WAQIAH dari akar kata waqo’a artinya muncul, timbul,
berada, kemudian membentuk kata waqi’ah yang dalam perspektif tasyawuf
diartikan dengan mimpi khusus. Disebut mimpi khusus karena bukan mimpi sebagaimana
lazimnya dialami orang-orang awam.
Waqi’ah kadang-kadang muncul tidak di dalam tidur
pulas dalam bentuk mimpi, tetapi penyingkapan sebuah kenyataan di antara tidur
dan terjaga yang oleh kalanganneurolog disebut dengan teta atau alfa, yaitu
suatu keadaan di mana frekuwensi gelombang otak berada dalam keadaan lamban,
tidak dalam keadaan beta, sebagaimana orang-orang yang dalam keadaan terjaga.
Dalam keadaan
frekuwensi otak sedang aktif, biasanya sulit untuk menembus suasana
batin yang lebih dalam. Wahyu-wahyu atau pengalaman mistis banyak sekali
terjadi di tempat yang sepi, seperti di Gua Hira’ Gua Kajfi, atau keheningan
malam.
Itulah sebabnya para salik berusaha mencari tempat yang hening, sejuk,
damai, dan tenang, seperti khanqah, sebagaimana diuraikan tulisan-tulisan yang
terdahulu.
Waqi’ah oleh sejumlah ulama tasyawuf disamakan dengan manam,
yaitu mimpi yang dialami oleh orang-orang khusus yang memiliki dampak sosial
kemasyarakatan. Sebagian lagi menyamakannya dengan mukasyafah, yaitu pengalaman
penyingkapan tabir atau hijab oleh orang-orang khowas yang memiliki kedekatan
khusus dengan Allah SWT.
Namun, sebagian lagi menganggap, waqi’ah merupakan
pengalaman gaib atau mistis yang berada di antara manam dan mukasyafah. Apapun
namanya, pengalaman mistis atau ghaib tidak sembarang orang bisa
mendapatkannya. Para praktisi sufi yang bertahun-tahun menempuh perjalanan
mistik juga tidak semua pernah mengalaminya. Pengalaman mistik adalah pemberian
langsung dari Allah SWT.
Ketika para salik asyik menikmati riyadhah, ia
sering mengalami berbagaia pengalaman mistis. Ia seakan-akan menyaksikan
sesuatu secara visual didepan matanya, tetapi sesungguhnya ternyata tidak ada.
Misalnya, seorang salik di daerah sulit air bermimpi menyaksikan mata air
mengalir bersumber dari satu titik disebuah tempat. Setelah titik itu di
gali, benar ditemukan ada mata air di
tempat itu. Contoh lain, saat seseorang merasa melihat, baik dalam mimpi maupun
dengan kekuatan imajinasi, suatu tempat yang terdapat harta karun atau aneka
tambang, setelah tempat itu digali ternyata benar ditemukan harta karun atau
aneka tambang seperti dalam mimpinya.
Pengalaman nyata seperti ini diceritakan dalam kitab
awarif al-Ma’ruf karya suhrawardi, seorang salik yang terdesak oleh kebutuhan
pokok ia sudah bermaksud untuk pergi meminta-minta. Tapi, dalam jiwanya
bertanya, sudah sekian lama saya menjalani kehidupan suluk dengan penuh
tawakal, akhirnya hari ini saya harus meminta-minta. Mestikah saya melakukan
hal ini?..
Tiba-tiba, orang ini mengalami pengalaman mistik (waqi’ah). Ia mendengar suara,
“pergilah ke satu tempat, di sana ada sebuah jubah biru (khirqah) yang
membungkus batangan emas. Ambil dan gunakanlah untuk memenuhi kebutuhan
hidupmu. “ketika terjaga, orang itu pergi ke tempat itu dan ia menemukan emas
ituterbungkus jubah biru.
Kalangan sahabat Nabi juga sering mengalami hal-hal
yang bersifat mistis, sperti yang pernah di alami Usaid bin Hudhair. Ketika ia
sedang membaca surah al-Baqarah pada malam hari, kudanya yang ditambatkan
disampingnya meronta-ronta. “Aku menenangkannya, lalu kuda itu menjadi tenang.
Ketika aku melanjutkan membaca ayat, kembali meronta-ronta lagi. Aku pun
kembali menenangkannya. Setelah kembali mengaji, kuda itu pun kembali lagi
meronta. Aku keluar melihat putraku, yahya. Cemas jangan sampai terkena
terjangan kuda. Ia melihat ke langit,
ternyata ada sebuah tenda besar yang didalamnya terdapat sejumlah
lentera yang sedang menyala.”
Pagi hari ia menceritakan pengalamannya kepada Nabi,
lalu Nabi menanggapi, “Bacalah terus Al=Qur’an wahai ibnu Hudhair. Apakah kamu
tahu apa yang terjadi semalam didekat rumahmu?. Dijawab tidak tahu. Nabi
menjelaskan, “itu adalah para malaikat yang mendekati suaramu. Seandainyakamu
terus membaca al-Qur’an, niscaya keesokan paginya manusia akan melihat para
malaikat yang tidak lagi menyembunyikan wujudnya dari mereka.
Pengalaman seperti ini biasa di alami oleh beberapa
orang yang sudah mencapai tingkat kedekatan diri dengan Allah. Hanya saja,
mereka tidak tertarik untuk menggunakan kemampuan itu. Bagi mereka, memelihara
kedekatan diri dengan Tuhan jauh lebih penting ketimbang mendapatkan kekhususan
mistik. Kalangan mereka enggan menggunakan potensi mistiknya, khawatir jangan
sampai hal itu menjadi hijab baru baginya. Tidak jarang seorang salik yang berada
pada posisi tinggi dan berhasil mendapatkan pengalaman mistik, tapi terhenti
karena menikmati pengalaman mistiknya lalu meninggalkan Tuhannya.
Tujuan para salik bukan mengejar pengalaman mistik,
akan tetapi untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada allah. Kedekatan
itulah nantinya yang akan menurunkan ridha Allah, termasuk kekhususan lainnya
sebagaimana dialami para wali. Kekhususan tersebut biasanya disebut dengan
karamah, yakni suatu perbuatan atau kenyataan yang luar biasa dan menyalahi
adat dan logika (khariq li al-adah) yang paling
didambakan para salik ialah ridha Allah.
Waqi’ah kejadiannya tidak bisa diprediksi dan tidak
terjadi secara otomatis setiap kali para salik menghendakinya. Kadang sering
dan kadang jarang terjadi. Waqi’ah merupakan hidayah langsung dari Allah kepada
para hamba-Nya. Berbeda dengan mukasyafah, suatu bentuk penyingkapan rahasia
Tuhan yang dikhususkan kepada para kekasih-Nya, dapat terjadi kapan saja saat
orang itu memerlukannya.
MUKASYAFAH
berasal dari kata kasyafa yaksyifu berarti menyingkap, menampilkan. Mukasyafah
berarti penyingkapan sesuatu yang ghaib, abstrak, dan terselubung (mahjub). Dalam perspektif tasyawuf, mukasyafah lebih
tinggi daripada wqi’ah. Kalau waqi’ah masih paralel perjalanan nafsu dan roh,
sedangkan mukasyafah sudah lebih dominan perjalanan RO. Mukasyafah dinilai
lebih valid dan lebih absah daripada waqi’ah, manamat, ru’yah, dan hilm.
Mukasyafah tidak gampang diraiholeh banyak orang karena sangat bergantung
tingkat kedekatan diri dengan Alllah SWT. Orang-orang yang sudah lama menempuh
perjalanansuluk pun belum tentu bisa mengalami pengalaman mukasyafah.
Mukasyafah dapat terjadi kapan saja dan di mana
saja, sedangkan waqi’ah, manamat,, ru’yah, dan hilm masih bersifat kondisional.
Hanya para nabi dan Rasul sertasejumlah wali bisa sampai ke tingkat mukasyafah.
Mukasyafah bisa mengambil berbagai bentuk, termasuk dalam bentuk manamat,
ru’yah, atau waqi’ah. Dari sudut inilah sebagian ulama mengatakan mukasyafah
sama saja dengan waqi’ah, ru’yah, dan manamt.
Mukasyafahbisa dibedakan ke dalam dua jenis. Jika
mukasyafah muncul melalui mimpi atau kekuatan imajinasi dari dalam diri disebut
penglihatan jiwa (mata batin). Sedangkan mukasyafah yang muncul melalui isyarat
yang datang dari kekuatan lain dari luar, misalnya mendengar informasi melalui
bisikan atauasuara gaib, dari sumber yang tidak tampak maka ini disebut telinga
jiwa (telinga batin). Bagaimana mengasah mata batin dan telinga batin.
