Ma’rifah
berarti mengenal, mengetahui, dan menghayati berbagai obyek ilmu pengetahuan
secara rinci dan sistematis. Ma’rifatullah berarti mengenal, mengetahui, dan
menghayati secara mendalamsifat-sifat Allah secara terperinci. Puncak
ma’rifatullah adalah saat seseorang sudah sampai kepada kesadaran bahwa hanya
Allah sang wujud hakiki sekaligus Sang pelaku Mutlak.
Ma’rifatunnafs
berarti mengenal, mengetahui, dan menyadari sedalam-dalamnya keadaan dirinya
lebur dalam Sang Wujud hakiki dan sudah tidak merasa punya apa-apa lagi, tidak
merasa memiliki perbuatan sendiri. Selama seseorang masih merasakan keakuannya maka
belum bisa disebut ma’rifatunnafs. Dengan demikian, ma’rifatunnafs sesungguhnya
tidak lain adalah m’riftaullah. Dari sinilah Rasulullah bersabda, “Man ‘arafa
nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu.
Hadits
tersebut menggunakan bentuk lampau (fi’il madhi/past tense) “arafa” artinya
seseorang sudah harus mengetahui dirinya jika bermaksud mengenal Tuhannya.
Sulit dibayangkan seseorang bisa mengenal Tuhannya dalam tingkat ma’rifah
sebelum memahami dirinya sendiridalam tingkat ma’rifah. Terkadang, ada di
antara kita ingin belajar ma’rufatullah tanpa memulai pemahaman lebih mendalam
siapa dirinya sesungguhnya (ma’rifatunnafs). Akhirnya, dia tidak akan menemukan
apa-apa kecuali keputusan atau kerancuan dalam pemikiran.
Menurut
suhrawardi, tanda-tanda bagiseseorang yang sudah sampai kepada tingkat ma’rifah
lebih tinggi adalah saat ia menyadari dirinya dalam lima keadaan, yaitu selalu
merasa kehilangan oleh Sang penyebab Kehilangan, yaitu Allah; selalu merasa
beruntung oleh Sang penyebab Keberuntungan, Yaitu Allah; selalu mendapatkan
anugrah oleh Sang Penyebab Anugrah, yaitu Allah; selalu merasa kesumpekan oleh
Sang penyebab Kesumpekan, yaitu Allah; selalu merasa kelegaan oleh Sang
penyebab Kelegaan, yaitu Allah SWT. Dengan demikian, orang ini sadar bahwa Sang
Hakikat Wujud hanyalah Allah (tauhid a-Dzati), Sang Hakikat pelaku perbuatan
hanya Allah semata (tauhid al-af’al), danSang Pemilik segala kehendak hanyalah
Allah (tauhid al-shifat).
Konsep
tauhid az-dzat dalam perspektif tasyawuf kelihatannya lebih utuh karena tidak
hanya menekankan pada perbedaan dan ketakterbandingan (tanzih/uncomparabily)
Tuhan dengan makluk-Nya, sebagaimana ditekankan para teolog atau
mutakalimin, filsuf, dan para ahli fiqh.
Dan para sufi juga menekankan aspek keserupaan dan keterbandingan (tasybih/comparabily).
Ibnu ‘Arabi pernah mengungkapkan, “jika engkau bicara soal ketakterbandingan,
engkau telah membatasi. Jika engkau bicara soal kesempurnaan, engkau juga
membatasi. Jika engkau bicara soal keduanya, engkau tepat mengenai sasaran.
Engkau seorang pemimpin dan syekh dalam ilmu-ilmu ma’rifat”.
Ungkapan
serupa juga pernah disampaikan oleh Khaja Abdullah Ashari, “tak seorang pun
menegaskan keesaan Zat Mahaesa, sebab semua orang yang Mengesakan-Nya
sesungguhnya mengingkari-Nya. Tauhid orang yang melukiskan-Nya hanyalah
pinjaman, tak diterima oleh Zat Mahaesa.
Jika
seseorang sudah mampu meningkatkan kesadrannya ke tingkat ma’rifah, ia disebut
muta’arrifah. Akan tetapi, jika seseorang membiarkan dirinya hanyut di dalam
kelalaian dan kealfaan (ghafil), main-main(lahwi), dan memuja sesuatu selain
Allah (musyrik). Orang yang mencapai tinbgkat ma’rifatunnafs dan atau
ma’rifatullah sudah mampu melakukan pengembangan berbagai potensi kecerdasan
standar yang dianugrahkan Tuhan dalam diri manusia. Potensi kecerdasan standar
di sini ialah kecerdasan diperoleh manusia semenjak zaman azali yang di
“lounching” oleh Allah:”Alastu birabbikum?” Qolu bala (apakah engkau mengakui
keberadaan Tuhan-mu Dijawab:iya).
Ilustrasiny
seperti notebook, handphone, atau mobil yang baru dibeli di distributor.
Meskipun baru, tetapi sudah di progam. Begitu dihidupkan, langsung berfungsi. Aksesoris dan perlengkapan lainnya
bisa diusahakan dan dikembangkan sendiri oleh pemiliknya. Jadi, manusia dalam
pandangan tasyawuf bukan makhluk “bodong” atau kertas kosong yang tidak punya
apa-apa kemudian di isi oleh pemiliknya, tetapi sudah memiliki sistem
kecerdasan standar.
Para
sufi melihat manusia sebagai pelupa, abai (gafil), dan sadar atau ingat
(dzakir). Berbeda dengan teolog atau mutakalimin, filsuf, dan kalangan ahli
fiqh yang memandang manusia makhluk bodoh (jahil) dan pintar (‘alim). Menurut
para sufi, manusia melakukan dosa karena ia lupa. Di sinilah urgensi wahyu
untuk mengingatkan kembali manusia. Menurut teolog/mutakalimin, filsuf, dan kalangan
fuqoha’ boleh jadi ia tidak tahu atau lupa. Untuk itu, ia perlu belajar atau
diajar dan diingatkan kembali oleh wahyu.
Ma’rifatunnafs
ketika seseorang sudah rela dengan segala apa yang terjadi pada dirinya tanpa
membedakan apakah itu menurut orang awam sebagai musibah atau nikmat. Dengan
kata lain, nikmat dan musibah dirasakan sebagai kesempurnaan seseorang yang
berada dalam maqam al-jam’iyyah al-Ilahiyyah/define sinteses.
Ma’rifatullah,
menurut suhrawadi, ialah orang yang sudah mampu menyadari, pertama, setiap
akibat yang diperolehnya berasal dari Sang pelaku Mutlak (Allah). Kedua, setiap
akibat yang berasal dari Sang Pelaku Mutlak merupakan aktualisasi dari
sifat-Nya dalam setiap keagungan sifatnya. Ketiga, memahami maksud dan tujuan
Allah pada setiap keagungan sifat-Nya. Keempat, memahami sifat Ilmu Allah dalam
ma’rifahNya sendiri, bukan melalui ilmu analitis. Dari keterangan di atas,
dapat disimpulkan bahwa ma’rifatullah ungguhnya tidak lain adalah
ma’rifatunnas. Alllahu A’lam.
Refr: Nazaruddin Umar. Replublika jumat 22februari 2013)
tak mudah membacanya ... warna harus dipertimbagkan. Isi Ok.
BalasHapusOk bang dwi, koreksinya bagus sekali... syukron
BalasHapus