CANTIK DIBALIK KERUDUNG

“Wanita sejati bukanlah dilihat dari bentuk tubuhnya yang mempesona, tetapi dilihat dari sejauhmana ia menutupi bentuk tubhnya. Wanita sejati bukanlah dilihat dari Kecantikan paras wajahnya, tetapi dari kecantikan hati yang ada dibalikmya. Wanita sejati bukanlah dilihat dari begitu banyak kebaikan yang diberikan, tetapi dari keihklasan ia memberikan kebaikan itu. Wanita sejati bukanlah dilihat dari seberapa indah lantunan suaranya, tetapi dari apa yang sering mulutnya bicarakan. Wanita sejati bukanlah dilihat dari keahlihannya berbahasa, tetapi dilihat dari bagaimana caranya berbicara. Wanita sejati bukanlah dilihat dari keberaniannya berpakaian, tetapi dilihat dari sejauhmana ia berani mempertaruhkan kehormatannya. Wanita sejati bukanlah dilihat dari kekawatirannya digoda orang lain dijalan, tetapi dilihat dari kekawatirannya yang mengundang orang lain jadi tergoda. Wanita sejati bukanlah dilihat dari seberapa banyak dan besarnya ujian yang ia jalani, tetapi dilihat dari sejauhmana ia menghadapi ujian itu dengan syukur. Dan ingatlah..........!!!!!!!! Wanita sejati bukanlah dilihat dari sifat supelnya dalam bergaul, tetapi dilihat dari sejauh mana ia bisa menjaga kehormatanya dalam bergaul....... Wassalam........... “semoga bisa menjadikan kita bertafakkur ya ikhwati”

Jumat, 15 Maret 2013

ANTARA MA’RIFATULLAH DAN MA’RIFATUNNAFS



Ma’rifah berarti mengenal, mengetahui, dan menghayati berbagai obyek ilmu pengetahuan secara rinci dan sistematis. Ma’rifatullah berarti mengenal, mengetahui, dan menghayati secara mendalamsifat-sifat Allah secara terperinci. Puncak ma’rifatullah adalah saat seseorang sudah sampai kepada kesadaran bahwa hanya Allah sang wujud hakiki sekaligus Sang pelaku Mutlak.
Ma’rifatunnafs berarti mengenal, mengetahui, dan menyadari sedalam-dalamnya keadaan dirinya lebur dalam Sang Wujud hakiki dan sudah tidak merasa punya apa-apa lagi, tidak merasa memiliki perbuatan sendiri. Selama seseorang masih merasakan keakuannya maka belum bisa disebut ma’rifatunnafs. Dengan demikian, ma’rifatunnafs sesungguhnya tidak lain adalah m’riftaullah. Dari sinilah Rasulullah bersabda, “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu.

Hadits tersebut menggunakan bentuk lampau (fi’il madhi/past tense) “arafa” artinya seseorang sudah harus mengetahui dirinya jika bermaksud mengenal Tuhannya. Sulit dibayangkan seseorang bisa mengenal Tuhannya dalam tingkat ma’rifah sebelum memahami dirinya sendiridalam tingkat ma’rifah. Terkadang, ada di antara kita ingin belajar ma’rufatullah tanpa memulai pemahaman lebih mendalam siapa dirinya sesungguhnya (ma’rifatunnafs). Akhirnya, dia tidak akan menemukan apa-apa kecuali keputusan atau kerancuan dalam pemikiran.
Menurut suhrawardi, tanda-tanda bagiseseorang yang sudah sampai kepada tingkat ma’rifah lebih tinggi adalah saat ia menyadari dirinya dalam lima keadaan, yaitu selalu merasa kehilangan oleh Sang penyebab Kehilangan, yaitu Allah; selalu merasa beruntung oleh Sang penyebab Keberuntungan, Yaitu Allah; selalu mendapatkan anugrah oleh Sang Penyebab Anugrah, yaitu Allah; selalu merasa kesumpekan oleh Sang penyebab Kesumpekan, yaitu Allah; selalu merasa kelegaan oleh Sang penyebab Kelegaan, yaitu Allah SWT. Dengan demikian, orang ini sadar bahwa Sang Hakikat Wujud hanyalah Allah (tauhid a-Dzati), Sang Hakikat pelaku perbuatan hanya Allah semata (tauhid al-af’al), danSang Pemilik segala kehendak hanyalah Allah (tauhid al-shifat).
Konsep tauhid az-dzat dalam perspektif tasyawuf kelihatannya lebih utuh karena tidak hanya menekankan pada perbedaan dan ketakterbandingan (tanzih/uncomparabily) Tuhan dengan makluk-Nya, sebagaimana ditekankan para teolog atau mutakalimin,  filsuf, dan para ahli fiqh. Dan para sufi juga menekankan aspek keserupaan dan keterbandingan (tasybih/comparabily). Ibnu ‘Arabi pernah mengungkapkan, “jika engkau bicara soal ketakterbandingan, engkau telah membatasi. Jika engkau bicara soal kesempurnaan, engkau juga membatasi. Jika engkau bicara soal keduanya, engkau tepat mengenai sasaran. Engkau seorang pemimpin dan syekh dalam ilmu-ilmu ma’rifat”.
Ungkapan serupa juga pernah disampaikan oleh Khaja Abdullah Ashari, “tak seorang pun menegaskan keesaan Zat Mahaesa, sebab semua orang yang Mengesakan-Nya sesungguhnya mengingkari-Nya. Tauhid orang yang melukiskan-Nya hanyalah pinjaman, tak diterima oleh Zat Mahaesa.
Jika seseorang sudah mampu meningkatkan kesadrannya ke tingkat ma’rifah, ia disebut muta’arrifah. Akan tetapi, jika seseorang membiarkan dirinya hanyut di dalam kelalaian dan kealfaan (ghafil), main-main(lahwi), dan memuja sesuatu selain Allah (musyrik). Orang yang mencapai tinbgkat ma’rifatunnafs dan atau ma’rifatullah sudah mampu melakukan pengembangan berbagai potensi kecerdasan standar yang dianugrahkan Tuhan dalam diri manusia. Potensi kecerdasan standar di sini ialah kecerdasan diperoleh manusia semenjak zaman azali yang di “lounching” oleh Allah:”Alastu birabbikum?” Qolu bala (apakah engkau mengakui keberadaan Tuhan-mu Dijawab:iya).
Ilustrasiny seperti notebook, handphone, atau mobil yang baru dibeli di distributor. Meskipun baru, tetapi sudah di progam. Begitu dihidupkan, langsung  berfungsi. Aksesoris dan perlengkapan lainnya bisa diusahakan dan dikembangkan sendiri oleh pemiliknya. Jadi, manusia dalam pandangan tasyawuf bukan makhluk “bodong” atau kertas kosong yang tidak punya apa-apa kemudian di isi oleh pemiliknya, tetapi sudah memiliki sistem kecerdasan standar.
Para sufi melihat manusia sebagai pelupa, abai (gafil), dan sadar atau ingat (dzakir). Berbeda dengan teolog atau mutakalimin, filsuf, dan kalangan ahli fiqh yang memandang manusia makhluk bodoh (jahil) dan pintar (‘alim). Menurut para sufi, manusia melakukan dosa karena ia lupa. Di sinilah urgensi wahyu untuk mengingatkan kembali manusia. Menurut teolog/mutakalimin, filsuf, dan kalangan fuqoha’ boleh jadi ia tidak tahu atau lupa. Untuk itu, ia perlu belajar atau diajar dan diingatkan kembali oleh wahyu.
Ma’rifatunnafs ketika seseorang sudah rela dengan segala apa yang terjadi pada dirinya tanpa membedakan apakah itu menurut orang awam sebagai musibah atau nikmat. Dengan kata lain, nikmat dan musibah dirasakan sebagai kesempurnaan seseorang yang berada dalam maqam al-jam’iyyah al-Ilahiyyah/define sinteses.
Ma’rifatullah, menurut suhrawadi, ialah orang yang sudah mampu menyadari, pertama, setiap akibat yang diperolehnya berasal dari Sang pelaku Mutlak (Allah). Kedua, setiap akibat yang berasal dari Sang Pelaku Mutlak merupakan aktualisasi dari sifat-Nya dalam setiap keagungan sifatnya. Ketiga, memahami maksud dan tujuan Allah pada setiap keagungan sifat-Nya. Keempat, memahami sifat Ilmu Allah dalam ma’rifahNya sendiri, bukan melalui ilmu analitis. Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa ma’rifatullah ungguhnya tidak lain adalah ma’rifatunnas. Alllahu A’lam.
Refr: Nazaruddin Umar. Replublika jumat 22februari 2013)

2 komentar:

  1. tak mudah membacanya ... warna harus dipertimbagkan. Isi Ok.

    BalasHapus
  2. Ok bang dwi, koreksinya bagus sekali... syukron

    BalasHapus

Imansipasi wanita

Imansipasi wanita
imansipasi wanita sering diterjemahkan atau diartikan dengan salah kaprah, bahwasanya kedudukan seoarang wanita harus sama dengan laki-laki dari sisi apapun. padahal dalam islam masalah imansipasi wanita sudah diatur begitu rapi oleh Alquran, tapi seseorang yang belum begitu faham dengan ajaran Islam pastilah mereka menafsirkan sebatas dengan pengetahuan akalnya, contoh imansipasi wanita dalam islam yaitu: Allah mewajibkan laki-laki dan perempuan sholat, islam tidak melarang seorang wanita mengerjakan pekerjaan seorang pria dengan tidak melanggar aturan-aturan syariat islam, wanita juga dibolehkan untuk mengangkat senjata (menjadi tentara) selama itu dibutuhkan, atau mempertahankan agama dan negara. wanita menjadi tentera tidak harus sama pakaiannya sebagaimana tentara laki-laki, wanita tetap diwajibkan untuk menutup auratnya, sehingga mereka tidak perlu membuka auratnya,

MENURUT anda bagaimanakah tentang blog ini...?

SETITIK MUTIARA WALISONGO

Para Walisongo adalah penerus dakwah Nabi Muhammad SAW, sebagai penerus atau penyambung perjuangan, mereka rela meninggalkan keluarga, kampung halaman dan apa-apa yang menjadi bagian dari hidupnya. Para Walisongo rela bersusah payah seperti itu karena menginginkan ridho Allah SWT. Diturunkannya agama adalah agar manusia mendapat kejayaan didunia dan akherat. Segala kebahagiaan, kejayaan, ketenangan, keamanan, kedamainan dan lain-lainnya akan terwujud apabila manusia taat pada Allah SWT dan mengikuti sunnah baginda Nabi Muhammad SAW secara keseluruhan atau secara seratus persen. Sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an bahwa ummat Nabi Muhammad SAW diutus kepermukaan bumi adalah khusus mempunyai tanggung jawab penting. Misi pentingnya adalah untuk mengajak manusia dipermukaan bumi ini ke jalan Allah SWT. Kurang lebih lima ratus tahun yang lalu walisongo berdakwah dan berkeliling kehampir seluruh pulau jawa, maka dalam masa yang relatif singkat, yang hampir penduduknya beragama Hindu dan Budha, maka berubah menjadi kerajaan Islam Demak. Para Walisoongo mempunyai semboyan yang terekam hingga saat ini adalah 1. Ngluruk Tanpo Wadyo Bolo / Tanpo pasukan Berdakwah dan berkeliling kedaerah lain tanpa membawa pasukan. 2. Mabur Tanpo Lar/Terbang tanpa Sayap Pergi kedaerah nan jauh walaupun tanpa sebab yang nampak. 3. Mletik Tanpo Sutang/Meloncat Tanpa Kaki Pergi kedaerah yang sulit dijangkau seperti gunung-gunung juga tanpa sebab yang kelihatan. 4. Senjoto Kalimosodo Kemana-mana hanya membawa kebesaran Allah SWT. (Kalimosodo : Kalimat Shahadat) 5. Digdoyo Tanpo Aji Walaupun dimarahi, diusir, dicaci maki bahkan dilukai fisik dan mentalnya namun mereka seakan-akan orang yang tidak mempan diterjang bermacam-macam senjata. 6. Perang Tanpo tanding Dalam memerangi nafsunya sendiri dan mengajak orang lain supaya memerangi nafsunya. Tidak pernah berdebat, bertengkar atau tidak ada yang menandingi cara kerja dan hasil kerja daripada mereka ini. 7. Menang Tanpo Ngesorake/Merendahkan Mereka ini walaupun dengan orang yang senang, membenci, mencibir, dan lain-lain akan tetap mengajak dan akhirnya yang diajak bisa mengikuti usaha agama dan tidak merendahkan, mengkritik dan membanding-bandingkan, mencela orang lain bahkan tetap melihat kebaikannya. 8. Mulyo Tanpo Punggowo Dimulyakan, disambut, dihargai, diberi hadiah, diperhatikan, walaupun mereka sebelumnya bukan orang alim ulama, bukan pejabat, bukan sarjana ahli tetapi da’I yang menjadikan dakwah maksud dan tujuan. 9. Sugih Tanpo Bondo Mereka akan merasa kaya dalam hatinya. Keinginan bisa kesampaian terutama keinginan menghidupkan sunnah Nabi, bisa terbang kesana kemari dan keliling dunia melebihi orang terkaya didunia. Semboyan seperti diatas sudah banyak dilupakan umat islam masa kini. Pesan Walisongo diantaranya pesan Sunan kalijogo diantaranya adalah : 1. Yen kali ilang kedunge 2. Yen pasar ilang kumandange 3. Yen wong wadon ilang wirange 4. Enggal-enggal topo lelono njajah deso milangkori ojo bali sakdurunge patang sasi, enthuk wisik soko Hyang Widi, maksudnya adalah : Apabila sungai sudah kering, pasar hilang gaungnya, wanita hilang rasa malunya, maka cepatlah berkelana dari desa ke desa jangan kembali sebelum empat bulan untuk mendapatkan ilham (ilmu hikmah) dari Allah SWT. Para Walisongo berdakwah dengan mempunyai sifat-sifat diantaranya : 1. Mempunyai sifat Mahabbah atau kasih sayang 2. Menghindari pujian karena segala pujian hanya milik Allah SWT 3. Selalu risau dan sedih apabila melihat kemaksiatan 4. Semangat berkorban harta dan jiwa 5. Selau memperbaiki diri 6. Mencari ridho Allah SWT 7. Selalu istighfar setelah melakukan kebaikan 8. Sabar menjalani kesulitan 9. Memupukkan semua kejagaan hanya kepada Allah SWT 10. Tidak putus asa dalam menghadapi ketidak berhasilan usaha 11. Istiqomah seperti unta 12. Tawadhu seperti bumi 13. Tegar seperti gunung 14. Pandangan luas dan tinggi menyeluruh seperti langit. 15. berputar terus seperti matahari sehingga memberi kepada semua makhluk tanpa minta bayaran.

SELAMAT MEMBACA

KEPUASAN ANDA ADALAH PENGHARGAAN BAGI KAMI.
APATIS ANDA ADALAH BLUM MEMPELAJARI KAMI.
KRITIK ANDA ADALAH INTROPEKSI DIRI KAMI.