Kemampuan untuk mengungkapkan sesuatu yang gaib
melalui imajinasi cerdas yang diperoleh melalui manamat dan waqi’ah, biasanya
disebut la-kasyf al-mukhayyal, atau penyingkapan imajinasi dan khayalan.
Imajinasi danhayalan disni tentu bukan imajinasi ataukhayalan sembarangan,
tetapi sesuatuyang lahir dari orang-orang yang terlatih sepanjang waktudengan
penuh ketekunan untuk belajar. Orang yang sampai di maqam ini sudah mampu
menggunakan mata dan telinga batinnya untuk mengungkap sesuatu yang bukan saja
bersifat fisik, melainkan juga hal-hal yang bersifat gaib.
Mukasyafah yang lebih tinggi tidak hany mampu
mengungkap khayali, tetapi juga hal-hal yang bersifat gaib. Mukasyafah jenis
ini juga mampu menangkap makna dari pengalaman dan peristiwa simbolis, misalnya
menerjemahkan sebuah isyarat yang muncul, baik dalam manamat maupun waqi’ah
menjadi makna aktual dalam kehidupan nyata. Contohnya, seseorang yang diebri
kekuatan untuk menyingkapkan di dalam dirinya pengalaman masa lampau atau
kkejadian-kejadian yang belum terjadi.
Penglaman beberapa Nai, seperti pengalaman NabiSAW
yang bisa memahami kejadian masa lampau dan peristiwa yang belum terjadi.
Kalangan waliAllah juga diberi karmah untuk bisa menyaksikan peristiwa yang
akan terjadi pada masa depan, seperti pengalaman khidir yang di ceritakan di
dalam surat la-kahfi. Khidir membunuh anak kecil yang tidak berdosa dengan
alasan jika anak itu besar nanti akan menjadi anak yang durhaka dan banyak
menimbulkan keonaran, sedangkan orang tuanya masih akan dikaruniai anak-anak
lain yang saleh dan salehah (QS al-Kahfi[18]:80). Kekuatan apa yang digunakan
khidir untuk membaca masa depan anak tersebut, tidak lain adalah mukasyafah.
Semakin tinggi ketaatan dan keikhlasan seseorang
semakin besar peluang untuk mencapai tingkat mukasyafah. Sebaliknya,
semakinrendah tingkat ketaatan dan keikhlasan seseorang semakin tebal pula
penutup (hijab) yang menghalang untuk mencapai mukasyafah. Dalam hadits Nabi
disebut ada 70 ribu hijab yang menghijab manusia dengan tuhannya. Hal-hal yang
bisa menjadi penghalang seseorang untuk mencapai mukasyafah ialah dosa dan
maksiat. Sungguh pun orang tidak berdosa dan bermaksiat dan telah melakukan
ibadah dan berbagaia ketataan individu dan sosial tetap tidak ada jaminan dapat
mencapai mukasyafah. Pencapaian mukasyafah sangat ditentukan oleh keridhaan
Allah SWT.
Orang yang mencapai mukasyafah memiliki banyak
keutamaan. Selain mampu memahami sejumlah rahasia Allh, juga biasanya diberi
kemampuan untuk melakukan sesuatu yang “luar biasa” (kariq li al-‘adah) yang
tidak bisa dilakukan orang-orang biasa. Perbuatan”luar biasa”itu biasa disebut
dengan karamah. Para wali yang rata-rata sudah mencapai tingkat mukasyafah bisa
melakukan sesuatu yang bersifat ajaib atas izin Kekasihnya, yaitu Allah..
namun, perlu dibedakan antara karamah, mu’jizah, dan sikhr.
Karamah perbuatan luar biasa diberikan Tuhan kepada
para wali atau hamba tertentu yang dipilih-Nya. Mukjizat perbuatan luar biasa
khusus diberikan kepada para Nabi dan Rasul. Sedangkan sikhr perbuatan luar
biasa diberikan kepada manusia biasa yang telah mempelajari ilmunya. Sikhr
biasanya tidak mensyaratkan adanya mukasyafah, sedangkan mukjizat dan karamah
mengharuskan adanya mukasyafa. Para wali tujuannya bukan untuk mendapatkan
perbuatan luar biasa. Bahkan, mereka mengelak untuk memanfaatkan keluarbiasaan
itu. Mereka khawatir jangan sampai karamah itu menjadi hijab baru baginya.
Refrensi: Republika (dialog jum’at) 4/25 januari
2013
Oleh: Prof Dr Nszaruddin Umar.
Alhamdulillah
BalasHapusLike's....
BalasHapus