Pengakuan al-qur’an terhadap pluralisme dipertegas lagi dalam khutbah perpisahan Nabi Muhammad: ketika Nabi menyatakan bahwa, “Kamu semua adalah keturunan Adam, tidak ada kelebihan orang Arab terhadap orang lain, tidak pula orang selain Arab terhadap orang Arab, tidak pula manusia yang berkulit putih terhadap orang yang berkulit hitam, dan tidak pula orang yang hitam terhadap yang putih kecuali karena kebajikannya.”
Khutbah ini menggambarkan tentang persamaan derajat umat manusia dihadapan Tuhan, tidak ada perbedaan orang Arab dan non Arab, yang membedakan hanya tingkat ketakwaan.
Sungguh menarik untuk mencermati dan memahami pengakuan al-qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang berfungsi sebagai petunjuk (hudan) dan obat penentram (syifa li mafi al-shudhur) terhadap pluralitas agama, jika ayat-ayat al-qur’an dipahami secara utuh, ilmiah-kritis-hermeneutis, terbuka, dan tidak memahaminya secara ideiologis-politis, tertutup, al-qur’an sangat radikal dan liberal dalam mengahadapi pluralitas agama. Munculnya klaim kebenaran sepihak itu pada gilirannya akan membawa kepada konflik dan pertentangan yang menurut KH.Abdurrahman Wahid(GusDur), merupakan akibat dari proses pendangkalan agama, dan ketidak mampuan penganut agama dalam memahami serta menghayati nilai dan ajaran agama yang hakiki. Al-qur’an berulangkali mengakui adanya manusia-manusia yang saleh di dalam kaum-kaum tersebut, yaitu Yahudi, Kristen, dan Shabi’in seperti pengakuannya terhadap adanya manusia-manusia yang beriman di dalam Islam. Menurut beliau, ada lima jaminan dasar untuk menampilkan universalime Islam baik kepada perorangan maupun kelompok. kelimanya yaitu; Keselamatan fisik masyarakat dari tindakan badani diluar ketentuan hukum. Keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, Keselamatan keluarga dan keturunan, Keselamatan harta benda dan milik pribadi diluar prosedur hukum, dan Keselamatan profesi (Abdurrahman Wahid, 1998).
KH.Muhamad Nur Iskandar, SQ,(pengasuh ponpes Assidiqiyah jakarta) Beranggapan: perbedan adalah rahmat, sehingga pembatasan pluralisme hanya kecil sekali. Yang kecil ini menyangkut ibadah, karena merupakan hak prerogatif Tuhan. Selebihnya, pluralisme adalah bagian dari dinamika kehidupan, jika orag lain dipandang dengan prisip rahmat, maka dalam Islam manusia harus menghormati orang lain, menolong orang lain, berkeadilan, toleransi, dan yang semakna itu sejauh tidak menimbulkan mudharat yang terdapat tanda –tanda kekuasaan Allah.
KH.Dudung Abdul Halim.MA(ponpes Cipasung) berpandangan, bahwa sebenarnya memperbolehkan seseorang untuk tidak beragama. Ia menyitir QS Alkahfi:29, “kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barang siapa ingin beriman, hendaklah ia beriman. Barang siapa ingin kafir, biarkan ia kafir”. Senada dengan beliau, KH. Husen Muhammad berpandangan, bahwa meskipun Nabi Muhammad menghendaki agar semua orang masuk islam, Tuhan tidak menghendakinya. Wa innama ana nadzir lastu alaihim bi mushaitir. Ide dasarnya, beragama atau tidak adalah hak orang perorang sendiri. Allah sudah memberi akal, dan secara logika, beragama adalh naluri. Yang diperangi Islam adalah penentang atau jakhid, karena mereka adalah penentang kemanusiaan. Kalau kafir biasa, tidak apa apa.
Masalah pluralisme (keragaman) dikenal Islam sebagai sunatullah, sudah dikehendaki Allah. Karena sunatullah, tentu ada hikmahnnya. Pertama , lita’arafu, saling kenal. Disini ada pengertian tentang perbedaan, yang meliputi aspirasi politik, budaya, disamping suku,ras, agama, dan sebagainya, sebagaimana realitas yang ada . lalu berkembang, dari saling kenal menjadi tarahum, saling menyayangi. Disini terkandung implementasi kepatuhan. Saling menyayangi ini berlaku pada siapapun, baik kepada sesama Muslim maupun non Muslim. Terbatasnya adalah pada pemeluk, orangnya, dan bukan menyayangi agamanya, Akhirnya yang ketiga adalah tawasan, saling tolong. Ketiga hikmah tersebut harus diletakkan pada konteks universal yang dalam Islam tersebut rahmatan lil alamin, bukan rahmatan lil muslimin. Inilah konsep dasar Islam tentang keragaman. Kalu dalam hal aqidah, tetap merujuk pada lakum dinukum waliyadin.
Tuhan sengaja menciptakan mahluknya berbeda-beda. Perbedaan itu dalam rangka hidup. Hidup tercipta karena perbedaan siang-malam, atas–bawah, langit-bumi dan seterusnya. Semua saling dilengkapi, karena setiap orang memiliki keterbatasan. Lalu terjadi benturan antara perbedaan, terjadilah dinamika , sintesa, antitesa, dan proses dialektika, tuhan memang menciptakan keragaman, baik ras etnis, agama, maupun jenis kelamin, untuk saling melengkapi kekurangan satu sama lain.
Dengan prinsip keragaman itu, orang bisa hidup berdampingan secara damai, tentran, dan saling mengisi. Inilah tujuan PLURALISME dalam pandangan agama ISLAM. (2011 januari 15 semarang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar