Persahabatan spiritual mempunyai arti penting bagi orang-orang yang menempuh perjalanan spiritual (salikin). Persahabatan spiritual bukan pertemanan biasa dalam arti teman diskusi dan berbagi pengalaman, tetapi pertemanan sejati yang bisa mengasah ketajaman batin kita didalam memahami makrifat dan menyingkap tabir rahasia (mukasyafah). Keutamaan persahabatan spiritual diisyaratkan dalam beberapa ayat antara lain; ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”(QS, at-taubah,9:119). Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-KU.”(QS Luqman, 31:15).
Juga dalam hadits, orang-orang yang paling utama diantara kalian ialah orang-orang yang apabila mereka dipandang maka mereka mengingatkan kepada Allah.” (HR Hakim dr Anas). “Hai ibnu Umar, agamamu, agamamu, agamamu, sesungguhnya dia adalah daging dan darahmu, perhatikanlah dari siapa engkau mengambilnya. Ambillah agama dari orang yang istiqomah, dan janganlah mengambilnya dari orang yang menyimpang (Hadits).
FUNGSI SAHABAT SPIRITUAL
Sahabat spiritual dapat menunjukkan penyakit-penyakit yang menghalangi kita untuk sampai kepada Allah SWT sekaligus menunjukkan obatnya. Ia mampu menanam dan menumbuh suburkan rasa cinta kepada Tuhan. Sahabat spiritual sejati tidak cukup hanya mengajak kita memasuki sebuah pintu, tetapi juga menghilangkan tabir antara dia dan diri kita.
Sehingga, kita tidak pernah menyembunyikan masalah apapun yang terlintas di dalam pikiran kita terhadapnya. Ia tidak hanya menuntun dengan ucapan, tetapi juga mengalirkan energi spiritual dan pikiran positif. Ia mendampingi kita, baik dalam keadaan sedang terjatuh didalam kubangan dosa maupun di puncak maqom spiritual. Ia pu selalu memicu kita untuk membersihkan diri dan meningkatkan riyadloh dan mujahadah. Ia seperti memiliki kemampuan untuk mengeluarkan kita dari penjara hawa nafsu dan mengantarkan kita ke hadapan Tuhan. Ia terus menuntun dan mendampingi sehingga kita berada di hadapan-NYA lalu seolah-olah membisiki kita, “inilah engkau dan TuhanMU”
Sehingga, kita tidak pernah menyembunyikan masalah apapun yang terlintas di dalam pikiran kita terhadapnya. Ia tidak hanya menuntun dengan ucapan, tetapi juga mengalirkan energi spiritual dan pikiran positif. Ia mendampingi kita, baik dalam keadaan sedang terjatuh didalam kubangan dosa maupun di puncak maqom spiritual. Ia pu selalu memicu kita untuk membersihkan diri dan meningkatkan riyadloh dan mujahadah. Ia seperti memiliki kemampuan untuk mengeluarkan kita dari penjara hawa nafsu dan mengantarkan kita ke hadapan Tuhan. Ia terus menuntun dan mendampingi sehingga kita berada di hadapan-NYA lalu seolah-olah membisiki kita, “inilah engkau dan TuhanMU”
Sahabat sepiritual seperti ini langka, tetapi ada dan lebih banyak dari persangkaan kita. Hanya saja kita tidak punya kesungguhan untuk mencarinya. seandainya di kemudian hari kita mencari dan menemukannya maka bersyukurlah dengan cara belajar dan menghargai keberadaannya, sebab jika Tuhan mencintai hambanya, dia akan memperkenalkan hamba itu dengan sahabat spiritual.
Sebaliknya, bukanlah disebut sebagai sahabat spiritual jika dia justru mengalhkan perhatian kita dari Tuhan kedunia dan materi. Malah Ibnu qoyyim al jauziyah dengan tegas mengatakan,”apabila engkau menemukan sahabat spiritual dalam keadaan lalai, tinggalkanlah.”
ANTARA MURSYID DAN SAHABAT SPIRITUAL
Mursyid memiliki jarak dan struktur dengan para salik/murid. Seorang salik harus hormat kepada mursyid. Bahkan, tidak disarankan seorang salik membantah mursyidnya karena hal itu bisa berarti pelanggaran. Perkataan dan tindakan salik harus dikontrol, ketersinggungan mursyid terhadap salik bisa mendatangkan konsekwensi, bergantung pada aturan tarekat yang mereka ikuti.
Sahabat spiritual boleh jadi tidak memiliki jarak dan struktur. Sama-sama salik atau mursyid. Hubungan diantara satu sama lain bisa jadi selevel namun bisa jadi juga terbentuk struktur, terutama jika salah seorang diantaranya berproses lebih menonjol sebagai senior dan lebih efektif memberi kearifan.
Tidak tertutup kemungkinan, seorang mursyid sekaligus sebagai sahabat spiritual, seperti lazim terjadi pada seorang guru yang juga menjadi teman muridnya. Hal itu bergantung pendekatan sang guru atau murid tersebut. Pengalaman sejumlah mursyid yang terangkum dalam jami’karamat al-Auliya’ (dua jilid) karya yusuf bin ismail al-nabhan, menunjukkan sahabat spiritual tak mesti manusia yang hidup, tetapi juga bisa mereka yang sudah meninggal dunia. Roh para nabi dan auliya’ di yakini sejumlah ulama’ dapat berkomunikasi dengan orang hidup, seperti pengalaman Imam al-Gazali dan ibnu ‘Arabi .
Salah satu pernyataan muncul dari seorang sufi bahwa alangkah miskinnya seorang murid jika gurunya hanya orang-orang hidup. Ini artinya, sumber informasi spiritual boleh jadi berasal dari makhluk lain.
Dalam dunia tasyawuf, Tuhan mempunyai banyak alam lain selain alam dunia atau bumi kita ini. Dikenal juga ada alam malakut dan alam jabarut. Setiap alam Tuhan itu, mempunyai penghuni suci seperti halnya bumi ini. Orang-orang yang memiliki kebersihan dan kejernihan spiritual dianggap memiliki kemampuan untuk “bersahabat” dan berkomunikasi dengan para penghuni alam-alam tersebut.
Sekiranya ini benar, pantas banyak sekali ulama’ atau sufi yang memiliki kemampuan spiritual atau supernatural yang memahami sejumlah rahasia dan misteri alam ini.
PENGALAMAN DALAM ALQURAN DAN HADITS
Kalangan sufi sering mengilustrasikan persahabatan spiritual ini dengan pengalaman sejumlah tokoh didalam Alquran, sperti kisah nabi musa dan khidhir. Musa dengan kedudukannya sebagai Nabi masih merasakan adanya kesusahan dan keletihan dalam menjalani perjalanan hidupnya:”sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.”(QS al-kahfi,18:62).
Nabi Musa masih merasa memerlukan sahabat untuk berbagai pengalaman, namun ragu dan mengatakan:”aku tidak mengetahui ada seseorang yang lebih berilmu dariku”. Saat itu Allah SWT menunjukkan dan memperkenalkan hambanya yang saleh, belakangan disebut dengan khidir as,sebagaimana di abadikan dalam QS al-Kahfi,18:66-70:
Nabi Musa berkata kepada khidir: “bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”...Dia menjawab: “sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”. Musa berkata: “insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan pun”. Dia berkata:”jika kamu mengikutiku, janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang suatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”
Ujung perjalanan dua anak manusia iniberakhir dengan ketidak sanggupan Nabi Musa mengikuti persyaratan yang di tetapkan oleh sahabatnya itu. Nabi Musa masih kental menggunakan dimensi logika di dalam menanggapi kelakuan sahabatnya, meskipun sudah di ingatkan bahwa belum saatnya untuk bertanya apalagi memerotesnya. Misalnya, ketika sahabatnya melubangi perahu nelayan, membunuh anak kecil yang tak berdosa, dan memugar bangunan tua lalu ditinggalkan.
Dalam hadits, banyak ditemukan keutamaan orang-orang yang menjalin persahabatan sejati (al-shuhbah). Diantaranya ialah mereka akan menjadi salah satu diantara tujuh kelompok yang akan mendapatkan vila peristirahatan di bawah ‘Arasy di padang makhsyar, di hari ketika matahari tinggal sedepa diatas kepala dan tidak ada tempat berteduh lain selain itu.
Persahabatan spiritual juga dialami oleh para sufi. Hampir semua sufi besar pernah menceritakan sahabat spiritual sejatinya. Misalnya Imam al-Ghazali, yang tadinya diakui tidak memberi tempat terhadap dunia tasawuf dengan segala tradisinya, berkenalan seorang ulama tasawuf bernama Yusuf al-Nasaj.
Setelah keduanya menempuh perjalanan hidup intelektual-spiritual, pada akhirnya Imam al-Gazali sadar bahwa kehidupan paling memuaskan adalah kehidupan sufistik. Dari kesadaran inilah maka ia menulis masterpiece-nya Ihya ‘Ulum al-din
Tidak ada komentar:
Posting Komentar