“jika dari dirimu tidak lahir amal perbuatan yang disitu ada noda dan dosa, Allah SWT akan menciptakan manusia yang berbuat salah agar mereka bisa berdosa dan melakukan kesalahan. Dan lantas memohon ampun atas dosa itu, menjadikan sifat dari dzat yang Maha pemaaf termanifestasikan.” (hadits yang dikutip oleh Abd al-Rahaman Jami’ dalam Naqd al-Nushuh hal 71-72).
Dalam artikel-artikel terdahulu dijelaskan apa itu potensi wujud yang biasa di sebut Entitas Tetap (al-A’yan al-Tsabitah) dengan tingkatan-tingkatannya dari martabat Ahadiyyah sampai Wahidiyyah. Artikel minggu lalu juga menjelaskan perbandingan perbedaan, dan titik temunya dengan pembahasan spiritual-mistisme agama-agama lain.
Dari uraian-uraian tersebut dapat dikesankan semakin rumit untuk dipahami dan semakin rendah level itu semakin mudah dipahami. Namun, sulit kita membayangkan adanya pemahaman utuh terhadap sang kholik dan makhluk-Nya tanpa memahami level-level tersebut. Bahkan, menurut kalangan arifin, memahami level-level ini salah satu inti dari makrifat.
Tidak gampang memahami garis pemisah antara sang khalik dan makhluk-Nya. Ibaratna kita akan membedakan antara sumber cahaya dan cahayanya atau antara laut dan ombaknya serta antara wujud dan cermin dengan objek di depan cermin. Mungkin inilah sebabnya mengapa Ibnu Arabi enggan menggunakan istilah Khalik dan makhluk.
Sebaliknya, dia lebih memilih menggunakan istilah Al-Haq untuk Allah SWT dan al-khalq untuk hamba dan makhluk-Nya. Berawal dari dzat yang maha Agung yang biasa disebut Gaib al-Guyub atau Haqiqat al-Haqiqah, yang bermanifestasi melalui proses al-faiddh al-muqaddas maka terwujudlah al-A’yan al-Tsabitah.
Disana dikenal adanya wujud potensial berupa nama-nama (al-Asma’) dan sifat-sifat (al-Aushaf), kemudian bermanifestasi menjadi wujud konkret atau wujud aktual (al-Ayan al-kharijiyyah). Disebut al-a’yan al-kharijiyyah karena sudah keluar dari level al-a’yan al-Tsabitah dan sudah menjadi awal dari makhluk yang diistilahkan oleh Ibnu Arabi dengan al-kholq. Perbedaan antara al-shifat dan al-ism, yang ada dalam level al-A’yan al-tsabitah tidak begitu jelas karena keduanya masih merupakan satu kesatuan utuh. Al-shifat lebih merupakan bentuk dan kualitas manifestasi, sedangkan Al-Ism menjadi subtansi dari bentuk manifestasi itu.
Sebagai contoh, sifat kekuasaan (al-qudrah) menjadi al-Qodir, yaitu nama Tuhan yang terhimpun didalam al-asma’ al-Husna’ contoh lain sifat kasih sayang (alrahmah) menjadi al-Rahman dan al-Rahim, yaitu nama Tuhan Yang Maha pengasih dan penyayang, yang juga menjadi bagian dari al-asma’ al-Husna,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar