang sebelah mata. Yang
penting ada uang pelicin, kedudukan pasti didapat.
Seorang yang belum kerja pun, untuk mendapatkan pekerjaan, terutama
untuk menjadi pegawai negeri dan tentara, mereka tak segan-segan menyuap supaya
lolos dalam seleksi masuk, tanpa peduli berapapun tarifnya. Mereka ini tak mau
tahu bahwa tujuan diadakan test seleksi adalah untuk menyaring agar diperoleh
pegawai-pegawai yang kapabel dengan bidang yang akan dimasuki. Mereka tak mau
berjuang mencari ilmu untuk meningkatkan kapabilitasnya. Mereka lebih suka
menggunakan uangnya untuk menyuap.
Fenomena suka ambil jalan pintas ini mulai muncul ketika penjajah
meninggalkan negeri ini. Pada saat itu, banyak lowongan-lowongan pekerjaan yang
ditinggalkan penjajah. Sedangkan lowongan tersebut harus segera diisi supaya
kehidupan bernegara bisa segera berjalan, meski mereka kurang kapabel.
Memang, di tempat-tempat lain, mental ingin mencapai jalan pintas
itu juga ada. Bedanya, di negeri kita hal itu tampil sangat ‘telanjang’,
terutama pada masa orde baru dan era reformasi ini. Sedangkan di sebagian
negera-negara lain, perilaku ingin jalan pintas ini tidak begitu
menonjol, karena ‘nafsu’ itu dikendalikan dan dikekang.
Jika
kita amati sifat-sifat di atas, jelas bahwa mentalitas-mentalitas tersebut
sangat bertentangan dengan karakter yang harus dimiliki seorang
wiraswastawan. Selanjutnya, menurut uraian di atas, suatu bangsa yang
kekurangan manusia bermental wiraswasta akan mengalami kemacetan
pertumbuhan ekonomi dan keterbelakangan. Bukankah seperti keadaan bangsa kita
saat ini ?
Meneladani Jiwa Wiraswasta
Nabi Muhammad SAW adalah sebuah pribadi yang lengkap dan sempurna
(Insan Al-Kaamil) yang tak habis-habisnya digali dan dianalisa baik oleh umat
Islam maupun kalangan cendikiawan di luar Islam. Buku mengenai sosok Nabi
Muhammad SAW yang biasa dikenal dengan “sirah Muhammad” sudah banyak ditulis
orang baik oleh ulama terdahulu maupun oleh cendikiawan kontemporer. Tak heran
jika hampir seluruh aspek kehidupan Nabi dapat dikatakan sudah pernah
diungkapkan mulai dari peran Nabi sebagai negarawan, panglima perang, penyantum
yatim piatu, hingga perannya sebagai pemimpin umat dan penyebar agama.
Sungguhpun demikian di lain sisi sangat disayangkan bahwa sosok
Muhammad SAW sebagai seorang pedagang dan entrepreneur masih terabaikan. Ini
tentu saja hal yang patut disesalkan, mengingat demikian luasnya peran Rasul
dalam bidang ini dan luasnya Khazanah Muamalah Islam yang masih terpendam.
Perhatian terhadap aspek bisnis Muhammad SAW ini mulai mengemuka
seiring dengan munculnya kembali konsep ekonomi Islam. Selain membangun
kerangka teori ekonomi islam dan berbagai aspeknya, juga dicari tokoh yang
dapat dijadikan teladan dalam pengelolaan sumber-sumber ekonomi. Muhammad SAW
merupakan figur yang tepat dijadikan sebagai teladan dalam bisnis dan prilaku
ekonomi yang baik. Beliau tidak hanya memberikan tuntunan dan pengarahan
tentang bagaimana kegiatan ekonomi dilaksanakan, tetapi beliau mengalami
sendiri menjadi seorang pengelola bisnis atau wirausaha.
Kewirausahaan (entrepreneurship) tidak terjadi begitu saja tetapi
hasil dari suatu proses yang panjang dan dimulai sejak beliau masih kecil.
Pengalaman masa kecil juga dapat menimbulkan dorongan dan daya kritis, kemauan
mencoba, disiplin, dan sebagainya yang akan membantu seseorang untuk
mengembangkan rasa percaya diri serta keinginan berprestasi.
Sejak manusia lahir ke dunia, ia telah dibekali Allah berupa akal pikiran
guna memecahkan aneka ragam persoalan, serta wahyu (al Qur’an) guna memberi
petunjuk jalan dalam samudera kehidupan. Ke-dua-dua-nya, akal pikiran dan
wahyu, harus berjalan berdampingan,agar selalu terjadi keseimbangan dan tidak
terjadi ketimpangan. Allah menghendaki ummat-Nya agar menjaga keseimbangan
antara kesejahteraan di dunia (fid dunya hasanah) dan keselamatan di
akhirat (fil akhirati hasanah) Allah telah menyerahkan alam seisinya guna
kesejahteraan manusia . Dijadikan-Nya manusia sebagai khalifah di muka bumi, agar
mau dan mampu mengolah isi alam dengan tanpa mengenal lelah.
Dalam dunia wiraswasta (wirausaha,enterprenuership) meniali tinggi
rendahnya derajat manusia adalah pada kemampuan dan keampuhan berprestasi (need
of achievement) dengan mempertimbangkan bahwa waktu jangan di-sia-sia-kan.
Dalam istilah agama menilai -derajat manusia diukur pada iman dan amal
shaleh-nya. Ini mendorong manusia harus selalu peka terhadap lingkungan dan
menganalisa keadaan agar selalu keadaan lebih baik dari semula. Kecerdasan akal
pikiran manusia harus diimbangi dengan kemampuan berprestasi. Kecerdasan akal
pikiran yang berprestasi tinggi harus diimbangi dengan kekuatan iman. Bagi
orang yang beriman segala bentuk hambatan dan rintangan dianggapnya sebagai
cobaan dan ujian Allah, bukan sebagai penghalang yang tak dapat diatasi. Bahkan
dengan segala hambatan dan rintangan itu manusia akan lebih memiliki kesungguhan
dan ketangguhan.
Dalam dunia wiraswasta dikenal sebutan : mampu mengenal problimatika diri” Kegagalan
dianggapnya sebagai sukses yang tertunda,sedangkan kesalahan dan kekalahan
dipakai sebagai cambuk untuk memperoleh kemenangan. Seorang yang
memiliki iman tangguh sedikitpun tak pernah mengeluh,dan semangatnya pun tak
pernah lumpuh,sebab senantiasa mau mengoreksi kesalahan dan kekalahan,sebagai
tanda kelemahan makhluk Allah.
Abad Keemasan
Rasulullah,(Nabi Muhammad saw) adalah contoh suri teladan dalam
sepak-terjang kehidupan,yang tidak pernah mengenal lelah dan menyerah dalam
situasi dan kondisi bagaimanapun. Itulah yang disebut : uswatun hasanah
(suri teladan yang baik). Nabi saw yang dahulunya hanya seorang anak peng-gembala
dapat mengadakan revolusi total menghadapi Bangsa Arab jahiliyah saat itu yang
dikenal sebagai masyarakat yang sangat jahil dan tidak ber-peri-kemanusia-an.
Akan tetapi dengan keyakinan,iman dan keteguhan pendiriannya,hanya dalam
masa 22 tahun seluruh jazirah Arab berhasil beliau taklukan. Betapa besar
prestasi beliau. Uswatun hasanah inilah yang harus menjadi pedoman para
wiraswastawan/wirausahawan.
Islam mengalami kejayaan,ketika akal pikiran dan iman/wahyu berjalan
berdampingan, sehingga orang Barat menyebutnya: Abad Keemasan (Golden Age)- nya
Islam. Dimana kaum Muslimin menghadapi keadaan dengan penuh keberanian,dimana
kebenaran yang diperjuangkan dengan penuh keyakinan sedikitpun tak tergoyahkan.
Ruh jihad dan ijtihad yang diwariskan oleh Rasulullah diamalkan dengan penuh
semangat. Sekali usaha dan kemauan dicetuskan,harus berjalan sampai titik darah
penghabisan.Sekali terjun ke gelanggang, mereka harus menang. Tak pernah lari
dari kenyataan, sebab apa yang dihadapi dianggap tugas dan kewajiban. Akan
tetapi ketika keyakinan sudah mulai rapuh,semangat sudah mulai lumpuh, penyakit
perpecahan menjadi kambuh, datanglah negara Barat yang telah lama menunggu saat
kelengahan dan perpecahan ummat Islam. Satu demi satu negara Islam menjadi
daerah jajahan negara Barat.
Setelah menyadari atas kelengahan dan perpecahan ummat Islam maka
terjadilah masa pembaharuan. Dimana pembaharuan itu bermaksud menangkap kembali
makna yang terkandung dalam ajaran Islam sebagai doktrin yang mampu memecahkan
berbagai persoalan dalam liku-liku kehidupan. Dibangkitkan semangat jihad dan
ijtihad,agar memiliki keberanian serta percaya terhadap kemampuan diri sendiri.
Di Indonesia semangat pembaharuan itu pertama kali masuk di daerah Sumatera
Barat yang dipelopori oleh Imam Bonjol sehingga melahirkan Perang Paderi. Baru
sesudah itu semangat pembaharuan merembes ke Jawa. Lambat laun ummat Islam
memiliki kembali harga diri dan mulai percaya pada kekuatan diri sendiri. Untuk
itu bagaimana membenahi semangat persatuan terutama di kalangan usahawan guna
menghadapi musuh kaum kolonial dan dalam dunia perdagangan lahirlah Serikat
Dagang Islam (SDI).
Prinsip-Prinsip Bisnis Rasulullah SAW
Nabi Muhammad telah
meletakkan dasar-dasar moral, manajemen dan etos kerja mendahului zamannya
dalam melakukan perniagaan. Dasar-dasar etika dan manajemen bisnis tersebut
telah mendapat legitimasi keagamaan setelah beliau diangkat menjadi Nabi.
Prinsip-prinsip etika bisnis yang diwariskan semakin mendapat pembenaran
akademisi dipenghujung abad ke-20 atau awal abad ke-21. Prinsip bisnis modern,
seperti tujuan pelanggan, pelayanan yang unggul, kompetensi, efisiensi,
transparansi, semuanya telah menjadi gambaran pribadi dan etika bisnis Nabi
Muhammad SAW ketika ia masih muda. (Yafie, 2003: 11-12).
Ada beberapa prinsip
dan konsep yang melatarbelakangi keberhasilan Rasulullah SAW dalam bisnis,
prinsip-prinsip itu intinya merupakan fundamental Human Etic atau sikap-sikap
dasar manusiawi yang menunjang keberhasilan seseorang. Menurut Abu Mukhaladun
(1994:14-15) bahwa prinsip-prinsip Rasulullah meliputi Shiddiq, Amanah dan
fatanah. Prinsip-prinsip itu adalah:
1. Shiddiq
Rasulullah telah melarang pebisnis
melakukan perbuatan yang tidak baik, seperti beberapa hal dibawah ini.
a. Larangan tidak menepati janji yang
telah disepakati.
Ubadah bin Al Samit menyatakan bahwa
Nabi SAW bersabda: “berikanlah kepadaku enam jaminan dari kamu, aku menjamin
surga untuk kamu: 1) berlaku benar manakala kamu berbicara, 2) tepatlah
manakala kamu berjanji…(HR. Imam Ahmad dikutip dari Syeikh Abod dan Zamry
Abdul Kadir, 1991: 102)
b. Larangan menutupi cacat atau aib
barang yang dijual.
Apabila kamu menjual, katakanlah:
“tidak ada penipuan”. (HR. Imam Bukhari dari Abdullah bin Umar r.a. dikutip dari Yusanto dan
Muhammad K.W, 2002:112)
Tidak termasuk umat Nabi Muhammad
seorang penjual yang melakukan penipuan dan tidak halal rezki yang ia peroleh
dari hasil penipuan.
Bukanlah termasuk umatku, orang yang
melakukan penipuan. (HR. Ibnu Majah dan Abu Dawud melalui Abu Hurairah dikutip Yusanto dan
Muhammad K.W, 2002:112)
Tidak halal bagi seseorang menjual
sesuatu, melainkan hendaknya dia menerangkan kekurangan (cacat) yang ada pada
barang itu. (HR. Ahmad dikutip dari Alma, 1994: 62)
c. Larangan membeli barang dari orang
awam sebelum masuk ke pasar.
Rasulullah telah melarang perhadangan
barang yang dibawa (dari luar kota). Apabila seseorang menghadang lalu
membelinya maka pemilik barang ada hak khiyar (menuntut balik/membatalkan)
apabila ia telah sampai ke pasar (dan merasa tertipu). (Al-Hadits dikutip dari
Alma, 1994: 70)
Rasulullah telah melarang membeli
barang dari orang luar atau desa dikarenakan akan terjadi ketidakpuasan, di
mana pembeli akan membeli dengan harga rendah dan akan dijual di pasar dengan
harga tinggi sehingga pembeli akan memperoleh untung yang banyak. Hal in
merupakan penipuan, padahal Rasulullah melarang bisnis yang ada unsur
penipuannya.
Sedangkan larangan yang lainnya adalah
larangan mengurangi timbangan diterangkan dalam Al-Quran dalam surat
Al-Muthaffifin ayat 1-6 sebagai berikut:
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang
yang curang. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain
mereka minta dipenuhi, Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang
lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya
mereka akan dibangkitkan, Pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika)
manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam? (Al-Muthaffifin : 1-6)
Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami
utus) saudara mereka, Syu’aib. ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. dan janganlah kamu kurangi takaran
dan timbangan, Sesungguhnya Aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu)
dan Sesungguhnya Aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan
(kiamat).” (Huud: 84)
Penjual harus tegas dalam hal
timbangan dan takaran. Mengenai ini Nabi juga berkata yang artinya:
Tidak ada suatu kelompok yang
mengurangi timbangan dan takaran tanpa diganggu olah kerugian. (Al-Hadits, Dikutip
dari Afzalurahman, 1997: 28)
Nabi berkata kepada pemilik timbangan
dan takaran:
“Sesungguhnya kamu telah diberi
kepercayaan dalam urusan yang membuat bangsa-bangsa terdahulu sebelum kamu
dimusnahkan”. (Al-Hadist, dikutip dari Afzalurahman, 1997: 28)
Apabila sikap Shiddiq dilakukan oleh
pelaku bisnis maka praktek bisnis jahiliyah tidak akan terjadi, perbuatan
penipuan dan sebagainya akan terhapus.
2. Amanah
Amanah berarti tidak mengurangi
apa-apa yang tidak boleh dikurangi dan sebaliknya tidak boleh ditambah, dalam
hal in termasuk juga tidak menambah harga jual yang telah ditentukan kecuali
atas pengetahuan pemilik barang. Maka seorang yang diberi Amanah harus
benar-benar menjaga dan memegang Amanah tersebut, ayat tersebut adalah sebagai
berikut:
Sesungguhnya kami Telah mengemukakan
amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk
memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (Al-Ahzab: 72)
Rasulullah memerintahkan setiap muslim
untuk selalu menjaga Amanah yang diberikan kepadaNya. Sabda Nabi akan hal ini
yang artinya:
Tunaikanlah amanat terhadap orang yang
mengamanatimu dan janganlah berkhianat terhadap orang yang mengkhianatimu. (HR. Ahmad dan Abu
Dawud dikutip dari Yusanto dan Muhammad K.W, 2002: 105)
Ubadah bin Al Samit menyatakan bahwa
Nabi SAW bersabda: “berikanlah kepadaku enam jaminan dari diri kamu, aku
menjamin surga untuk kamu: 1) berlaku benar apabila kamu berbicara, 2) tepatlah
manakala kamu berjanji, 3) Tunaikanlah manakala kamu diamanahkan, 4)
pejamkanlah mata kamu (dari yang di tengah), 5) peliharalah faraj kamu, 6) tahanlah
tangan kamu”. (HR. Imam Ahmad dikutip dari syeikh Abod dan Zamry Abdul
Kadir, 1991: 102)
Seseorang yang melanggar Amanah
digambarkan oleh Rasulullah sebagai orang yang tidak beriman. Bahkan lebih jauh
lagi, Digambarkan sebagai orang munafik. Sabda Nabi tentang hal ini:
Tidak beriman orang yang tidak
memegang Amanah tidak ada agama orang yang tidak menepati janji. (HR. Ad
Dalimi Dikutip dari Yusanto dan Muhammad K.W, 2002: 105)
Tanda orang munafik itu ada tiga
macam: jika berbicara, ia berdusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan jika
diberi kepercayaan, dia khianat. (HR. Ahmad dikutip dari Yusanto dan
Muhammad K.W, 2002: 105)
Seorang yang jujur dan amanah akan
mendapatkan pahala dari Allah SWT dan akan dimasukkan ke dalam surga bersama
para Rasul dan orang yang beriman, orang jujur seperti sabda Nabi SAW yang
artinya:
Para pedagang yang jujur dan Amanah
akan berada bersama para Rasul, orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang
jujur. Rizki Allah terbesar pada (hambanya) ada dalam bisnis. (Al-Hadits dikutip
dari Raharjo, 1987: 17)
Sikap Amanah mutlak harus dimiliki
oleh seorang pebisnis muslim. Sikap Amanah diantaranya tidak melakukan
penipuan, memakan riba, tidak menzalimi, tidak melakukan suap, tidak memberikan
hadiah yang diharamkan, dan tidak memberikan komisi yang diharamkan. Hadis nabi
yang berkenaan dengan hal tersebut yang artinya:
a. Larangan memakan riba
Beliau (Nabi SAW) melaknat orang yang
memakan riba, orang yang menyerahkannya, para saksi serta pencatatnya. (HR. Ibnu Majah
dari Ibnu Mas’ud Dikutip dari Yusanto dan Muhammad K.W, 2002: 112)
b. Larangan melakukan tindak kezaliman
Seorang muslim terhadap sesama muslim
adalah haram: harta bendanya, kehormatannya, dan jiwanya. (HR. Abu Dawud dan
Ibnu Majah Dikutip dari Yusanto dan Muhammad K.W, 2000: 109)
c. Larangan melakukan suap
Laknat Allah terhadap penyuap dan
penerima suap di dalam kekuasaan. (HR. Imam Abu Dawud dari
Hurairah Dikutip dari Yusanto dan Muhammad K.W, 2002: 108)
Laknat Allah terhadap penyuap dan
penerima suap. (HR. Imam Tirmidzi dari Abdullah bin Amr Dikutip dari Yusanto dan Muhammad
K.W, 2002: 108)
d. Larangan memberikan hadiah haram
Hadiah yang diberikan pada penguasa
adalah ghulul (perbuatan curang). (HR. Imam Ahmad dan Al-Baihaqi dari
Abu Hamid As-Sunnah Saidi dari ‘Ibbadh; Dikutip dari Yusanto dan Muhammad K.W,
2002: 108)
Hadiah yang diberikan kepada pejabat
adalah suht (haram). (HR. Al-Khatib dari Anas r.a, Dikutip dari Yusanto dan Muhammad K.W, 2002:
108)
e. Larangan memberikan komisi yang
haram
Rasulullah mengutusku ka Yaman
(sebagai penguasa daerah). Setelah aku berangkat, beliau SAW, mengutus orang
menyusulku. Aku pulang kembali. Rasulullah SAW, bertanya kepadaku, “tahukah
engkau, mengapa kau mengutus orang menyusulmu? “janganlah engkau mengambil
sesuatu untuk kepentinganmu sendiri tanpa seizinku. (jika hal itu kamu lakukan)
itu merupakan kecurangan, dan barang siapa berbuat curang pada hari kiamat
kelak dibangkitkan dalam keadaan memikul beban kecurangannya. Untuk itulah,
engkau aku panggil dan sekarang berangkatlah untuk melakukan tugas pekerjaanmu. (HR. Imam Tirmidzi
dari Mu’adz bin Jabal r.a, Dikutip dari Yusanto dan Muhammad K.W, 2002: 109)
Barang siapa yang kami pekerjakan
untuk melakukan tugas dan kepadaNya kami telah berikan rizki (yakni imbalan
atas jerih payahnya) maka apa yang diambil olehnya selain itu adalah suatu
kecurangan. (HR. Imam Abu Dawud Dikutip dari Yusanto dan Muhammad K.W, 2002:
109)
Sikap amanah mutlak harus dimiliki
oleh seorang pebisnis muslim. Sikap itu bisa dimiliki jika dia selalu menyadari
bahwa apapun aktivitas yang dilakukan termasuk pada saat ia bekerja selalu
diketahui oleh Allah SWT. Sikap amanah dapat diperkuat jika dia selalu
meningkatkan pemahaman Islamnya dan istiqamah menjalankan syariat Islam. Sikap
amanah juga dapat dibangun dengan jalan saling menasehati dalam kebajikan serta
mencegah berbagai penyimpangan yang terjadi. Sikap amanh akan memberikan dampak
positif bagi diri pelaku, perusahaan, masyarakat, bahkan negara. Sebaliknya
sikap tidak amanah (khianat) tentu saja akan berdampak buruk.
3. Fathanah
Fathanah berarti cakap atau
cerdas. Dalam hal ini Fathanah meliputi dua unsur, yaitu:
a. Fathanah dalam hal
administrasi/manajemen dagang, artinya hal-hal yang berkenaan dengan aktivitas
harus dicatat atau dibukukan secara rapi agar tetap bisa menjaga Amanah dan
sifat shiddiqnya.
Firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang
itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya,....... (Al Baqarah: 282)
b. Fathanah dalam hal menangkap
selera pembeli yang berkaitan dengan barang maupun harta. Dalam hal fathanah
ini Rasulullah mencontohkan tidak mengambil untung yang terlalu tinggi
dibanding dengan saudagar lainya. Sehingga barang beliau cepat laku. (Abu
Mukhaladun, 1999: 15, syeikh Abod dan Zambry Abdul Kadir 1991:288).
Dengan demikian fathanah di sini
berkaitan dengan strategi pemasaran (kiat membangun citra). Menurut
Afzalurahman (1997:168) kiat membangun citra dari uswah Rasulullah SAW
meliputi: penampilan, pelayanan, persuasi dan pemuasan.
- · Penampilan, tidak membohongi pelanggan, baik menyangkut besaran (kuantitas) maupun kualitas. Hadits nabi tentang hal ini yang artinya:
Apabila dilakukan penjualan,
katakanlah: “tidak ada penipuan”. (HR. Imam Bukhari dari Abdullah bin
Umar r.a,)
Sempurnakanlah takaran dan janganlah
kamu termasuk orang-orang yang merugikan; Dan timbanglah dengan timbangan yang
lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu
merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan; (Asy-Syu’ara:
181-183)
Tidak ada suatu kelompok yang
merugikan timbangan dan takaran tapa diganggu oleh kerugian. (Al-Hadits dikutip
dari Afzalurahman, 1997: 28)
- · Pelayanan, pelanggan yang tidak sanggup membayar kontan hendaknya diberi tempo untuk melunasinya. Selanjutnya, pengampunan (bila memungkinkan) hendaknya diberikan jika ia benar-benar tidak sanggup membayarnya.
- · Persuasi, menjauhi sumpah yang berlebihan dalam menjual suatu barang. Hadits nabi tentang hal in yang artinya:
“Sumpah dengan maksud melariskan
barang dagangan adalah penghapus berkah. (HR. Bukhari dan Muslim dikutip dari
Alma, 1994: 60)
- · Pemuasan, hanya dengan kesempatan bersama, dengan suatu usulan dan penerimaan, penjualan akan sempurna.
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. (An Nisaa’: 29)
Dengan demikian sikap fathanah ini
sangat penting bagi pebisnis, karena sikap fathanah ini berkaitan dengan
marketing , keuntungan bagaimana agar barang yang dijual cepat laku dan
mendatangkan keuntungan, bagaimana agar pembeli tertarik dan membeli barang
tersebut.
Dari penjelasan
diatas bisa kita petik suatu pelajaran yang berharga bahwa prinsip-prinsip
bisnis Rasulullah saw adalah Shiddiq, Amanah dan Fathanah. Shiddiq adalah Suatu
sikap yang jujur dan selalu berbuat baik dan menghindari perbuatan seperti
tidak menepati janji yang belum atau telah disepakati, menutupi cacat atau aib
barang yang dijual dan membeli barang dari orang awam sebelum masuk ke pasar.
Sedangkan sifat amanah adalah tidak mengurangi apa-apa yang tidak boleh
dikurangi dan sebaliknya tidak boleh ditambah, dalam hal ini termasuk juga
tidak menambah harga jual yang telah ditentukan kecuali atas pengetahuan
pemilik barang. Amanah berarti tidak melakukan penipuan, memakan riba, tidak
menzalimi, tidak melakukan suap, tidak memberikan hadiah yang diharamkan, dan
tidak memberikan komisi yang diharamkan. Fathanah berarti cakap atau cerdas.
Dalam hal ini Fathanah meliputi dua unsur: Fathanah dalam hal
administrasi/manajemen dagang dan Fathanah dalam hal menangkap selera pembeli
yang berkaitan dengan barang maupun harta. Dengan demikian fathanah di sini
berkaitan dengan strategi pemasaran (kiat membangun citra). kiat membangun
citra dari uswah Rasulullah SAW meliputi: penampilan, pelayanan, persuasi dan
pemuasan.
BAB III
KESIMPULAN
Jiwa kewiraswasta mutlak harus dimiliki oleh
semua orang jika ingin menjadi wirausahawan. Karena tanpa adanya jiwa
kewiraswastaan, seseorang tidak akan berhasil/sukses dalam berwirausaha. dalam
jiwa kewiraswastaan tertanam ,sifat ulet, kerja jeras, rajin, pantang menyerah
dan penuh dengan semangat. Semuanya itu bisa di dapat dari pengaruh pendidikan
ataupun lingkungan. Keluarga merupakan lingkungan yang strategis dalam
menanamkan jiwa wiraswasta, karena sejak dari lahir keluargalah yang selalu
mengetahui dan memberi semua hal sebagai bekal
Rasulullah,(Nabi Muhammad saw) adalah contoh suri
teladan dalam sepak-terjang kehidupan,yang tidak pernah mengenal lelah dan
menyerah dalam situasi dan kondisi bagaimanapun. Itulah yang disebut : uswatun
hasanah (suri teladan yang baik).hidup di dunia ini.
Dalam berbisnis bagi orang Islam wajib memegang
sifat-sifat atau prinsip Assidiq, Amanah, dan Fathonah untuk menjadi umat yang
sukses di dunia dan akhirat.
BY: M.Nur Ali
PROGAM STUDI: MUAMALAT
MATERI: KEWIRASWASTAAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar